sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cerita dari mereka yang meliput di KPK

Jurnalis digadang-gadang mampu membantu KPK memutus rantai korupsi. Sebanyak 32 jurnalis berbagi pengalaman meliput isu penting ini.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Jumat, 09 Feb 2018 20:49 WIB
Cerita dari mereka yang meliput di KPK

Mulanya adalah pertemuan tak sengaja di bawah tiang bendera, Gedung Merah Putih KPK pada 20 Juni 2017. Sabir Laluhu jurnalis kawakan Sindo, Nanang Farid Syam pengurus Pembinaaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, dan seorang fotografer merumuskan ide membukukan pengalaman para jurnalis yang malang melintang di KPK. Gayung bersambut, usai ditawarkan pada sejumlah pekerja media, terkumpulah 35 tulisan, dari 32 jurnalis.

Mengambil tajuk ‘Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera, buku yang dirilis pada Jumat (9/2) ini menjadi gambaran menarik tentang kisah para pemburu berita di lembaga anti rasuah. “Di tengah gempuran problem korupsi di negara kita, buku ini berhasil mencuri momen untuk berkomunikasi dengan cara unik soal korupsi. Buku ini menjadi relevan, karena publik butuh informasi sekaligus penyadaran,” ungkap Ketua KPK Agus Rahardjo, di Aula Gedung Pertemuan KPK, Jakarta.

Menurutnya, isu korupsi sudah jadi ancaman yang membahayakan untuk segala sektor kehidupan. Ia mencontohkan korupsi kasus E-KTP yang belakangan hangat dibicarakan. “Publik tak menyadari, korupsi dana E-KTP jadi signifikan dampaknya, terhadap kemudahan masyarakat memperoleh kartu identitas tunggal (single identity),” jelasnya. Padahal identitas ini adalah kebutuhan yang sangat penting bagi warga negara.

Contoh lain misalnya, bangkai korupsi yang tercium dari dunia farmasi, di mana dokter mendapat aliran dana Rp800 miliar dari pelaku industri obat. “Masyarakat lagi-lagi tak paham, isu ini sangat krusial untuk diwartakan. Di sini jurnalis punya kewajiban mencerahkan publik, menyadarkan kalau harga obat jadi mahal, bisa karena banyak sebab, barangkali indikasi korupsi,” terangnya.

Pentingnya tugas jurnalis dalam peliputan isu korupsi, disajikan dengan menarik dalam buku bersampul merah tersebut. Sabir yang juga penulis ‘Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi’ mengaku sangat senang, buku ini hadir di tengah perjuangan menyadarkan bahaya korupsi pada publik. “Setelah pertemuan di bawah tiang bendera, saya menjumpai Kuswandi wartawan Jawapos.com. Cerita Kuswandi pada akhirnya ikut nampang di buku ini, bersama dengan cerita suka duka para jurnalis yang jarang terekspos media,” terangnya.

Cerita duka hadir dari Maria Sarjana, jurnalis CNN Indonesia. “Begitu diminta ngepos di KPK, saya merasa ini adalah tantangan. Apalagi, kami dari jurnalis televisi kerap dihadapkan pada kesulitan mengambil gambar. Padahal bagi kami, tidak ada gambar, berarti tidak ada berita. Beda dengan para jurnalis media daring atau cetak yang berbekal informasi di media sosial dan kutipan narasumber, berita bisa naik,” keluhnya.

Hal senada juga disampaikan jurnalis Metro TV Mario Pasaribu. “Di dalam buku, kami menyampaikan keluh kesah belanja berita di gedung KPK. Rebutan dengan jurnalis lain, menangkap momen yang kadang hadir tak terduga, sehingga harus benar-benar gesit,” tuturnya. Tak heran, jika jurnalis terpaksa menjadikan gedung KPK ini sebagai rumah kedua, demi mengejar keterangan para petinggi, atau sekadar menunggu kedatangan pesakitan. Tangga dan emperan gedung KPK pun tak ayal jadi tempat favorit jurnalis merebahkan badan, menunggu sumber berita.

Namun tak melulu bicara duka, buku ini juga menyajikan kisah-kisah yang luput dibicarakan di kanal media mainstream. “Bahkan karena dekatnya jurnalis pada KPK, gosip dan skandal KPK mau disantet atau perceraian, jurnalis selalu yang terdepan tahu,” seloroh Sabir.

Sponsored

Secara umum, Sabir menyarikan tiga poin penting dari buku ini, yakni bagaimana jurnalis meliput berita di KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kedua cara kerja KPK secara kelembagaan, dan terakhir mengenai personil KPK yang melakukan tindak pencegahan.

“Buku ini sendiri bagi saya adalah ihtiar untuk melakukan tindak pencegahan korupsi,” tegas Agus. Betapa korupsi sudah mendarah daging dalam kehidupan kita. Bahkan menurutnya, di Singapura, memberikan bingkisan kepada guru yang memberi nilai murid, tergolong korupsi paling sederhana. Di negara kita, hal-hal semacam itu dianggap wajar dan permisif,” ungkapnya.

Hal ini diamini Abdul Manan, redaktur Tempo yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen. Menurutnya, jurnalis harus mampu menjawab tantangan besar dalam menyingkap isu yang penting diketahui publik, dalam hal ini adalah berita korupsi. Memang betul, kadang kita tetap harus menjaga jarak dengan KPK agar tetap objektif. Namun dekat dengan KPK pun diperlukan untuk memperoleh keterangan yang, meminjam istilah Bill Kovach jurnalis Amerika, penting untuk diketahui publik,” terangnya.

Jangan sampai ada kesan, hanya karena disekat pemilik modal, lantas berita yang harusnya sampai pada masyarakat jadi terdistorsi. “Tak masalah mau kerja di media partisan, berafiliasi pada partai, atau media brengsek sekalipun. Jurnalis masih bisa tetap jadi jurnalis yang baik asal taat kode etik. Jangan mau buat berita pesanan,” pungkasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid