sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kekerasan terhadap pewarta di tengah prahara aksi massa

Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis saat kerusuhan pada 21-22 Mei 2019.

Armidis Fadli Mubarok
Armidis | Fadli Mubarok Kamis, 30 Mei 2019 12:00 WIB
Kekerasan terhadap pewarta di tengah prahara aksi massa

Ragam kekerasan

Fadli termasuk salah seorang dari 20 jurnalis yang dicatat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengalami kekerasan saat melakukan tugas peliputan ketika kerusuhan pecah pada 21-22 Mei 2019.

Dari 20 jurnalis itu, sebanyak 11 jurnalis mengalami kekerasan dan perbuatan tak menyenangkan oleh aparat. Tujuh lainnya mengalami kekerasan oleh massa aksi. Sedangkan dua lainnya belum diketahui pelakunya. Jumlah tersebut bisa bertambah lantaran pihak AJI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers masih memverifikasi data itu.

Berdasarkan catatan AJI, kekerasan terhadap jurnalis mengalami tren peningkatan dua tahun terakhir. Pada 2017, AJI hanya mencatat 60 kasus kekerasan terhadap pewarta. Pada 2018, jumlah ini meningkat menjadi 64 kasus.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada beragam bentuk kekerasan yang menimpa jurnalis saat tugas peliputan. Kekerasan terhadap jurnalis tak hanya sebatas ancaman dan persekusi.

Sejumlah personel kepolisian mengamankan jalannya Aksi 22 Mei yang ricuh di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

Sebagian yang meliput kerusuhan di depan Kantor Bawaslu pada 21-22 Mei 2019, kata Ade, mengalami kekerasan fisik.

"Kekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga pembakaran motor milik jurnalis," kata Ade saat dihubungi, Rabu (29/5).

Sponsored

Ade menyebut, kekerasan terhadap wartawan saat kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 merupakan kasus kekerasan yang paling memprihatinkan setelah reformasi. Oleh karena itu, Ade meminta kepolisian bertindak tegas mengusut aksi kekerasan terhadap jurnalis.

"Kami mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, baik oleh polisi maupun kelompok warga," kata Ade.

Tak serius?

Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Erick Tanjung menilai, komitmen aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya, terhadap kasus kekerasan pada jurnalis masih rendah. Hal ini menyebabkan kekerasan terhadap jurnalis masif.

Erick mengatakan, jumlah kekerasan terhadap pewarta makin meningkat setiap tahun, tetapi penanganannya masih impoten. Komitmen penegak hukum yang lemah itu tergambar dari banyaknya laporan terkait kekerasan terhadap wartawan, yang tak pernah mendapat penanganan hukum serius.

“AJI juga sangat aktif melaporkan ke aparat penegak hukum agar ada penanganan hukum sesuai perundang-undangan. Sayangnya, laporan terkait kekerasan terhadap jurnalis selalu menguap,” kata Erick ketika dihubungi, Rabu (29/5).

Ia khawatir, kekerasan itu akan berimbas pada konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apalagi, sejak momen politik Pilkada DKI Jakarta hingga sekarang, belum ada laporan kekerasan terhadap jurnalis yang dibawa ke meja hijau.

Personel kepolisian menembakkan gas air mata ketika terjadi kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

"Kami mendesak ada penindakan atas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, agar tidak menjadi preseden buruk terhadap iklim demokrasi ke depan," ujar Erick.

Menurut Erick, menjaga kebebasan pers merupakan indikasi membaiknya indeks demokrasi sebuah negara. Bila persnya dalam kondisi baik, kata Erick, masyarakat akan disajikan ragam informasi yang berkualitas.

"Iklim kemerdekaan pers harus dijaga. Bentuk menjaga kebebesan pers ialah aparat hukum, baik TNI, Polri, dan Kejakasan itu harus aware, dan memprioritaskan penanganan kekerasan terhadap jurnalis harus sampai di proses peradilan," kata Erick.

Di samping itu, ia mengimbau para pemimpin media bertindak terkait kekerasan yang menimpa wartawannya. Dalam kerja jurnalistik, pemimpin media juga dibebankan tanggung jawab soal keselamatan pekerjanya.

Selain jurnalis sebagai korban, menurut Erick, pemimpin media harus mampu menggiring persoalan pelanggaran hukum itu melalui peradilan.

"Kita dorong semua korban dan pemimpin media agar melakukan proses hukum," kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid