sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Khudori

‘Perang’ pabrik gula BUMN vs pabrik gula swasta

Khudori Senin, 06 Jul 2020 09:07 WIB

Musim giling tebu tahun ini ditandai suka dan juga duka. Seperti petani pada umumnya, bagi petani tebu musim giling adalah musim menuai hasil. Jerih payah selama berbulan-bulan sejak tanam hingga tebu memasuki usia masak itu sudah pada titik akhir penantian, merasakan manisnya panen semanis rasa gula.

Karena itu, sejak akhir Mei petani di sentra-sentra produsen tebu, terutama di Jawa, berangsur-angsur menebang tebu. Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, proses tebang tebu dan giling seperti ini akan berlangsung hingga Nopember nanti. Dalam waktu panjang itu segala hal bisa terjadi.

Rupanya, bukan suka yang mengiringi musim giling kali ini. Jauh sebelum giling dimulai, negeri ini dihebohkan oleh kelangkaan gula. Akibat pemerintah salah antisipasi, stok gula menipis. Selama berbulan-bulan gula sulit ditemukan di supermarket. Gula ada di pasar tradisional, tetapi harganya tinggi. Di sejumlah daerah harga menyentuh Rp20.000/kg, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET): Rp12.500/kg. Izin impor pun diobral.

Karantina wilayah membuat impor tidak datang sesuai rencana. Sempat terjadi “perang mulut” antara Menteri Perdagangan dan Menteri BUMN. Celakanya, menjelang musim giling, impor gula datang berbarengan. Harga gula di tingkat petani pun tersungkur. Di lingkungan PT Perkebunan Nusantara XI, lelang gula telah digelar tiga kali. Pada lelang pertama, 12 Juni 2020, gula laku antara Rp10.610 – Rp10.710/kg, lebih rendah dari harga akhir Ramadan lalu, antara Rp12.500-Rp13.000/kg.

Harga lelang itu jauh di bawah biaya pokok produksi, yang menurut versi APTRI, mencapai Rp12.772/kg. Lelang kedua, 22 Juni, gula laku antara Rp9.900-Rp10.383/kg. Lelang ketiga, 2 Juli, gula terjual antara Rp10.502-Rp10.505/kg. Lelang berikutnya masih dibayangi fluktuasi dan ketidakpastian harga. Bahkan, ada peluang harga bakal menyentuh harga acuan ditingkat produsen seperti diatur oleh Permendag No 7/2020, yakni sebesar Rp9.100/kg.

Petani dihadapkan pada situasi dilematis, jika gula dilepas mereka tekor, jika tak dilepas aneka kebutuhan mereka yang sifatnya mendesak tak tertunaikan. Untungnya, saat ini petani punya pilihan, menggiling tebu ke pabrik gula (PG) dengan sistem bagi hasil atau menjual tebu ke PG dengan sistem putus.

Sebelum ada sistem beli putus, relasi petani-PG diikat lewat sistem bagi hasil. Karena tak punya lahan, PG bergantung pada tebu petani. Karena tak punya pabrik, petani menggiling tebu untuk diolah jadi gula di PG. PG mendapat 34% gula sebagai upah giling, 66% sisanya milik petani. Petani juga mendapat tetes 3 kg/kwintal tebu. Besar-kecilnya gula yang diterima petani ditentukan oleh bobot tebu dan rendemen. Kian besar bobot tebu dan rendemen, kian besar gula yang diterima petani. Dan sebaliknya. Ini sebagian besar terjadi di PG BUMN di Jawa.

Saat ini jumlah PG 62 buah, 68% pabrik tua berumur di atas 90 tahun dan 80% terdapat di Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil PG ada di luar Jawa, baik swasta maupun BUMN. Apabila PG di Jawa, baik BUMN maupun swasta, mengandalkan tebu petani, PG (BUMN dan swasta) di luar Jawa memiliki lahan sendiri dalam bentuk hak guna usaha (HGU). Karena itu, di luar Jawa relatif tak ada masalah soal relasi petani-PG.

Sebaliknya, di Jawa relasi petani-PG menjadi isu krusial. Selama bertahun-tahun, relasi petani-PG, terutama PG BUMN di Jawa, diwarnai distrust. Di satu sisi, petani tidak memercayai rendemen hasil pengukuran di PG. Distrust ini berurat akar dari pengukuran yang tidak transparan. Rendemen diukur secara kolektif, bukan individual. Ini disinsentif buat petani yang kualitas tebunya bagus. Di sisi lain, PG juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kualitas tebu petani yang disetorkan ke PG. Petani hanya mengejar bobot tebu, tetapi abai kualitas yang tercermin pada rendemen. Tebu yang disetor juga terkadang kotor.

Diakui atau tidak, sebagian akar masalah industri gula di negeri ini berurat akar di PG BUMN yang ada di Jawa, banyak PG yang absolete, berusia tua, dan berkapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Akibat mesin tua, kinerja PG BUMN tidak maksimal. Mesin bocor, nira tebu banyak yang tidak terproses menjadi gula. Secara teoritis mestinya sebenarnya mampu mencapai rendemen 14%-15% bila prinsip efisiensi dilakukan dengan baik. Tetapi karena PG BUMN sudah tua, rendemen yang diraih hanya 6%-8%, jauh di bawah pencapaian rendemen di era1930-an, antara 11%-13%.

Ujung dari inefisiensi ini mewujud dalam bentuk biaya produksi gula yang mahal. Besar biaya produksi gula di PG-PG BUMN, terutama yang tidak efisien, hampir dua kali lipat dari biaya produksi PG swasta, terutama di Lampung. Biaya produksi gula di PG swasta relatif kompetitif karena teknologinya baru, kapasitas gilingnya besar, memiliki lahan sendiri, dan mengolah tebu menjadi aneka produk.

Berbeda dengan PG BUMN, di PG-PG swasta itu pabrik tidak hanya mengolah tebu menjadi gula, tetapi juga produk turunan lain berbasis tebu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti etanol, listrik, dan kertas. Dalam industri pergulaan, proses giling di hilir tidak bisa dilepaskan dari aspek di hulu (on farm). Inefisiensi di satu bagian, di PG misalnya, akan jadi beban bagi petani.

Demikian pula sebaliknya. Dalam konteks inefisiensi PG BUMN, dampaknya sebagian besar ditanggung petani. Menurut kalkulasi, komposisi biaya dalam industri gula 60-70% ada di kebun (Pakpahan, 2004). Artinya, share petani mencapai 60%-70%. Bila PG tak efisien dan merugi, konsekuensi sistem bagi hasil, 60%-70% inefisiensi dan kerugian dipikul petani. Demikian pula bila harga jual gula anjlok, petani yang paling terpukul.

Agar petani tak lagi menanggung inefisiensi di PG, sistem beli putus tebu jadi solusi. Petani tak lagi mengolah tebu di PG dengan sistem bagi hasil, tapi menjual tebu ke PG. Harga tebu petani ditentukan dari perkiraan rendemen, perkiraan tetes, dan konstanta yang mencerminkan biaya produksi gula (Puslitbang Perkebunan, 2011). Sistem baru ini memiliki keunggulan: pengukuran rendemen transparan dan individual, harga tebu sesuai mutu, tak muncul masalah bagi hasil, petani tak terbebani inefisiensi pabrik, rantai pasok gula lebih pendek, dan PG bisa lebih fokus pada efisiensi pabrik dan diversifikasi produk.

Secara ekonomi sistem jual putus tebu jauh lebih menguntungkan. Contohnya, petani bernama Nur Yusuf menjual 8.420 kg tebu ke PT Kebun Tebu Emas (KTM), PG swasta di Lamongan, Jawa Timur, 16 Juni 2020. Dengan rendemen 8,45% dan harga tebu Rp792/kg, ia bisa mengantongi duit Rp6.668.640. Sebaliknya, bila Nur Yusuf menyetor tebu ke PG di lingkungan PT Perkebunan Nusantara XI dengan bagi hasil, ia meraih Rp5.409.919 (Rp5.005.759 dari bagi hasil gula dan Rp404.160 bagi hasil tetes). Hasil ini dihitung dari harga yang terbentuk pada lelang 12 Juni 2020: Rp10.660/kg gula dan Rp1.600/liter tetes. Ada perbedaan Rp1.258.721 (23,26%), jumlah yang cukup besar.

Dengan sistem jual putus tebu, petani bisa mengantongi uang tunai saat itu juga. Sebaliknya, dalam sistem bagi hasil, petani harus menunggu lelang. Bisa saja lelang batal karena harga tak disepakati. Jika harga gula semakin rendah dan menjauhi biaya pokok produksi seperti saat ini, peluang petani merugi cukup besar. Risiko seperti ini tidak dialami petani yang menjual tebu dengan sistem jual putus. Masalahnya, tidak semua petani punya kebebasan memilih sistem bagi hasil atau jual putus tebu. Pemberlakuan resmi sistem jual putus tebu masih menunggu aturan detail dari Kementerian Pertanian.

Sistem jual putus tebu dipelopori oleh PG-PG swasta. Di Jawa Timur, pelopor utama ada dua: PT KTM di Lamongan, dan PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar. Ada pula PG swasta yang memberikan pilihan kepada petani: sistem bagi hasil atau jual putus tebu. Sebaliknya, meskipun ada PG swasta, di Jawa Tengah sebagian besar PG masih menerapkan sistem bagi hasil. Meskipun belum berlaku masif, sistem jual putus tebu saat ini sudah mampu mengubah keseimbangan pasar. Buktinya, meski tanpa dukungan lahan sendiri, setidaknya saat ini PG-PG swasta mendapatkan pasokan tebu dari petani secara memadai. Bukan hanya dari wilayah PG berdiri, tapi juga dari daerah yang jauh dari PG.

Fenomena ini akhirnya mengulangi kejadian era 199-0an: “tebu wisata”. “Tebu wisata” menunjuk fenomena pengiriman tebu dari daerah yang jauh dari PG. Meskipun biaya transportasi lebih mahal, petani memilih cara ini karena harga tebu yang diterima lebih menguntungkan ketimbang dijual ke PG setempat. Dalam jangka pendek, petani diuntungkan. Kontinuitas operasi PG swasta terjamin karena ada kepastian bahan baku.

Tetapi, “tebu wisata” menandai ada yang salah dalam alokasi sumberdaya. Ujung dari misalokasi sumber daya ini adalah inefisiensi, yang bakal merugikan ekonomi keseluruhan. Meski punya kelebihan, sistem baru ini tak luput dari kelemahan. Pertama, relasi petani-PG berubah dari kemitraan menjadi transaksional. Petani hanya fokus di budidaya, dan PG mengurus pengolahan. Kedua, ada potensi kekacauan pengaturan jadwal tanam, manajemen tebang, dan angkut. Ini terjadi karena proses produksi cenderung tidak terintegrasi. Padahal, proses pengolahan di PG akan baik apabila terjadi integrasi dengan jadwal tanam, tebang, dan angkut. Ketiga, PG harus menyediakan dana tunai besar untuk membeli tebu petani. Ini masalah krusial bagi PG, terutama PG-PG BUMN.

Dalam jangka panjang, sistem ini amat rentan dalam konteks persaingan usaha. Karena sistemnya terbuka, akan berlaku hukum besi supply-demand. Terjadilah ‘perang’ harga antar PG dalam mendapatkan tebu petani: PG BUMN versus PG swasta. Petani diuntungkan. Tetapi ini membuat PG-PG tertentu tak mendapatkan pasokan tebu secara memadai dari petani. Bakal terjadi seleksi alam: hanya PG bermodal kuat yang bertahan.

Sisanya, harus menyingkir dari pasar. Ini akan merubah peta persaingan. Sebagai lembaga pengawas persaingan usaha, KPPU mesti menelisik ihwal ini. Sebelum ‘perang’ sengit terjadi dan jatuh korban, sebagai wasit sebaiknya pemerintah segera mengaturnya.

Berita Lainnya
×
tekid