sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Fitra Iskandar

Media jangan sampai larut ikut 'kebinalan' medsos

Fitra Iskandar Rabu, 30 Jun 2021 15:57 WIB

Setelah 'senja kala media cetak' karena perkembangan dunia teknologi informasi yang makin masif, kini media daring arus utama pun mulai diramalkan segera masuk ke era 'senja kala'. Media sosial digadang-gadang mengambil alih posisinya. Ini prediksi yang seolah telah terkonfirmasi. Tetapi di sejumlah aspek, prediksi ini sepertinya tidak akan berlaku.

Apa yang terjadi hari ini di dunia maya, memang sudah berubah dari sekitar lima tahun lalu, ketika Instagram baru tumbuh di Indonesia. Mengapa Instagram yang paling depan disebut untuk membahas persinggungan media berita daring arus utama dan media sosial? Karena secara karakter, Instagram punya gen yang paling mirip dengan website berita.   

Hari-hari ini kita bisa melihat Instagram tampil makin akomodatif sebagai saluran yang bisa dipakai untuk mengunggah konten informatif.  

Seperti media sosial lain, platform Instagram diwarnai fase perkembangan variasi konten. Dari semula hanya didominasi oleh konten selfie, dan unggahan personal lain, kemudian diwarnai lapak-lapak online shop, kemudian kreatifitas penggunanya mulai merambah ke gaya-gaya konten media berbasis website. 

User experience dan user interface Instagram memang paling ramah konten. Video, infografis, foto bisa bersanding dengan caption seperti pada badan berita di website berita. 

Youtube pun sebenarnya mirip. Tetapi rasanya sangat sedikit yang datang ke Youtube hanya untuk sengaja membaca atau mencari foto peristiwa, foto artistik dan lain sebagainya.

Pengalaman membaca berita di Instagram nyaris sama dengan di website. Yang sedikit membedakan mungkin jumlah karakter yang masih dibatasi 2200 karakter, dan sejumlah fleksibilitas layout multiplatform, seperti penempatan image atau video di badan berita dll. Namun secara umum, kekurangan itu bisa terkompensasi dengan jumlah image berupa foto dan video yang bisa ditampilkan dalam satu postingan. Kalau 2200 karakter dirasa kurang, masih ada kolom komentar yang bisa dimanfaatkan.

Dengan jumlah pengguna mencapai 1 miliar lebih secara global, dan 85 juta di Indonesia, Instagram seperti air bah informasi. Dari soal bumbu dapur sampai isu antariksa, mengalir deras ke khalayak yamg mengaksesnya. Apapun ada. Ini seperti Anda hanya membuka satu jendela, dan bisa melihat setiap sudut dunia. Ini tidak bisa ditemui di website. Semua orang mudah terlibat menambah, mengoreksi, memberi analisa atas informasi.Soal fitur interaksi juga jauh membuat media sosial jauh lebih menarik. Twitter pun demikian. Dengan segala variasi dan keseruan konten di media sosial, dan sifat 'one stop shoping' informasi.

Kebiasaan pengakses internet dilihat dari sebaran umur, itu kecenderungan yang paling dominannya, orang lebih senang pencet-pencet dibanding mengetik url website misalnya. Padahal berapa lama sih mengetik satu nama website berita? Sepele memang, tetapi impaknya besar. 

Itu memang sekadar asumsi. Tetapi rasanya masuk akal juga. Dalam berbagai kesempatan diskusi, kalangan praktisi media daring sendiri mengonfirmasi bahwa media website bukan lagi tujuan utama orang mencari informasi. Ini analisa yang sudah berkembang tiga atau empat tahun belakangan. 

"Kecenderungan sekarang orang tidak lagi mengetik url website berita, untuk mencari informasi, namun mereka masuk dari referal medsos dan mesin pencari, Google," kira-kira begitu keluhannya.

Seorang petinggi sebuah media online bahkan dengan bangga menegaskan bahwa orientasi mereka membuat konten itu untuk mesin, bukan manusia. Maksudnya membuat konten yang melayani alogaritma Google, sehingga kontennya nangkring di SERP (Search Engine Results Pages) pertama Google. 

Ikhtiarnya dimulai dari pemilihan topik, pemilihan judul sampai cara penulisan. Terang-terangan dia mengagungkan berita 'sampah' sebagai amunisinya meroketkan jumlah kunjungan atau view. Dia tidak peduli dengan kualitas konten. Yang penting cuan, katanya. Ini fakta. 

Saya jadi membayangkan orang ini berseragam pelayan restoran, sementara Google menunggu hidangan sambil bercengkrama dengan Instagram, Twitter dan Facebook di meja VIP. 

Ya sebegitunya ekosistem digital mendikte kebijakan redaksional organisasi pers. Maklum karena besar kecilnya traffick akan memudahkan cuan mengalir ke kantong perusahaan. Tetapi sementara kita kesampingkan dulu pembicaraan soal revenue.

Meramal masa depan media 
 
Eric Schmidt & Jared Cohen di bukunya The New Digital Age: Cakrawala Baru Negara, Bisnis, Dan Hidup Kita memprediksi bahwa media besar akan makin ketinggalan dalam melaporkan berita dari seluruh dunia dari media sosial. 

Alasannya, bahwa seberapapun hebat dan banyaknya jurnalis yang tersebar, dan segudang narasumber yang siap dikontak, media arus utama tidak akan mampu menyaingi kecepatan media sosial yang bersifat terbuka yang akan memudahkan warga berbagi informasi secara langsung, luas dan dalam paket yang mudah diakses. 

Dari segi kecepatan menyampaikan pesan, platform seperti Twitter memang terbukti dalam banyak kasus menjadi agen tercepat yang menyebarkan berita pertama kali, meninggalkan media di belakangnya. Bukti-bukti itu bahkan sudah ditunjukkan sejak awal kemunculannya. Namun hanya sampai di situ. 

Pertanyaan besarnya bagaimana prediksi nasib media menghadapi media sosial dengan segenap pasukan 'jurnalisme warganya' yang miliaran. Apakah media daring arus utama akan tidak relevan lagi di masa datang?

Memang siapapun saat ini bisa menjadi penyaji berita. Fenomena podcast-podcast-an selebriti dan politisi di Youtube menggambarkan betapa media arus utama termasuk media daring saat ini, ada di posisi start yang kurang menguntungkan untuk menghadapi orang yang dulunya hanya sebagai narasumber, namun sekarang menjadi agen informasi.  

Kekuatan pesohor yang hybrid mengambil peran kewartawanan ada pada jangkauan terhadap narasumber, kedalaman pembahasan, dan kemasan yang lebih memanjakan selera pasar. Media arus utama jelas tidak bisa mengejar keunggulan agen-agen informasi yang bercokol di media sosial itu.

Di Twitter & Instagram, jurnalisme warga lebih masif lagi, jangkauannya sampai ke kantong-kantong yang mungkin tidak terbayangkan oleh organisasi media besar manapun untuk menempatkan orangnya di wilayah itu. Sama seperti pesohor yang hybrid jadi wartawan, mereka juga tidak bisa dikecilkan. Meski hanya menjadi penyumbang konten sesekali, namun informasinya biasanya bernilai sangat tinggi karena kedekatan dengan lokasi peristiwa, atau kedekatan dengan sosok yang menjadi sumber berita.

Namun sebesar apapun keberterimaan masyarakat terhadap figur populer dan jurnalisme warga yang juga berperan sebagai penyebar berita, media besar tetap tidak tergantikan dalam hal otoritas. Dengan syarat tetap setia pada disiplin jurnalisme seperti kroscek, verifikasi dan perhatian pada keberimbangan yang membangun kredibilitas perusahaan media. Media sosial, dan penggiatnya, akan sulit mendapat label sebagai yang punya 'otoritas' itu.

Di masa depan kondisinya pun diprediksi tak jauh berbeda. Ketika orang ingin informasi cepat, media sosial adalah pilihan, namun kelemahan pada akuntabilitas, kredibilitas, dan longgarnya penerapan disiplin jurnalisme, membuat media arus utama tetap dituju. 

Bagaimanapun media yang setia menerapkan standar jurnalisme dalam kebijakan redaksionalnya akan tetap mendapat ruang. Setidaknya ketika kecepatannya tidak mampu menyaingi media sosial, media dengan disiplin jurnalismenya, akan tampil sebagai pihak yang memvalidasi kebenaran berita. 

Fenomena ini sebenarnya sudah sering kita saksikan. Bagaimana kabar yang beterbangan di media sosial, kemudian divalidasi media besar. Publik pun akan mencari kebenaran berita ke website berita kredibel, setelah mereka mendapatkan desas-desus di Twitter, Instagram, Facebook dll. 

Prediksi Eric Schmidt & Jared Cohen mengatakan kalangan intelektual, pemimpin bisnis, pembuat kebijakan masih akan percaya kepada media mapan. Dengan catatan, peran utama media besar tetap bisa diandalkan sebagai perujuk, pemelihara, dan pemeriksa, semacam saringan terpecaya yang memilah-milah semua data dan menyoroti mana yang layak dan tidak layak dibaca, dipahami , serta dipercayai.

Instagram dengan segala keunggulan dan pengembangannya mungkin akan semakin menarik untuk dijelajahi, sehingga konten informasi di platform itu semakin laku, namun kredibilitas, jelas bukan di sini tempat utamanya. Pun di Twitter, Facebook, Reddit, Youtube, Whatsapp, Tiktok dan sebagainya.

Menurut Eric dan Jared, para elite dan kalangan intelektual mungkin lebih mengandalkan organisasi berita yang sudah mapan karena menjamurnya  berita dan informasi bermutu rendah di media sosial. 

Sebab itu, media besar tidak perlu terlalu larut kedalam arus proyek memanjakan pasar. Sibuk mengangkut konten-konten sampah demi traffick tinggi namun mengorbankan otoritas, yang menjadi modal penting media mapan agar tetap relevan di tengah gempuran media sosial.

Kemudian, faktor teknologi tentu menjadi kunci yang tidak boleh diabaikan bahkan boleh jadi ditaruh di prioritas yang sejajar dengan konten. Tujuannya agar saluran-saluran informasi bisa diakses secara mudah oleh pengguna internet.

Tidak semudah mengira meroketnya satu trend akan otomatis menenggelamkan yang lain, kehadiran media sosial di masa datang pun masih belum mampu mengganti peran media konvensional dengan karakter jurnalisme yang dibawanya.

Sebagaimana Eric dan Jared memprediksi, meski warga tak sabaran dengan media yang tak bisa mengejar kecepatan, namun audiens akan tetap bertahan bila analisis dan prespektif yang ditawarkan media tersebut memuaskan dan bisa mereka andalkan. 

Yang mereka percayai adalah krebilitas informasi, kekuatan analisis dan pengutamaan berita. Dengan kata lain, sebagian orang akan membagi kesetiaan pada paltform baru untuk berita terkini dan pada media yang mapan untuk berita-berita lainnya. 

Prediksi 'senja kala' media daring dalam konteks itu hanya seolah-olah terkonfirmasi. Media arus utama masih relevan dan punya tempat tersendiri. Pun begitu di media sosial. 

Yang jadi masalah bagi media arus utama adalah mencari formula-formula jitu mengkonversi keunggulan-keunggulannya secara maksimal sehingga cuan. Itu sebenarnya sudah dipahami para petinggi media, tetapi memang bukan perkara yang mudah. Masih jadi pekerjaan rumah besar. 

Strateginya bisa berbeda-beda. Tetapi apa yang ditulis Eric dan Jared dibukunya, mengandung pesan moral: Media janganlah sampai mengorbankan kredibilitasnya, terlalu larut demi bisa tampil menarik seperti Instagram, Twitter dan Facebook.

Dengan media sosial yang menjadi gudang berita bermutu rendah, seperti kata Eric dan Jared, media justru harus menunjukkan kebalikannya. Menujukan karakternya, agar tetap menjadi rujukan. Media jangan sampai larut mengikuti jejak kebinalan media sosial, seperti gadis ABG yang rela memendekkan roknya hanya demi menjadi pusat perhatian. 

Berita Lainnya
×
tekid