sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kekerasan terhadap pewarta di tengah prahara aksi massa

Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis saat kerusuhan pada 21-22 Mei 2019.

Armidis Fadli Mubarok
Armidis | Fadli Mubarok Kamis, 30 Mei 2019 12:00 WIB
Kekerasan terhadap pewarta di tengah prahara aksi massa

Selasa (21/5) malam, reporter Alinea.id, Fadli Mubarok masih ada di sekitar Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat. Sejak siang, ia bertugas meliput aksi unjuk rasa memprotes hasil Pemilu 2019. Aksi itu berjalan tertib hingga massa membubarkan diri pada pukul 20.30 WIB.

“Saat itu, kira-kira pukul 22.30, tiba-tiba dari luar massa ramai kembali sambil menyindir polisi,” kata Fadli, yang malam itu tengah berada di media center Bawaslu bersama beberapa jurnalis.

Didorong rasa penasaran, Fadli dan beberapa jurnalis lainnya beranjak dari media center ke depan Kantor Bawaslu. Mereka menyaksikan massa kembali ramai di sekitar Jalan Wahid Hasyim arah Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Menurut Fadli, massa yang datang pukul 22.30 WIB berbeda dengan massa sebelumnya.

Situasi makin memanas. Massa mulai mengoyak-ngoyak kawat berduri, dan berusaha mendekat ke Kantor Bawaslu. Aparat kepolisian mulai dikerahkan, usai diadakan usaha penenangan massa oleh pihak kepolisian. Fadli dan jurnalis lainnya sibuk mengabadikan peristiwa ini.

Tak lama, puluhan aparat kepolisian berlari menuju massa aksi, sembari membawa pentungan dan tameng. Situasi rusuh. Para jurnalis, kata Fadli, berada di tengah massa dan aparat.

Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Jurnalis Muda melakukan aksi damai tolak kekerasan terhadap wartawan di Alun-alun, Serang, Banten, Senin (27/5). /Antara Foto.

"Saat itu, teman-teman jurnalis sama massa tidak bisa dibedakan. Paling-paling ID card saja yang mungkin membedakan," kata Fadli.

Lantas, beberapa jurnalis terlihat nekat meliput dari dekat. Sisanya, berniat menjauh dari lokasi bentrok dan kembali ke Kantor Bawaslu. Salah satunya Fadli.

Namun, ketika menuju ke Kantor Bawaslu, ia terdorong oleh salah seorang aparat. Fadli mendapat sekali pukulan di bagian badan hingga akhirnya aparat tahu ia adalah seorang jurnalis.

"Sempat kena pukul. Dan aparat tersebut mengancam saya untuk tidak menulis dan mengambil gambar," ujarnya.

Sayangnya, Fadli tidak dapat melihat jelas wajah aparat tersebut karena setengah wajahnya tertutup masker. Aparat tersebut juga memakai rompi antipeluru.

"Bukan hanya saya yang kena. Beberapa teman-teman mengaku kena, bahkan ada yang pakaiannya robek di bagian belakang," ucapnya.

Jurnalis CNN Indonesia TV, Budi Tanjung, juga mengaku menjadi korban saat kerusuhan. Ia bertugas meliput aksi pada 21-22 Mei 2019 di sekitar Kantor Bawaslu. Budi mengatakan, awal kekerasan yang ia alami terjadi pada 22 Mei 2019 sekitar pukul 02.00 WIB.

Sejumlah massa Aksi 22 Mei terlibat kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

"Saat itu aparat mulai menembakan gas air mata. Mata saya perih, dan pada akhirnya memutuskan untuk mencari tempat istirahat," kata Budi saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (29/5).

Budi kemudian beristirahat di depan gereja di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Di waktu bersamaan, Budi melihat ada terduga pelaku kerusuhan yang diamankan oleh aparat kepolisian. Ia lantas beinisiatif untuk mengambil gambar kejadian menggunakan gawainya.

