sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bincang asyik jurnalisme sastra bersama Septiawan Santana Kurnia

Penggunaan jurnalisme sastra di media digital, yang cenderung mengetengahkan berita pendek-pendek, dinilai Septiawan masih relevan.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Senin, 17 Jan 2022 20:52 WIB
 Bincang asyik jurnalisme sastra bersama Septiawan Santana Kurnia

Pada tahun 2002 terbit sebuah buku berjudul Jurnalisme Sastra. Buku itu sangat fenomenal. Isinya banyak sekali pencerahan. Buku tersebut menjadi rujukan para wartawan. Di Bandung, bukunya dibedah dan dikaji berbagai kampus. Penulisnya, Septiawan Santana Kurnia.

Waktu itu, tahun 2002, buku Jurnalisme Sastra mengalami booming di mana pers kampus, pers mahasiswa, dan wartawan juga menggunakan buku itu sebagai rujukan penulisan.

"Praktik jurnalisme sastra digunakan dalam jurnalisme sekarang relevansinya itu berkorelasi dengan ketertarikan sebuah tulisan. Kesastraan dalam jurnalisme memberi pengaruh terhadap menariknya sebuah penyajian. Jadi, ukurannya adalah bagaimana membuat sebuah berita yang asyik, enak, dan keren," kata Septiawan.

Sebagai pengamat media, Septiawan mengarang buku Jurnalisme Sastra (2002), Jurnalisme Investigasi (2003), Jurnalisme Kontemporer (2005), Menulis Feature (2005), Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif (2007), dan Menulis Itu Ibarat Ngomong (2007). Ia sehari-hari berprofesi pengajar jurnalistik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Selain mengarang enam judul buku itu, dia juga menerbitkan sejumlah karya mengupas tentang media di berbagai jurnal ilmiah.

"Jurnalisme sastra dengan dasar itu akan selalu hidup. Karena mengisi ruang-ruang kosong yang ada di dalam jurnalisme. Mengisi kebutuhan jurnalisme untuk selalu memiliki daya tarik dengan isi beritanya. Dengan sastrawi ini, jurnalisme menjadi lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat," ujar Septiawan berbincang dengan Billy Antoro, mantan aktivis pers mahasiswa Didaktika, Universitas Negeri Jakarta.

Menurut Septiawan, bukan hanya di soal penulisan, kesastraan itu juga ibarat filmis. Untuk misalnya, sajian televisi, berita-berita mendalam butuh sentuhan-sentuhan estetis yang filmis. Itu dimungkinkan atau diwadahi antara lain oleh jurnalisme sastra. Misalnya sebuah liputan yang masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan. Sebuah liputan yang memiliki daya rengkuh terhadap persoalan yang muncul dari persoalan itu sendiri atau diungkap dari orang-orang yang terkait dengan persoalan tersebut.

Penggunaan jurnalisme sastra di media digital, yang cenderung mengetengahkan berita pendek-pendek, dinilai Septiawan masih relevan. "Relevansi kesastraan dalam jurnalisme itu di estetika. Tapi bukan estetika yang hanya untuk lipstik atau kosmetik sifatnya. Estetika yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri seperti inner beauty. Di dalam jurnalisme, jurnalisme sastrawi itu memberikan sentuhan estetik yang sifatnya inner beauty. Misalnya menampilkan sebuah peristiwa dengan sentuhan-sentuhan emotif yang tinggi dengan gaya penyajian estetis yang kuat. Itulah relevansinya, korelasinya, yang masih selaras dalam kebutuhan (masyarakat)," ucapnya.

Bagaimana dengan berita digital yang pendek dan ringkas? Jurnalisme sastrawi tidak berada dalam wilayah panjang dan memusingkan, katanya. Tapi berada dalam wilayah yang menarik. Jadi, ketika menjadi ringkas atau pendek, tetap saja jurnalisme sastrawi dibutuhkan karena penyajiannya yang dibuat seestetis mungkin.

Sponsored

"Perkembangan jurnalisme sastrawi sekarang itu kepada genre yang disebut naratif. Gaya naratif dipakai surat kabar tahun 80 dan 90-an, dan itu pendek-pendek. Karena memang pembaca tidak butuh yang panjang," tutur Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA) itu.

Septiawan menganalogikan antara novel dengan cerita pendek (cerpen). Ada novel, tapi juga ada cerpen. Novel tetap hadir, cerpen juga masih ada. "Ibaratnya jurnalisme naratif itu adalah cerpennya. Tetap punya nilai estetik tinggi. Sebuah cerpen tidak berarti nilainya kurang dibandingkan novel. Cerpen yang bagus tetap memiliki keistimewaan seperti novel yang bagus. Jadi tidak setiap novel itu lebih hebat dari cerpen. Yang penting isi dari penyajiannya," sambungnya.

Dijelaskannya, unsur-unsur jurnalisme sastra meliputi dialog, sudut pandang orang ketiga, dan detail. Walaupun mengaku bukan pengamat yang bagus, Septiawan melihat bahwa penyajian kebanyakan jurnalisme hanya dari mencatat saja. Orang bicara, langsung dikutip, seperti itu misalnya. Dari melihat refleksi di media yang ada sepertinya banyak yang tidak menggunakan semua unsur dalam jurnalisme sastra. "Penyajian seperti itu lama-lama juga akan menghilang," tanggapnya.

