sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Dedi Kurnia Syah P

Mengulang rivalitas Jokowi-Prabowo

Dedi Kurnia Syah P Kamis, 16 Agst 2018 17:25 WIB

Presentasi demokrasi elektoral mulai riuh rendah, drama kandidasi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berakhir anti-klimaks. Berbagai spekulasi terkait siapa cawapres Jokowi maupun Prabowo, meleset. Didapuknya Maruf Amin mendampingi Jokowi, dan Sandiaga S Uno menyanding dengan Prabowo, cukup mencengangkan. Begitulah, morfologi politik merupakan seni ketidakpastian.

Berdasarkan catatan Murray Edelman (1995) yang berjudul From Art to Politic: How Artistic Creations Shape Political Conceptions, politik merupakan sebuah upaya untuk memastikan apa saja yang ada di permukaan kehidupan sosial dan moral masyarakat, sekaligus upaya untuk memastikan ketidakpastian. Sehingga, politik disebut sebagai jalan menuju kepastian bagi ketidakpastian, dan upaya ketidakpastian apa-apa yang seharusnya telah pasti. Demikianlah politik, selalu penuh liku spekulasi.

Sebagaimana dipilihnya Maruf Amin sebagai cawapres Jokowi, tentu bagi banyak kalangan ini sesuatu yang tidak terbaca sebelumnya. Betapa tidak, nama Mahfud MD yang semula berada pada list teratas, tiba-tiba hilang sepersekian menit menjelang deklarasi.

Demikian halnya Prabowo, yang berulangkali melakukan pertemuan ketat dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, spekulasi merebak akan ada duet Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Prabowo Subianto. Dan, justru nama Sandiaga S Uno yang mengemuka menjadi cawapres.

Faktor cawapres
Diakui atau tidak, keputusan yang serba tak tertebak publik, merupakan hasil kongsi diplomasi politik antar elit parpol. Pilihan sulit bagi Jokowi maupun Prabowo memilih tokoh pendamping yang tidak beresiko terjadinya gesekan kepentingan antar parpol pendukung, maka muncul nama di atas sebagai bagian dari hasil konsolidasi kepentingan elit.

Kini, keduanya memasuki babak baru, mengulang rivalitas untuk kedua kalinya. Pembedanya, fokus pada pemilu ini ada pada sosok cawapres.

Meskipun dengan tokoh utama yang sama, namun memiliki performa persaingan berbeda, hal ini karena pilihan cawapres yang diluar nalar publik selama ini. Jokowi yang dicitrakan tidak mendapat sokongan kalangan Islam tradisional, bermanuver dengan memasang Maruf Amin sebagai pereda anti Jokowi yang kian berat berayun. Maruf Amin diyakini sebagai sosok pengurai kegaduhan primordialistik, terutamanya Agama Islam, ia diharapkan mampu memboyong suara Islam melalui gerbong Nahdlatul Ulama (NU).

Pun demikian, NU tak lantas memilihnya secara dominan, karena NU merupakan organisasi ideologis, bukan semata organisasi kader, yang artinya dalam tubuh NU, ada kader militan yang dibuktikan dengan keaktifan di kegiatan NU secara struktural organisatoris. Ada pula kader kultural yang sama sekali tak tersentuh organisasi struktural. Inilah celah sekaligus kelemahan pasangan petahana Jokowi-Maruf Amin.

Sponsored

Sisi seberang, hadirnya Sandiaga S Uno, yang sejauh ini belum memiliki catatan buruk –untuk tidak mengatakan berprestasi—, berpeluang mengambil ceruk suara millenial, kelompok pemilih dengan rentang usia 17-40 tahun.

Tentu Sandiaga memiliki modal untuk itu, selain performa fisik yang mulai diposisikan oleh pendukungnya sebagai cawapres ganteng, Islam Pos-Modernis, hingga memiliki kecukupan logistik. Dari pembacaan kedua cawapres ini, setidaknya ada beberapa hal penting yang menjadi tawaran strategi kampanye keduanya.

Pertama, Jokowi-Maruf Amin harus mengoptimalkan sokongan kalangan santri yang ceruknya ada di pesantren-pesantren. Tentu saja ini tidak dapat dikatakan seluruh pesantren di Indonesia, karena sejauh ini dukungan tokoh penting Islam juga terbagi menjadi dua, kalangan modernis berada di kubu Prabowo Subianto.  Lebih dari itu, faktor Maruf Amin setidaknya dapat dijadikan sebagai perisai isu SARA yang sejauh ini sering dialamatkan kepada Jokowi.

Dengan demikian, kolaborasi Jokowi-Maruf Amin untuk saat ini merupakan pasangan yang saling melengkapi. Tentu saja dalam politik selalu ada kemungkinan-kemungkinan yang sekali lagi tidak bisa ditebak dengan nalar publik. Selama kongsi politik yang diusung koalisi PDI Perjuangan ini solid hingga hari pemilihan, maka selama itu pula strategi mengeruk suara pemilih Islam berfungsi.

Kedua, Prabowo-Sandiaga diuntungkan dengan tren anti Jokowi yang masih marak, terutama ramainya kampanye melalui tagar #2019GantiPresiden. Ini mengindikasikan ada kelompok yang secara terang-terangan tidak akan memilih Jokowi, pemilih inilah yang memungkinkan dikapitalisasi oleh Sandiaga yang notabene pemain baru dalam pangggung politik. Mereka yang anti Jokowi, bisa saja anti Prabowo, tetapi belum tentu anti Sandi.

Strategi yang menjadi andalan Sandiaga sebagai faktor utama, adalah brand image nya yang cenderung peduli dengan pendayagunaan sumber daya manusia (SDM) melalui program entrepreneurship. Ini memungkinkan Sandiaga mampu mengontribusikan keberadaannya dalam rivatitas Jokowi-Prabowo.

Bagaimanapun, ada sisi kelam dari sebuah demokrasi electoral, yaitu kesukaan pemilih terhadap pilihan, strategi sehandal apapun, ketika rasa suka telah hilang, tumbuh benih kebencian, maka tak ada artinya strategi dengan model apapun.

Kita sama-sama berharap, pemilu 2019 akan menjadi penanda sejarah, bahwa Indonesia dengan keberagaman kultur dan afiliasi politik, mampu dan terus bertahan dalam koridor kebhinekaan, rukun, dan guyub. Semoga! 

Berita Lainnya
×
tekid