"Saya juga tidak sengaja mengambil momen ketika beberapa Brimob memukul terduga perusuh itu," katanya.

Menurut Budi, saat ia merekam momen itu, beberapa anggota Brimob tahu. Spontan, beberapa anggota Brimob tadi meneriaki Budi. Ia lantas dikerubungi, salah seorang di antaranya mencoba merampas gawai.

Budi sempat mempertahankan gawainya, tetapi di waktu bersamaan anggota Brimob lain memukulnya dari belakang. Meski ia sudah mengaku sebagai jurnalis, memperlihatkan kartu pers, namun anggota Brimob tersebut tak mengacuhkannya.

"Akhirnya gawai saya dirampas secara paksa. Mereka juga menghapus foto-foto yang saya ambil," kata dia.

Ragam kekerasan

Fadli termasuk salah seorang dari 20 jurnalis yang dicatat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengalami kekerasan saat melakukan tugas peliputan ketika kerusuhan pecah pada 21-22 Mei 2019.

Dari 20 jurnalis itu, sebanyak 11 jurnalis mengalami kekerasan dan perbuatan tak menyenangkan oleh aparat. Tujuh lainnya mengalami kekerasan oleh massa aksi. Sedangkan dua lainnya belum diketahui pelakunya. Jumlah tersebut bisa bertambah lantaran pihak AJI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers masih memverifikasi data itu.

Berdasarkan catatan AJI, kekerasan terhadap jurnalis mengalami tren peningkatan dua tahun terakhir. Pada 2017, AJI hanya mencatat 60 kasus kekerasan terhadap pewarta. Pada 2018, jumlah ini meningkat menjadi 64 kasus.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada beragam bentuk kekerasan yang menimpa jurnalis saat tugas peliputan. Kekerasan terhadap jurnalis tak hanya sebatas ancaman dan persekusi.

Sejumlah personel kepolisian mengamankan jalannya Aksi 22 Mei yang ricuh di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

Sebagian yang meliput kerusuhan di depan Kantor Bawaslu pada 21-22 Mei 2019, kata Ade, mengalami kekerasan fisik.

"Kekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga pembakaran motor milik jurnalis," kata Ade saat dihubungi, Rabu (29/5).

Ade menyebut, kekerasan terhadap wartawan saat kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 merupakan kasus kekerasan yang paling memprihatinkan setelah reformasi. Oleh karena itu, Ade meminta kepolisian bertindak tegas mengusut aksi kekerasan terhadap jurnalis.

"Kami mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, baik oleh polisi maupun kelompok warga," kata Ade.

Tak serius?

Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Erick Tanjung menilai, komitmen aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya, terhadap kasus kekerasan pada jurnalis masih rendah. Hal ini menyebabkan kekerasan terhadap jurnalis masif.

Erick mengatakan, jumlah kekerasan terhadap pewarta makin meningkat setiap tahun, tetapi penanganannya masih impoten. Komitmen penegak hukum yang lemah itu tergambar dari banyaknya laporan terkait kekerasan terhadap wartawan, yang tak pernah mendapat penanganan hukum serius.

“AJI juga sangat aktif melaporkan ke aparat penegak hukum agar ada penanganan hukum sesuai perundang-undangan. Sayangnya, laporan terkait kekerasan terhadap jurnalis selalu menguap,” kata Erick ketika dihubungi, Rabu (29/5).

Ia khawatir, kekerasan itu akan berimbas pada konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apalagi, sejak momen politik Pilkada DKI Jakarta hingga sekarang, belum ada laporan kekerasan terhadap jurnalis yang dibawa ke meja hijau.

Personel kepolisian menembakkan gas air mata ketika terjadi kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

"Kami mendesak ada penindakan atas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, agar tidak menjadi preseden buruk terhadap iklim demokrasi ke depan," ujar Erick.

Menurut Erick, menjaga kebebasan pers merupakan indikasi membaiknya indeks demokrasi sebuah negara. Bila persnya dalam kondisi baik, kata Erick, masyarakat akan disajikan ragam informasi yang berkualitas.

"Iklim kemerdekaan pers harus dijaga. Bentuk menjaga kebebesan pers ialah aparat hukum, baik TNI, Polri, dan Kejakasan itu harus aware, dan memprioritaskan penanganan kekerasan terhadap jurnalis harus sampai di proses peradilan," kata Erick.

Di samping itu, ia mengimbau para pemimpin media bertindak terkait kekerasan yang menimpa wartawannya. Dalam kerja jurnalistik, pemimpin media juga dibebankan tanggung jawab soal keselamatan pekerjanya.

Selain jurnalis sebagai korban, menurut Erick, pemimpin media harus mampu menggiring persoalan pelanggaran hukum itu melalui peradilan.

"Kita dorong semua korban dan pemimpin media agar melakukan proses hukum," kata dia.

Baru dua melapor

Sejauh ini, Erick Tanjung mengatakan, ada dua wartawan yang menjadi korban kekerasan saat kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 yang sudah melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian. Pertama, Budi Tanjung yang bekerja sebagai jurnalis CNN Indonesia TV.

Erick mengatakan, Budi melaporkan kasusnya ke Propam Mabes Polri pada 28 Mei 2019. Kedua, Aji yang bekerja sebagai jurnalis iNews TV. Ia mengalami kekerasan fisik dan diusir oleh aparat.

"Dua (jurnalis) ini yang cukup syarat, seperti visum untuk melaporkan. Selainnya, kita dorong juga korban yang lain untuk melaporkan," ujar Erick.

Sejumlah massa Aksi 22 Mei terlibat kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

Budi Tanjung tak terima atas perlakuan beberapa anggota Brimob. Atas dasar itu, ia memilih menempuh jalur hukum. Menurutnya, menghalangi pekerja media tak bisa diterima karena melanggar hukum serta kode etik. Terlebih lagi, ada tindakan kekerasan, perampasan, dan pengancaman.

"Ini adalah sesuatu yang tidak boleh kita biarkan," tuturnya.

Budi mengaku memilih melapor, harapannya agar para pelaku bisa diusut tuntas, meski identitas mereka belum diketahui secara pasti. Selain itu, ia meminta agar pimpinan kepolisian melakukan pembinaan terhadap personelnya.

Polisi sudah antisipasi

Dihubungi terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, kepolisian akan memastikan langkah hukum bagi para pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kepada pihak internal polisi.

Dedi memastikan akan menerapkan sanksi hukum yang setimpal untuk para pelakunya. Oleh karena itu, ia mendorong agar dilayangkan laporan kepada pihak kepolisian.

Sejumlah massa aksi terlibat kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

"Kasusnya dilaporkan ke Polda atau ke Mabes Polri. Nanti akan ditindaklanjuti oleh Propam (Profesi dan Pengamanan), dan tentunya apabila terbukti bersalah akan ditindak sesuai hukum yang berlaku," kata Dedi saat dihubungi, Rabu (29/5).

Sebenarnya, menurut dia, aparat kepolisian sudah memitigasi dampak kekerasan terhadap pekerja media. Ia mengklaim, sejak kerusuhan pada aksi Hari Buruh Internasional di Bandung, Jawa Barat, awal bulan ini, pihaknya berusaha agar jurnalis tak mendapat perlakuan kekerasan saat meliput.

Di dalam internal kepolisian, kata Dedi, sudah diberi pembekalan terutama terkait penanda bagi jurnalis. Bagi wartawan yang tak punya penanda mencolok, kata dia, akan diberikan pita merah-putih untuk membedakan para jurnalis dengan massa aksi.

"Sudah saya buat solusinya mengenai itu, dan sudah saya sampaikan pascakejadian di Bandung saat liputan May Day lalu," ucap Dedi.

Berita Lainnya
×
tekid