sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gambar tanpa kata: solusi bahasa "berlepotan" reporter warga

Cakap berbahasa perlu kecerdasan tersendiri bagi warga yang tidak terlatih khusus untuk memberitakan sesuatu.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Selasa, 11 Okt 2022 19:55 WIB
Gambar tanpa kata: solusi bahasa

Jurnalis warga (citizen journalist) atau citizen reporter baru meramaikan Indonesia tahun 2004. Tepatnya, pada 26 Desember, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh.

"Pertama kali melihat betapa dahsyatnya tsunami Aceh lewat video itu kita bisa mendapatkan gambaran kengerian dan kedahsyatan bencana tsunami tersebut," kata Agnes Adhani, dosen Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.

Sebelumnya tsunami biasa terjadi di Jepang, di kawasan pesisir yang rawan gempa. Bahasa Indonesia menyerap kata "tsunami" juga berakar dari bahasa Jepang.  

"Bagaimana air menggulung apapun yang ditemukannya itu. Tanpa kata-kata kita bisa menangkap (peristiwa) karena lewat gambar itu kita bisa mendapatkan ribuan kata," sambung Agnes mengutip kanal RRI Madiun, Senin (3/10).

Menurut Agnes, berita itu akan berbeda kalau diungkapkan dengan kata-kata. Terlebih bila yang memberitakan ialah jurnalis warga.

"Biasanya keterampilan jurnalis warga -- wartawan amatiran -- kelihatan kurang lihai dalam menggunakan bahasa. Itu yang terjadi, saya amati," tutur Agnes berbicara di Programa 1 RRI Madiun.

Dikatakannya, kekeliruan kemudian kesalahan penyebutan terutama pada hal-hal yang tabu, misalnya tentang kasus kekerasan seksual atau kasus anak, yang seharusnya disamarkan.

"Kadang sudah disamarkan dengan menggunakan inisial. Tapi alamat rumah atau mungkin sekolah disebutkan secara nyata. Sehingga ada unsur menguak privacy (rahasia pribadi) seseorang," ucap Agnes saat ditanggap dalam program Pembinaan Bahasa Indonesia membahas tentang 'Jurnalisme Warga' di Stasiun RRI Madiun.

Diuraikannya bahwa cakap berbahasa perlu kecerdasan tersendiri bagi warga yang tidak terlatih khusus untuk memberitakan sesuatu, bahkan wartawan pun kadang-kadang melakukan hal itu juga.

"Kalau gambar itu 'kan, hanya mengambil (dari kamera foto atau video) dengan merekam sebuah bencana atau kegiatan tanpa kata-kata. Kita yang membahasakan sendiri, menafsirkan sendiri, yaitu orang-orang yang melihat (audiens)," imbuh Agnes.

Tetapi, diteruskannya, kalau sudah menggunakan kata-kata, itu biasanya ada unsur agak "berlepotan" (yang khas ala jurnalis warga).

Seorang warga yang tidak dilatih untuk menjadi wartawan, dengan kekuatan gawai, merekam secara video. Itu sebenarnya sudah menjelaskan sesuatu. Unsur yang paling menonjol dari jurnalisme warga adalah kedekatan. Jurnalis berada on the spot (di lokasi kejadian).

Agnes memberi solusi: Mungkin lebih baik menggunakan kamera saja, menampilkan apa adanya yang terjadi. Atau kalaupun menggunakan kata-kata, cukup seperti kronik saja. Misalnya menyebutkan: "Hari ini, tanggal ini, jam sekian, terjadi ini." Rumusnya begitu saja.

Tapi kalau agak panjang -- katanya -- nanti bisa menjadi multitafsir, berpihak, kemudian tidak objektif, semua itu bisa terjadi. Walaupun ingin menambahkan atau menjelaskan sesuatu yang terjadi, tapi kadang-kadang dapat berubah jauh dari pengertian yang hendak disampaikan.

Itu kelihatan dari beberapa karya jurnalisme warga yang berseliweran di dunia maya saat ini, yang diamati dosen Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, Agnes Adhani.

Berita Lainnya
×
tekid