sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Reduksi informasi di era media digital

Ada kecenderungan masyarakat saat ini, perhatiannya lebih pada aspek sensasi atau kontroversi.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 06 Des 2019 10:22 WIB
Reduksi informasi di era media digital

Pernyataan Agnes Monica dalam wawancaranya dalam program BUILD Series, Jumat (22/11/2019)  yang menimbulkan kehebohan di Tanah Air, ada hal menarik yang bisa menjadi pembelajaran.

Salah satunya, sensasi dan kontroversi ternyata lebih menarik bagi publik ketimbang substansi persoalannya.

Sebagaimana telah direspons banyak orang di platform media sosial, penuturan Agnes memancing perhatian publik saat menjawab pertanyaan host Kevan Kenney tentang penampilan Agnes yang terlihat berbeda dengan orang-orang Indonesia kebanyakan.

“Karena saya sebenarnya tidak memiliki darah Indonesia sama sekali. Jadi saya sebenarnya (berdarah) campuran Jerman, Jepang, China. Saya hanya lahir di Indonesia,” kata Agnes dalam wawancara tersebut.

Dalam wawancara itu, Agnes juga mengatakan meskipun dia termasuk minoritas di Indonesia, masyarakat bisa menerimanya apa adanya.

Tak lama setelah itu, beredar potongan video yang kemudian viral di media sosial. Tanggapan warganet di Indonesia lantas merebak dan memunculkan tanggapan mendukung, maupun tak setuju dengan Agnes.

Budayawan Radhar Panca Dahana menilai, efek negatif dari kemajuan teknologi media kerapkali tidak dapat diperhitungkan oleh masyarakat selaku penggunanya. Sisi buruk media sosial yang mempermudah penyebaran suatu konten informasi, lantas sering dimanfaatkan pihak tertentu untuk tujuan buruk.

Negative side dari teknologi media itu memungkinkan penyebaran hoaks, dengan teknik disinformasi, manipulasi, dan kooptasi informasi,” kata Radhar kepada Alinea.id belum lama ini.

Radhar bilang, ada kecenderungan masyarakat pada umumnya, untuk cenderung tersedot perhatiannya pada aspek sensasi atau kontroversi dari penuturan Agnes Monica.

“Karena sensasi dan kontroversi itu hal yang paling gampang untuk diapresiasi, dilihat, didengar, dan dirasakan. Itulah basis dari apa yang disebut dengan popular, atau popularity,” kata dia.

Dengan karakter masyarakat yang bersifat populis, Radhar mengatakan, masyarakat umum tergelincir untuk mengapresiasi sebagian saja dari keseluruhan materi informasi. Ini dipengaruhi pula oleh pola pikir materialistik dalam industri media massa yang berkepentingan merengkuh tanggapan publik luas.

Dengan logika serupa, menurut Radhar, penyebar konten video wawancara Agnes lantas mencari peluang dengan memotong dan menyebarluaskan sisi sensasi atau kontroversinya.

“Orang menonton lalu menyebarkan video wawancara Agnes Mo itu merasa tidak perlu menyiarkan semuanya. Dia kabarkan saja sebagian yang memancing sensasi dan kontroversi, supaya mendapatkan populi itu, baik viewer, follower, subscriber, dan seterusnya,” tutur Radhar.

Dengan latar belakang itu, Radhar memandang, pola pikir masyarakat Indonesia menjadi sangat terganggu oleh paparan informasi kental dimensi sensasi dan kontroversi. Hal itu makin parah dengan kemampuan literasi masyarakat yang rendah.

Mengutip catatan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dia menyebut angka literasi masyarakat Indonesia jauh di bawah Singapura, Macau, Cina, dan Hong Kong.

Sebagai efek dari penyebaran video wawancara itu, Radhar lantas menilai Agnes menjadi korban karena dianggap sebagai pihak yang melakukan kesalahan atas makna ucapannya yang terpelintir.

Menurut Radhar, proses pembentukan identitas masyarakat dunia merupakan percampuran bermacam asal-muasal dan dari unsur budaya yang beragam. Terlebih identitas sebagai masyarakat Indonesia, kata Radhar, merupakan pengolahan beragam asal-muasal masyarakat dalam proses pemberadaban di setiap sudut negeri.

Ujaran Agnes Monica, menurut Radhar, merupakan efek dari masyarakat multikultural atau plural. Dia menyebut bahwa hal itu bukanlah sebuah kesalahan, melainkan luapan ekspresi dari proses pemberadaban yang juga dijalani setiap orang.

“Tidak ada masyarakat yang orisinal di dunia ini. Semua itu hanya klaim dari proses pergaulan yang bersifat intercultural, lalu menjadi satu adat yang berakhir menjadi identitas,” katanya.

 

 

Selektivisme Informasi

Sosiolog Universitas Gadjah Mada Derajad S. Widhyharto menekankan kedudukan Agnes sebagai tokoh publik. Akibatnya, komentar di media sosial atas video itu dengan cepat menjadi sebuah pergunjingan seperti halnya obrolan warga keseharian.

“Sama seperti gosip dari mulut ke mulut. Karena ini mediumnya video, maka yang terjadi pemotongan-pemotongan materi video,” kata Derajad.

Senada dengan Radhar, Derajad memandang pemotongan dan penyebaran video percakapan Agnes Mo via media sosial dilakukan pihak-pihak yang ingin mereguk keuntungan dari popularitas Agnes sebagai selebritas. 

Praktik itu, kata Derajad, menggambarkan fenomena sosiologis yang disebut selektivisme dalam akses informasi yang menghasilkan reduksi informasi.

“Orang yang memotong video ini membutuhkan popularitas Agnes, supaya videonya bisa dilirik orang banyak,” ucap Derajad. 

Namun, informasi yang tersaji utuh dalam percakapan Agnes Mo direduksi untuk disesuaikan dengan kepentingan pihak yang menyuntingnya.

“Hanya saja yang menarik bukan pada nilai bersama, tapi pada nilai kelompok dari si pemilik akun yang menyebarkannya,” katanya.

Derajad memandang, fenomena reduksi isi informasi ini mulai merebak sejak era teknologi media digital bertumbuh sekitar 2000-an awal. 

Hal itu terlihat memuncak ketika Pemilu 2019. Dia mencontohkan, misalnya pemotongan isi informasi juga terjadi dalam pengemasan profil calon-calon presiden dan wakil presiden, juga caleg.

Selanjutnya, menurut Derajad, respons netizen terhadap isi video yang telah dipotong tersebut membangun konstruksi makna atas pemikiran Agnes Monica sebagai warga bukan berdarah Indonesia. 

Hal itu dipengaruhi pula kesenjangan digital yang ada di masyarakat. Terkait selektivisme informasi, kata dia, tak banyak masyarakat yang memilih untuk lebih mengonsumsi informasi yang positif, bahkan informasi faktual malah dikesampingkan.

“Tidak semua orang bisa bersikap kritis, sehingga potongan video itu diterima apa adanya. Akibatnya memunculkan respons bermacam-macam di publik,” kata Derajad.

Derajad juga berpedapat, selaku selebritas Agnes Monica semestinya dapat bersikap lebih cerdas, ketika hendak menyampaikan pemikiran di ruang publik.

“Saya kira selebritas harus benar-benar menyadari apa yang akan diucapkan, mengingat masyarakat kita belum cukup ‘dewasa’ dalam mengakses informasi,” ucapnya

Berita Lainnya
×
tekid