sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

2021, Dewan Pers kelola sekitar 200 surat dari Polisi terkait kasus UU ITE

Jarang sekali ada surat dari kepolisian yang tidak mengingatkan pasal dan UU ITE.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Minggu, 09 Jan 2022 21:14 WIB
2021, Dewan Pers kelola sekitar 200 surat dari Polisi terkait kasus UU ITE

Dalam tahun 2021 sampai pertengahan Desember lalu, Dewan Pers cq. Komisi Hukum dan Perundang-undangan telah mengelola sekitar 200 lebih surat yang dikirimkan oleh kepolisian kepada Dewan Pers. Isinya polisi meminta Dewan Pers untuk menganalisis atau memberikan informasi apakah badan hukum atau wartawan yang terkait dalam surat itu adalah yang sudah terdaftar di Dewan Pers. 

Trafik persuratan tersebut diuraikan Juni Soehardjo, tenaga ahli Dewan Pers pada Komisi Hukum dan Perundang-undangan, dalam diskusi virtual di penghujung tahun 2021 lalu.

"Tetapi masalahnya pada waktu membuat surat seperti itu biasanya sudah dibuat pengaduan melaporkan diri atas UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Dari semua surat itu, jarang sekali ada surat dari kepolisian yang tidak mengingatkan pasal dan UU ITE," katanya.

Ditambahkan, sementara pada sisi lain sekitar 65 kasus meminta kepada Dewan Pers menunjuk ahli pers untuk bersama-sama diambil Berita Acara Pemeriksaan (BAP)-nya. Jadi ahli pers itu diminta untuk memberikan analisisnya dalam suatu perkara. Kurang lebih Komisi Hukum dan Perundang-undangan di Dewan Pers menangani hampir 300 sampai 400 pengaduan dan permintaan per 2021.

Diketahui bahwa saat ini dunia berada dalam era perkembangan digital yang sangat cepat. Sejumlah norma dalam kehidupan yang dulunya berbentuk kejahatan secara konvensional, sekarang sudah bermigrasi menjadi kejahatan yang ada dalam dunia digital atau transaksi elektronik.

"UU ITE sebenarnya dulu itu undang-undang konvensional pada tahun 2008, yang kemudian diubah dengan UU nomor 19 tahun 2016 dengan penormaan-penormaan yang dimasukkan ke dalam undang-undang tersebut merupakan tindak pidana konvensional yang dilakukan secara elektronik," tanggap Kombes Pol Alfis Suhaili, penyidik indak pidana madya tingkat II di Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri).

Menurut Alfis, UU Pers terbit lebih duluan, tahun 1999, yang dalam perjalanannya banyak terjadi persinggungan dalam implementasi kedua undang-undang tersebut, baik UU Pers maupun UU ITE. Seiring berjalannya waktu, proses penegakan hukum pasal-pasal UU ITE, khususnya yang ada ketentuan pidananya, di dalamnya mencakup peran penyidik untuk melakukan pemeriksaan hukum terhadap berbagai pelanggaran.

"Kita sudah ada nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri ketika ada sengketa-sengketa pemberitaan, itu yang menyangkut jurnalis, tersebut di Pasal 5 di sana jelas menguraikan peran pihak pertama, pihak kedua, dan sebagainya. Di situ dinyatakan jika terdapat kekurangan-kekurangan dalam proses implementasi nota kesepahaman ini, apabila nanti akan dilakukan perpanjangan dan sebagainya. Nota kesepahaman Polri-Dewan Pers berlaku lima tahun dan akan berakhir pada tahun 2022 mendatang.  

Sponsored

"Kami terbuka untuk menerima masukan-masukan dari Dewan Pers tentang hal-hal apa saja yang mungkin perlu diberikan perbaikan-perbaikan dalam isi dari nota kesepahaman tersebut," sambung Alfis.

Sejak ada nota kesepahaman itu, seluruh laporan dari masyarakat yang berkaitan dengan jurnalis, khususnya terhadap pelanggaran UU ITE, itu selalu mencantumkan bahwa pihak tertentu melaporkan apa.

"Kita tidak mungkin menolak laporan masyarakat, yang melapor itu harus kita terima. Dia melaporkan apa. Sehingga kita punya arah untuk melakukan penyelidikan," cetusnya.

Seperti disebutkan oleh Juni bahwa ada 200-an laporan, kemudian permintaan ahli pers, dan sebagainya. Surat-surat yang dikirimkan penyidik kepada Dewan Pers untuk permintaan koordinasi dan klarifikasi tentang laporan-laporan tersebut itu harus mencantumkan (persoalannya).

Karena dalam prosedur operasi standar polisi dalam proses penyelidikan itu harus jelas tindak pidananya apa. Dalam pengertian penyelidikan dalam KUHAP itu harus membuat terang-benderang sebuah perbuatan. Acuan tentang pasal-pasal itu lantas menjadi arah polisi apakah di situ nanti perbuatan yang dilaporkan itu terbukti atau tidak. Kalau memang tidak terbukti, jelas akan dihentikan dalam proses penyelidikan.

"Tetapi (bila) ternyata dalam perjalanan kita mendapatkan adanya alat bukti, maka akan kita tingkatkan menjadi penyidikan. Itu juga tidak menutup kemungkinan bahwa alat bukti yang terkumpul itu memang menjadi alat bukti, tetapi (bisa saja) tidak cukup sebagai alat bukti," ujarnya.

Memaparkan bahasan bertajuk 'Penyidikan Tindak Pidana dalam UU ITE dan Sengketa Pemberitaan', Alfis juga menyinggung tentang restorative justice, Dikatakan bahwa dalam peraturan 40 tahun 2016 telah diatur tentang restorative justice dan aturan-aturan itu telah melalui proses seperti meminta masukan dan saran dari berbagai kelompok masyarakat. Apabila ada perkara-perkara yang tidak harus dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan tentu dapat diselesaikan melalui restorative justice.

"Ini memang menuai banyak pro dan kontra. Seperti mengapa dalam proses restorative justice itu harus ada pengakuan bersalah. Ini mungkin harus melihat secara komprehensif mengenai perkara itu apa dan bagaimana sebenarnya," pungkas Alfis.

Jenis kejahatan siber di Indonesia tahun 2021 berdasarkan laporan masyarakat, dengan sumber dari basis data Subbagops Polri per Januari 2021 sampai November 2021, berikut:

Pencemaran Nama Baik: 780
Penipuan: 572
Pornografi: 221
Akses Ilegal: 207
Manipulasi Data: 122

Kejahatan siber jenis lainnya berjumlah di bawah 100 laporan masyarakat, masing-masing: Gangguan Sistem/DDOS, Pengubahan Tampilan Situs, Intersepsi Ilegal, Peretasan Sistem Elektronik, Pencurian Data/Identitas, Pengancaman, Ujaran Kebencian/SARA, Pemerasan, Perjudian, Berita Bohong/Berita Palsu.

Berita Lainnya
×
tekid