sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Masalah media, keterbukaan informasi, efektivitas kebijakan publik dari pemerintah

Banyak sekali kebijakan publik yang bagus, namun tidak dapat dijalankan karena komunikasi pemerintahan yang buruk.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Senin, 21 Feb 2022 20:04 WIB
Masalah media, keterbukaan informasi, efektivitas kebijakan publik dari pemerintah

Seorang pengacara dan negarawan yang menjabat sebagai presiden ke-16 Amerika Serikat dari tahun 1861 hingga terbunuh pada 1865, pernah berkata, "Biarkan masyarakat mengetahui fakta dan dengan sendirinya negara akan aman."

Kata-kata terkenal Abraham Lincoln itu dikutip oleh Dr. Megandaru Widhi Kawuryan, Ketua Bidang Pengembangan Teknologi Informasi Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), saat berbicara dalam webinar bertajuk 'Masalah Media dan Kebijakan Pemerintah yang Efektif'.

"Zaman Lincoln pun isu keterbukaan informasi sudah menyeruak dan menjadi hal yang sangat penting. Apalagi pada era demokrasi kini, dengan adanya media sosial yang sekarang menjadi backbone (tulang punggung) peradaban manusia, yaitu internet, tidak bisa lagi kita menutup-nutupi informasi. Itu salah satu concern pemerintahan modern," katanya dalam tayangan kanal MIPI, Sabtu (12/2/2022).

Megandaru mengutip lagi, dari filsuf asal Inggris Francis Bacon (1561-1626) yang mengatakan, "Knowledge is power". Di masa kekinian, kutipan itu menjadi: "Information is power".

"Siapa yang punya informasi, maka dia yang mempunyai kekuatan. Dengan informasi itulah kita bisa mendapatkan banyak hal, mulai dari yang negatif dan juga positif, yang bisa kita cerna bersama," cetusnya.

Menurut Megandaru, banyak sekali kebijakan publik yang bagus, namun tidak dapat dijalankan karena komunikasi pemerintahan yang buruk. Misalnya dalam menghadapi pandemi Covid-19. Apapun itu, yang namanya kebijakan publik, sebagus-bagusnya kebijakan publik kalau tidak dapat dikomunikasikan dengan bagus itu tidak akan bisa dijalankan dengan baik pula.

"Isu komunikasi pemerintahan sangat menarik. Jadi selama ini orang mengatakan baha komunikasi itu sulit. Seharusnya kualitas kita berkomunikasi makin lama makin membaik. Kita berkomunikasi sejak lahir sampai mati. Tapi kuantitas komunikasi tidak berjalan lurus dengan kualitas komunikasi," serunya.

Dicetuskannya, komunikasi pemerintahan semuanya tentang bagaimana melayani masyarakat. Karena esensi dari pemerintahan ialah untuk melayani masyarakat. Layanan masyarakat itu harus dikomunikasikan. Itu tidak bisa hanya disembunyikan begitu saja. Tapi harus diterangkan kepada masyarakat.

Sponsored

Agar masyarakat tahu arah ke mana pemerintahan mau berjalan. Supaya mereka tahu arah pemerintahan sudah benar. Kalau tidak seperti itu, terjadi penolakan terhadap segala macam kebijakan pemerintah.

"Cara yang terbaik," katanya, "adalah komunikasi yang berbasis fakta."

Dimisalkan Megandaru tadi tentang kebijakan publik yang bagus, namun tidak berjalan lancar, karena komunikasi pemerintahan yang buruk dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pemisalan itu ditanggapi Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong.

"Seberapa efektif pemerintah melakukan komunikasi publik terkait dengan penanganan pandemi Covid-19? Dari rentang 1-5, komunikasi publik kita dianggap berhasil efektif mengubah perilaku masyarakat. Itu ada di range 4 koma sekian menurut sebuah survei. Artinya komunikasi publik yang dibangun pemerintah bisa mengubah perilaku masyarakat, menjaga protokol kesehatan, mau divaksinasi, kira-kira seperti itu. Komunikasi publiknya baik karena bisa mengubah perilaku masyarakat," ujar Usman.

Menyinggung masalah media, dengan berbagai persoalan yang terjadi, kebijakan pemerintah seperti apa yang harus dilakukan?

"Pemerintah tentu saja di negara demokrasi mengontrol kehidupan masyarakat melalui regulasi. Dalam regulasi, ada prosedur demokratis yang harus dilalui," jawab Dirjen IKP Kominfo.

Usman menyebut, yang bisa dilakukan pemerintah saat mencoba menyelesaikan dalam tanda kutip persoalan-persoalan yang terjadi adalah dengan menciptakan sebuah ekosistem fair playing field, arena permainan yang adil, melalui publisher's right (hak penerbit). Hal itu tidak terlepas dari adanya ketidaksetaraan imbas penetrasi media-media global yang berakibat menurunnya kualitas jurnalisme Indonesia.

"Platform global mengubah algoritma seenaknya saja. Tanpa memberikan informasi kepada kita. Kolaborasi atau inisiatif saja tidak cukup, tapi harus mencari sebuah ekosistem. Kalau inisiatif, sifatnya sukarela. Tapi kalau ekosistem dibentuk oleh regulasi, maka itu menjadi kewajiban. Karena penting bagi kita untuk menciptakan satu aturan yang bisa menyelesaikan kondisi objektif tersebut," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid