sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berkaca dari kasus Bahrul Walidin pimred Metro Aceh, 6 pasal UU ITE mengancam jurnalis

AJI dua tahun terakhir mencatat empat kasus UU ITE dari tahun 2020 sampai 2021.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Sabtu, 08 Jan 2022 08:57 WIB
Berkaca dari kasus Bahrul Walidin pimred Metro Aceh, 6 pasal UU ITE mengancam jurnalis

Sepanjang tahun 2021, terdapat setidaknya 44 perkara yang dikoordinasikan antara Kepolisian Republik Indonesia dengan Dewan Pers terkait dengan dugaan pelanggaran UU ITE.

UU ITE ialah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang—Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Dari latar belakang itu, Dewan Pers mengajak publik berdiskusi hibrid untuk membahas proses kerja jurnalistik di penghujung tahun 2021 lalu. Tayangan diskusi tersebut telah disiarkan secara luas di media sosial.

"Kalau kita berbicara undang-undang sebenarnya kemerdekaan pers kita sudah mendapat jaminan yang sangat baik melalui Undang-undang Pers. Itu jaminannya cukup kuat. Tapi memang masih terdapat regulasi-regulasi yang lain, yang ini kemudian mengancam membelenggu kerja-kerja jurnalis. Salah satunya, yaitu UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik)," kata ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Sasmito Madrim.

Memaparkan telaah 'Dampak Kriminalisasi UU ITE terhadap Jurnalis', Madrim menguraikan bahwa AJI bergabung dengan sebuah koalisi, termasuk LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers juga. Koalisi itu sudah membuat kertas posisi terkait UU ITE. Ada beberapa pasal yang disisir, yang disampaikan ke pemerintah supaya direvisi dan dihapus, terutama untuk pasal-pasal 'karet' yang selama ini membelenggu profesi jurnalis.

"AJI dua tahun terakhir mencatat empat kasus UU ITE dari tahun 2020 sampai 2021. Di antaranya tiga kasus sudah vonis. Jadi, keseluruhan ada tujuh kasus antara 2020-2021. Tapi, begitu kita membaca laporan dari Dewan Pers ternyata ada 44 perkara yang diinformasikan oleh kepolisian dengan Dewan Pers terkait UU ITE," cetus Sasmito.

Artinya masih banyak kasus yang belum tercatat di pelbagai organisasi profesi. Begitu melihat data di Dewan Pers itu 44 kasus setahun, maka ancaman UU ITE cukup luar biasa. Karena dalam waktu satu tahun terdapat 44 perkara yang diinformasi ke Dewan Pers. Ini misalkan kalau tidak ada Dewan Pers, orang bisa membayangkan kasus-kasus tersebut bisa melalui kejaksaan, lalu pengadilan, kemudian bisa divonis bersalah seperti tiga kasus lainnya dalam catatan AJI.

Menurut resume AJI, empat kasus per 2020-2021 terbaru adalah wartawan sultraraya.com, yang kasusnya dalam tahap penyelidikan sekarang. Perkara ini masih ditindaklanjuti kalangan jurnalis di Kendari. Terus kemudian ada jurnalis di Medan, Ismail Marzuki, juga dilaporkan dengan UU ITE. Dan, ketiga, ini kasus 2020, pemimpin redaksi dari Metro Aceh, Bahrul Walidin, dilaporkan oleh salah satu pengusaha di sana karena dianggap mencemarkan nama baik. Keempat, kasus jurnalis kontra.id, Tuah Aulia Fuadi, dilaporkan bupati ke polisi.

Sponsored

"Dari empat kasus ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa kasusnya baru. Jadi untuk Bahrul kasusnya dilaporkan sejak tahun 2020, waktu itu sudah ada catatan Dewan Pers dan dinyatakan sebagai karya jurnalistik. Pada tahun 2020 itu sebenarnya kita menganggap kasus ini tuntas karena dari kepolisian sudah ditindaklanjuti dan sebagainya," ungkap Sasmito.

Di tahun 2021, hanya beberapa bulan yang lalu, kasus itu muncul lagi dan bahkan dinaikkan ke tingkat penyidikan. AJI mempertanyakan, kenapa kasus yang sudah ada catatan dari Dewan Pers dinyatakan sebagai karya jurnalistik, tapi kemudian masih diteruskan proses hukumnya oleh pihak berwajib, Kepolisian Daerah Aceh. AJI waktu itu sempat berkoordinasi juga.

Dijelaskan, setelah hari Lebaran 2021, Mahfud MD (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) sempat mengundang organisasi pers, Dewan Pers, kepolisian, dan TNI untuk bertemu. Setelah pertemuan itu, Menkopolhukam mengusulkan agar diadakan restorative justice. Walaupun sebenarnya AJI menilai kurang tepat kalau misalkan kasus-kasus pemberitaan itu dikaitkan dengan pendekatan restorative justice. Karena salah satu syarat untuk restorative justice, jurnalisnya harus mengaku bersalah dulu.

"Padahal dalam kasus (Bahrul) ini, jurnalis tidak bersalah. Apalagi Dewan Pers sudah menyatakan sebagai karya jurnalistik. Kemudian juga sudah memberi kesempatan hak jawab kepada pelapor, tapi kemudian tidak hak itu diambil. Jadi memang posisinya tidak ideal, kalau misalkan harus diselesaikan dengan pendekatan restorative justice," sambungnya.

AJI sebenarnya berharap kasus itu bisa ditutup karena mengacu nota kesepahaman antara Kapolri dengan Dewan Pers: Seharusnya kasus-kasus pemberitaan ini bisa diselesaikan cukup di Dewan Pers. Tetapi sampai hari ini kasusnya masih menggantung di Polda Aceh dan belum diselesaikan seperti usul Menkopolhukam. "Hendaknya ada rencana tindak lanjut antara organisasi profesi, Dewan Pers, dan kepolisian terkait dengan kasus-kasus UU ITE," sela Madrim.

Ditambahkannya, dari kasus-kasus itu kalau dilihat pasal yang digunakan sebagian besar Pasal 27 ayat 3, yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal itu biasanya selalu dijuntokan dengan Pasal 45 ayat 3, yang cukup banyak digunakan dalam kasus-kasus berkaitan dengan jurnalis. Selain Pasal 27 ayat 3, juga ada Pasal 45 ayat 1 terkait soal distribusi dan mentransmisikan. Sementara ironisnya kerja-kerja jurnalis di era digital pasti akan sangat berhubungan dengan konten digital.

Seterusnya, Pasal 28 ayat 2 terkait menyebarkan informasi. Dan Pasal 45 (a) ayat 2 juga. Beberapa pasal yang kerap digunakan orang-orang yang merasa dirugikan dengan pemberitaan, kemudian jurnalis dilaporkan dengan Pasal 27 ayat 3, Pasal 45 ayat 3, Pasal 45 ayat 1, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 45 (a) ayat 2.

Tapi sebenarnya juga ada Pasal 26 ayat 3, yang inipun sering dimintakan oleh beberapa pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan. Itu berbunyi: Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

"Ini seharusnya tidak diwajibkan karena bisa jadi nanti menghapus catatan sejarah. Misalkan ada berita sebagai contoh tentang Soeharto. Lantas pemerintah hari ini bisa meminta media untuk menghapuskan berita tersebut. Saya pikir penghapusan itu akan merenggut kebebasan pers di Indonesia," pungkas Sasmito Madrim.

Berita Lainnya
×
tekid