Dia beralasan, seni itu selalu dibutuhkan. Kehidupan akan selalu membutuhkan estetika. Di dalam jurnalisme, referensi jurnalisme sastrawi memberikan nilai estetis. Contohnya, sebuah penyajian yang isinya hanya sekadar narasi akan membosankan. "Berbeda misalnya, kalau ada dialognya. Ada detail penjelasannya, adegan-adegan yang dibuat dengan menarik. Itu 'kan akan lain?" cetusnya.

Ini memang sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh jurnalisme. Bahwa masyarakat akan menuntut para pekerja jurnalistik untuk selalu kreatif. Tidak berada dalam kondisi stagnan, tapi selalu mengikuti kebutuhan masyarakat. Jika misalnya dinyatakan bahwa selera masyarakat rendah juga tidak. Kalau Septiawan lebih melihatnya sebagai tantangan terhadap para pekerja media sendiri. Karena biar bagaimana pun masyarakat akan tetap butuh informasi yang baik, benar, dan menarik.

"Banyak persoalan mengenai produk informasi yang ujungnya dikaitkan dengan modal. Tapi kita melihat ada juga media-media yang dimodali dengan besar, tapi tidak bertahan lama. Berbagai pembelian televisi misalnya," katanya.

"Toh akhirnya juga stagnan karena tidak diniatkan dengan serius. Tapi ada juga media yang dijual-beli dengan biasa saja, tapi hidup lama. (Majalah) Tempo barangkali adalah salah satu tolok ukur membuat sebuah media yang baik dan benar dan tetap bertahan," terusnya.

Di setiap zaman, dalam sejarah pers, selalu akan ada titik-titik polarisasi. Antara media yang menuruti pemerintah dan ada yang tidak patuh. Di dalam sejarah media, selalu didapati kenyataan bahwa media seperti itu selalu ada, tidak pernah mati, dengan polarisasi. Barangkali dari sebuah media yang manut kepada pemerintah memang faktanya mereka tetap hidup. Berarti masyarakat membutuhkannya, dalam arti butuh informasi tentang kebijakan pemerintah. Lalu (media) yang kontra  juga sama. Barangkali masyarakat butuh media yang kontra.

"Kita tahu banyak juga media yang kontra (pemerintah) yang malah mati. Apa karena diserang buzzer atau modalnya kurang atau kualitas liputannya tidak bisa diharapkan?" tanyanya.

Untuk soal itu, Septiawan mengakui belum meneliti dengan sebuah riset. Hanya saja dia menyatakan, memang faktor modal dibutuhkan. Ada juga serangan-serangan buzzer atau serangan-serangan secara politis yang terbuka atau diam-diam.

"Tapi sekali lagi toh ternyata banyak juga media yang bertahan. Banyak juga yang tutup. Alasannya banyak, bisa karena modal yang tidak kuat, pemasarannya kurang, manajemennya tidak bagus atau beritanya yang tidak bagus," katanya.

Septiawan mengelak, bahwa dia bukan pengamat media yang bagus untuk soal pertumbuhan media industri. Dia merasa akademisi yang berada dalam latar belakang jurnalistik semata. Dia diajarkan bahwa masyarakat akan selalu butuh informasi yang baik dan benar. Jadi, katanya, syarat utama membuat media itu adalah buatlah informasi yang baik dan benar. "Jika itu dilakukan, saya kira itu akan minimal memberi sebuah pondasi media itu akan laku dan bertahan," pesannya.

Dengan dalil bahwa setiap media yang bagus itu adalah yang mengeluarkan produk informasi yang baik dan benar. Cara seperti itu, media akan bertahan. Karena masyarakat tetap membutuhkan informasi yang baik dan benar. Bagaimana dengan hoaks dan lainnya?

"Dengan konsep dasar seperti itu, saya melihat inilah tantangan dari para pekerja media untuk selalu bisa menyajikan informasi baik dan benar. Karena masyarakat akan butuh. Tidak selamanya masyarakat akan terjebak hoaks. Kalaupun juga terjebak hoaks, itu dikarenakan beberapa kebutuhan masyarakat sendiri yang tidak terpenuhi oleh pekerja media. Contohnya, kecepatan," singkapnya.

Septiawan mengandaikan, ada sebuah viral tentang peristiwa tertentu di sebuah kota. Tantangannya bagi media adalah menampilkan viral tersebut dalam bentuk berita. Jadi, misalnya, viral di WhatsApp, maka harus segera dikonfirmasi oleh sebuah media. Itu akan memberi semacam percepatan yang dibutuhkan masyarakat.

Selama tiga tahun ini, Septiawan sedang meriset tentang kesastraan dalam jurnalistik. Bagaimana nilai-nilai sastra berada dalam jurnalisme, dia coba mengupasnya sejak abad 18, di mana ada Mark Twain sampai ke generasi Daniel Defoe hingga Ernest Hemingway. Kalau di Indonesia, terkait dari zaman Adinegoro, Mochtar Loebis, lalu Tempo. Dia ingin bercerita bahwa sastra turut bermain di dalam perkembangan jurnalisme, bahkan turut membawa pengaruh.

"Sebuah buku akademis, sepengetahuan saya, harus memiliki sebuah acuan. Misalnya, ketika ingin menyatakan bahwa Hemingway itu karya beritanya memiliki nilai sastra, maka isi buku harus memberi contoh seperti apa berita-berita yang ditulis oleh Hemingway. Kerumitan dari buku itu ialah mencari sumber-sumber inti tersebut selama tiga tahun ini," tuntasnya.

Berita Lainnya
×
tekid