sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengapa taipan Amerika ramai-ramai beli media?

Bagaimana sebaiknya kita merespons tren para konglomerat membeli media, bahagia atau khawatir?

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Sabtu, 22 Des 2018 15:18 WIB
Mengapa taipan Amerika ramai-ramai beli media?

Antara motif dan realisasi

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto mengatakan pada saya, upaya Bezos membeli The Washington Post sebetulnya adalah sebuah langkah penyelamatan tradisi intelektual dalam pers AS. Menurutnya, itu dibeli bukan sekadar karena industrinya tetapi faktor kepercayaan yang melekat pada media tersebut. Pengusaha sekelas Bezos pun terpanggil untuk menyelamatkan media yang punya relevansi tinggi dengan publik.

“Bisa jadi memang Bezos over liquid, tak tahu mau investasi apa lagi. Namun, pertimbangan paling penting saya kira adalah, ia ingin fungsi jurnalisme dipertahankan. Apalagi saat perusahaan media berusaha menemukan arah baru dalam era digital. Banyak yang sayang kalau pers di Amerika berguguran,” urainya.

Menurut analisis penulis “Newsonomics: Twelve New Trends That Will Shape the News You Get”, Ken Doctor, pers di AS memiliki tradisi sejarah yang merentang zaman. Kebanyakan media yang dikelola sebagai bisnis keluarga, dan berdarah-darah menjaga independensinya, cenderung akan menyerahkan kepemilikan pada mereka yang berada di lingkaran kepercayaan. Jika terpaksa menjual ke para taipan pun, media bisa menjadi sangat selektif.

Seperti yang dilakukan Newsweek yang memilih menjual kepemilikan ke Sidney Harman pada 2010. Lalu Chris Hughes dedengkot Facebook memboyong majalah New Republic pada 2012; serta investor Boston Red Sox yang membeli Boston Globe pada Juli 2013. Tak lama, tindakan itu ditiru Marc Benioff dan Lynne Benioff, pengusaha software Salesforce yang membeli majalah Time senilai US$190 juta dari Meredith Corporation. Keduanya sepakat tak akan terlibat dalam dapur redaksi, baik operasional dan keputusan jurnalistik, lantaran sangat menghormati independensi dan nama besar Time.

Pada Juli 2017, istri Steve Jobs Laurene Powell Jobs lewat The Emerson Collective, membeli saham mayoritas majalah Atlantic. Alasannya senada, ingin memastikan majalah ini tetap eksis di Amerika. Lalu setahun berselang, bekas dokter bedah dan miliarder industri bioteknologi, Patrick Soon-Shiong, membeli Los Angeles Times, San Diego Union-Tribune dan beberapa koran lain seharga US$ 500 juta.

Menurut Ken Doctor, motif para pebisnis itu sebenarnya bisa dirangkum menjadi tiga poin. Pertama, taruhan finansial. Mereka percaya, membeli koran adalah sebuah investasi ekonomi yang menguntungkan jika dibandingkan harus membeli balet, simfoni, dan museum seni. Kedua, mereka masih menilai media menjadi bagian penting yang cukup integral dari nilai-nilai demokrasi. Ketiga, alasan arogansi atau ego di mana mereka percaya media yang dilanda problem keuangan itu akan berhasil menemukan model bisnisnya, jika dipimpin oleh miliarder seperti mereka.

Lantas, apakah tren para taipan membeli perusahaan media di Amerika adalah sebuah preseden buruk? Andreas Harsono, penulis buku “Agama Saya Adalah Jurnalisme” dan murid Bill Kovach di Harvard, justru tak ingin ambil pusing soal motif para pengusaha. Baginya, isu yang lebih penting untuk dilihat adalah bagaimana media di AS bisa tetap menjaga independensi, kualitas, dan menemukan formula yang paling tepat di era digital kini.

Sponsored

Ia menuturkan, ada tiga model buat menjaga keberlangsungan hidup tanpa mengikis mutu jurnalisme. Pertama, seperti yang dilakukan media Amerika kebanyakan termasuk The Washington Post dengan sistem paywall. Sistem tersebut memungkinkan para pembaca untuk mengakses konten berita berkualitas secara berbayar. Langkah ini, mengutip Forbes, sebagai siasat pasca-menurunnya jumlah pendapatan iklan di media cetak mereka.

Namun, untuk meyakinkan publik agar membeli konten berita, relatif perlu didukung prasarana lain. Untuk itulah, dikutip dari Businessinsider, Bezos sejak mengakuisi The Washington Post telah membuat sejumlah gebrakan. Di bawah Bezos, The Post telah mengubah situs web dan aplikasi selulernya. Itu juga menciptakan perangkat lunak yang disebut "Arc," yang memberikan analitis dan fitur pemasaran yang lebih baik untuk publikasi. Itu juga membantu mengambil pendekatan berbasis data. Seperti cara kerja intelijen data artifisial, yang bisa melacak bagaimana tajuk berita yang lebih berpengaruh, berita apa saja yang sedang tren, dan resepsi pembaca.

Tak setop di situ, The Washington Post juga didukung 700 staf, termasuk tim teknik yang hampir tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir. Para editor dan reporter baru, yang di masa akhir kepemilikan Graham banyak disunat, kini terus ditambah hingga bisa menerbitkan 1.200 artikel bermutu. Lengkap dengan fitur foto dan video yang menyenangkan seperti sekarang.

Dalam hal strategi distribusi konten, Bezos juga melibatkan banyak media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Itu juga menawarkan diskon kepada anggota Amazon Prime, sambil membuat aplikasi The Washington Post dipasang di tablet Fire Amazon. Bezos dalam hal ini, seperti analisis Austin Smith dalam Nieman, secara serius memang membangun bisnis ketat yang terintegrasi secara vertikal. “Ia tengah membangun ekosistem bisnis yang kuat, tanpa harus mencampuri urusan editorial,” kata Austin.

Pemilik lama The Washington Post Graham bertemu dengan Bezos pada Juli 2013 di Idaho./ NY Times

Jika model bisnis pertama itu belum bisa diterapkan, Andreas menawarkan dua model lain. Mengutip riset Charles Lewis untuk Reuters Institute for the Study of Journalism, media bisa menerapkan jurnalisme nirlaba yang tak mengandalkan iklan, tapi sumbangan. “Ini dilakukan oleh Mongabay, ProPublica, International Consortium of Investigative Journalists,” ujarnya pada saya, kemarin.

Model ketiga, yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengubah website mereka menjadi media jurnalisme. “Saya kira, Human Right Watch sudah berhasil melakukannya,” tambahnya.

Kasus di Indonesia

Dalam refleksi yang ditulis Ignatius Haryanto bertajuk “Washington Post: Riwayatmu Kini” yang terbit di Kompas pada 26 Agustus 2013, bisnis media di Indonesia memang belum sedramatis di AS. Beberapa koran gulung tikar, televisi menemukan pangsanya sendiri, dan media daring menjamur—kendati kebanyakan sekadar berenang di kolam keruh. Namun, menurut pria yang akrab disapa Kumkum itu, kondisi di Amerika bisa jadi akan terjadi di Indonesia.

“Ini bukan semata soal memindahkan isi ke dalam format baru, tetapi juga terkait dengan cara bertutur atau cara menampilkan informasi yang harus juga menyesuaikan dengan kondisi baru,” tulisnya.

Lantaran itulah, media yang bergiat di model daring, harus mengukuhkan formula yang sesuai dalam hal interaktivitas pembaca, mutu jurnalisme, tampilan visual yang menggugah, relevansi, hingga independensi.

Meski begitu, Andreas melihat tradisi pers di Indonesia dan Amerika sangat timpang. Di Amerika, pers selama ratusan tahun mati-matian menjaga independensi dan kepercayaan publik.

Sementara, di Indonesia, pers hanya dibuat lewat dua cara. Pertama, kumpulan wartawan senior yang membuat media. Ini dilakukan Goenawan Mohammad dengan Tempo, Dahlan Iskan dengan grup Jawa Pos, PK Ojong dengan Kompas, atau media lain seperti Tirto. Beruntung, jika kemudian wartawan tersebut konsisten menjaga mutu jurnalisme, alih-alih sekadar mengeruk profit semata. Model kedua, yakni media yang dibuat oleh para taipan yang umumnya dijadikan alat untuk legitimasi pengaruh. Ada sejumlah nama, mulai Aburizal Bakrie hingga Harry Tanoe.

"Namun, lagi-lagi saya belum melihat apakah motivasi para konglomerat memiliki media, sama seperti di Amerika yang ingin media setempat survive sebagai pilar demokrasi. Apalagi ingin menyumbang jurnalisme yang berkualitas," tutupnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid