sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia menuju waras digital

Ada ruang waktunya di mana total pengguna internet di Indonesia, dengan semua alat, hampir 175 juta.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Selasa, 09 Nov 2021 16:17 WIB
Indonesia menuju waras digital

Kondisi empiris di Indonesia sekarang di era digital terutama, dunia digital itu sudah menjadi habitus penting bagi masyarakat. Ini merupakan ruang dan waktu yang paling besar hari-hari ini ketika orang harus berhadapan dengan misinformasi dan disinformasi.

Ada ruang waktunya di mana total pengguna internet di Indonesia, dengan semua alat, hampir 175 juta. Kemudian pertumbuhan dan pengguna internet di Indonesia tahunan itu sekitar 17 persen atau 25 juta, dan waktu rata-rata orang Indonesia menggunakan media sosial daring per hari itu sekitar tiga jam 26 menit.

Proporsi pengguna internet terhadap total populasi di Indonesia 64 persen. Waktu rata-rata di depan internet per hari per orang sekarang hampir delapan jam atau tepatnya 7 jam 59 menit. Sementara waktu rata-rata menonton televisi per hari per orang itu tiga jam empat menit. Jadi sudah berkurang, biasanya dulu televisi dominan, kini sudah bergerak ke arah internet di mana juga sudah ada live streaming televisi sebenarnya, dan hampir delapan jam waktu yang dihabiskan orang Indonesia. Ini kondisi empiris sekarang.

Berapa banyak pengguna media sosial online di Indonesia? Mereka masuk ke Facebook, Instagram, Facebook Messenger, pada Januari 2020 terlihat bahwa yang bergerak dan memakai media sosial online itu umurnya antara 18-24 dan 25-34 berdasarkan profil para audiens untuk iklan umumnya di media sosial. 18-24 ialah generasi Z. Kemudian 25-34, dan rentang agak lebih ke atas lagi sampai dengan 25-44 tahun, ini generasi milenial. Jadi mereka yang menggunakan internet dan juga memakai media sosial, yang menjadi sasaran empuk dari post-truth maupun echo chamber dan juga sasaran hoaks itu adalah generasi Z, yaitu 18-24 tahun, dan generasi milenial.

Apa yang terlihat dari situasi empiris seperti itu dapat disimpulkan, dari beberapa riset yang dilakukan, bahwa waktu konsentrasi penuh manusia sudah menurun dari 12 detik di tahun 2000. Jadi hanya delapan detik saat ini, bahkan terakhir menjadi tinggal tiga detik saja.

Saat ini dunia termasuk Indonesia menghadapi bukan saja pandemi, tetapi infodemik atau Tsunami informasi, yang beredar melalui daring. Inilah kunci dari post-truth dan echo chamber, yaitu munculnya apa yang disebut sebagai infodemik. Di mana misinformasi dan disinformasi menjadi persoalan yang sangat mendesak untuk dipahami dan dihadapi secara bersama.

Dikutip dari jurnal oleh tim peneliti MIT (Massachusetts Institute of Technology) 2019 di MIT News. Studi: On Twitter, false news travels faster than true stories, yaitu proyek riset tentang manusia, bahwa manusialah bukan bot yang paling utama bertanggungjawab atas penyebaran informasi yang keliru. Di Twitter, menurut tim peneliti dari MIT, informasi yang tidak benar itu menyebar enam kali lebih cepat dan jumlahnya 10-20 kali lebih banyak daripada informasi yang benar.

Dalam era digital kini, informasi yang tidak benar menyebar enam kali lebih cepat dan jumlahnya 10-20 kali lebih banyak daripada informasi yang benar. Ini harus dipertimbangkan saat ini, yang juga dihadapi oleh Juru Bicara Presiden. Di mana info yang benar itu hanya seperenam daripada yang salah yang beredar setiap saat di masyarakat.

Sponsored

Bagaimana virus melakukan reproduksi. Dapat dibuat gambaran bahwa virus informasi atau meme menyebar seperti virus biologis, menular serta bisa menginfeksi siapapun. Situasi dalam dunia maya saat ini harus dipahami dengan menggunakan pendekatan infodemiologi sebagaimana memahami penyebaran virus SARS-CoV-2 melalui epidemiologi.

Kalau digambarkan secara sederhana, berarti satu orang bisa menyebarkan dua berita berisi informasi yang tidak benar. Kemudian satu orang berikutnya, dua lagi. Jadi di Indonesia bisa terlihat satu orang itu bisa menginfeksi kepada tiga orang. Jika ingin melakukan upaya vaksinasi terhadap virus Covid-19 maka: satu dikurang sepertiga dikurang sama dengan dua pertiga. Berarti yang akan dilakukan vaksinasi nanti sekitar 70 persen dari masyarakat Indonesia.

Tetapi dalam kasus infodemik, satu orang bisa menularkan kepada dua orang, sehingga satu dikurang setengah yaitu setengah. Maka setidaknya harus memvaksinasi sekitar 50 persen dari masyarakat Indonesia yang terpapar informasi tidak benar. Ini sebuah tantangan yang luar biasa. Apabila memakai model yang dimunculkan saat ini, yaitu satu orang bisa menularkan informasi tidak benar kepada dua orang. Dengan demikian berarti, untuk melakukan detoksifikasi terhadap infodemik, maka harus dilakukan vaksinasi disinformasi, vaksinasi infodemik, setidaknya terhadap 50 persen dari masyarakat Indonesia. Karena itu bercermin dari informasi tidak benar yang bekerja dengan kecepatan menyebar enam kali lebih cepat dan 20 kali lebih banyak daripada informasi yang benar.

Mengutip dari WHO bahwa pencegahan terhadap penyebaran misinformasi atau disinformasi atau post-truth lebih baik daripada mengobati korban misinformasi atau disinformasi. Jadi, sebagaimana berhadapan dengan Covid-19, pencegahan sebenarnya lebih baik daripada mengobati sehingga dibutuhkan kemampuan untuk memahami dinamika media sosial online melalui data desain untuk mendorong apa yang disebut sebagai kewarasan digital atau digital sanity.

Rekomendasinya disebut sebagai 'Indonesia Menuju Waras Digital'. Pertama, mendorong kewarasan digital atau digital sanity melalui narasi-narasi baik. Tapi tadi sudah terlihat suasana empirik saat ini. Paling tidak, untuk memvaksinasi disinformasi dan misinformasi, harus dilakukan vaksinasi kepada hampir 50 persen dari masyarakat. Kemudian, yang kedua, mendorong masyarakat untuk bercerita di dunia digital sebagai kontra-narasi terhadap informasi tidak benar yang beredar. Ini adalah strategi.

Ketiga, meningkatkan volume serta kecepatan dari berita-berita baik. Karena melalui penelitian dari para ahli MIT, info keliru enam kali kecepatannya, maka harus lebih cepat lagi melalui penyebaran berita-berita baik. Keempat, mendorong sebanyak mungkin cerita-cerita dari kaum perempuan untuk menangkal ketakutan (fear) dan kebohongan (false) yang senantiasa dikreasi dan disebarkan sebagai misinformasi dan disinformasi.

Umumnya yang paling banyak dilihat orang di dalam dunia digital atau media, di situ ada empat-F, yaitu, yang pertama 'fear', yang kedua 'female', yang ketiga 'faith', yang keempat 'food'. Jadi kalau berhadapan atau melihat secara langsung misinformasi atau disinformasi atau post-truth maka lihat saja hanya ada empat kategori ini. Biasanya yang dikerjakan orang menyebarkan ketakutan, yang kedua terkait dengan dunia perempuan, ketiga terkait dengan agama atau keyakinan, dan keempat, terkait dengan makanan. Ini juga bisa menjadi strategi dalam menghadapi misinformasi atau disinformasi.

Berikutnya melakukan analisis serta menerapkan metodologi jejaring sosial dan viralitas dalam setiap kajian dan komunikasi publik yang dilakukan. Studi komunikasi mengenal CNA (communication network analysis). Sementara dunia ilmu sosial mengenal SNA (social network analysis), dan itu lebih mudah dipergunakan dalam menghadapi apa yang disebut sebagai infodemik, misinformasi, disinformasi atau post-truth.

Misinformasi atau disinformasi dalam bentuk 'information reparties' atau daur ulang informasi dapat diatasi dengan teknik yang sama secara terstruktur dan massif hari-hari sekarang. Misalnya ditemukan kembali semua video-video lama, klip, kemudian postingan-postingan lama yang dipakai untuk menghembuskan kekacauan baik di dalam menghadapi Covid-19 ataupun kehidupan politik yang dihadapi sehari-hari.

Apa yang disebut sebagai information reparties atau daur ulang informasi dan harus dihadapi dengan cara yang sama. Semakin banyak mereka mendaur ulang, kita perbanyak juga mendaur ulang untuk informasi yang baik dan benar dilakukan oleh semua pihak secara bersama-sama secara kolaboratif. Tidak mungkin yang namanya vaksinasi terhadap disinformasi dan misinformasi dikerjakan oleh sendirian. Hanya kita bersama yang bisa memahami tentang kondisi post-truth, echo chamber, dan misinformasi-disinformasi inilah yang bisa bekerja bersama-sama.

(Disarikan dari paparan Fadjroel Rachman, mantan staf khusus Presiden bidang komunikasi dan Juru Bicara Presiden, dalam Public Affairs Forum Indonesia yang diselenggarakan Public Relations Association of Indonesia (Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia/Perhumas) seperti ditayangkan Checklist Project TV, Selasa [2/11].)

Berita Lainnya
×
tekid