sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

"Media sosial membakar dunia, jurnalisme memadamkannya"

Panggilan menjadi wartawan justru sekarang menjadi nyata dan jadi konkret karena informasi membanjir demikian deras.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Rabu, 09 Feb 2022 20:25 WIB

Filsuf terkenal Prancis, Voltaire (1694-1778), pernah mengatakan bahwa 'mitos' membakar dunia dan 'ilmu pengetahuan' yang memadamkannya. Pemimpin redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho mengutip falsafah itu, membelokkannya sedikit, lewat pernyataan: "Media sosial membakar dunia, jurnalisme memadamkannya."

Kedua diktum tersebut sama belaka. Urusannya soal kebakaran dan pemadaman. Wisnu cukup mengganti istilah Voltaire untuk 'mitos' kontra 'ilmu pengetahuan' dengan 'medsos' versus 'pers'. Konteks yang dirujuknya ialah pergulatan sengit bagaikan dua zat yang saling bertarung untuk menang-kalah dalam pilihan hidup atau mati antara air melawan api.

"Memadamkan (api medsos) dengan cara melakukan verifikasi, melakukan upaya pencarian kebenaran, dan penemuan kebenaran supaya bisa mendapatkan kepastian. Peristiwa riuh (medsos) yang membakar dunia akan berkurang dengan sendirinya karena sudah ada kepastian," kata Wisnu. Lantas disambungkannya bahwa tugas itu diemban semua media dengan tanggung jawab yang perlu terus diperjuangkan.

Informasi sekarang ini tidak lagi sebagai informasi niscaya, tetapi malah kerap jadi bahan kecemasan bagi publik. Pemred Kompas.com membagikan kiat menjaga kejernihan menjadi kekuatan dalam perkembangan sebuah media massa.

Wisnu berbicara dalam loka karya jurnalistik bertajuk 'Wartawan Bisa Apa di Era Digital?' diselenggarakan Monumen Pers Nasional untuk memeriahkan Hari Pers Nasional tahun 2022. Siaran yang ditayangkan Youtube dihelat simultan di empat kota Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, dan Kendari, Senin (7/2/2022).

Dipandu Ahmed Kurnia, jurnalis, dosen, konsultan komunikasi, dan penulis, pemimpin redaksi portal berita infopublik.org, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, serta mengajar di Sekolah Jurnalistik Indonesia-Persatuan Wartawan Indonesia Pusat. Selain pemred Kompas.com, pembicara acara ini Retno Pinasti, pemred Liputan6.com, dan Martha Warta Silaban, pengajar di LSPR dan editor Tempo.co.

"Panggilan menjadi wartawan justru sekarang menjadi nyata dan jadi konkret karena informasi membanjir demikian deras. Kita tengah hidup di era di mana mudah sekali memuja dan membenci pada saat nyaris bersamaan dan ribut karenanya di media sosial. Ini realita kita 10 tahun terakhir. Di pemilu atau pilkada, kita selalu saja punya ruang untuk ribut dan selalu saling menyerang," kata Wisnu.

Diuraikannya, Indonesia memiliki penduduk 274,9 juta dan 57 persen di antaranya hidup di kota atau di daerah yang tadinya belum menjadi kota, kini telah berubah sebagai kota. Ada urbanisasi, dalam arti orang pindah atau bentuk kota yang tadinya belum jadi sekarang membesar berwujud kota. Dari semua itu, 345,3 juta atau sekitar 125,6 persen dari populasi punya gawai. Gawai ini berkekuatan sekali. Ini yang, katanya, membuat gaduh sebenarnya. Dari 345,3 juta gawai, 202,6 juta di antaranya punya koneksi ke internet.

"Artinya dari 275 juta yang punya koneksi ke internet itu 202 juta, hampir 75 persen penduduk. Ngapain aja 202 juta penduduk Indonesia dengan internet dan gadget yang dimiliki? Dari 170 juta aktif di medsos itu mereka ke mana aja?" tanyanya.

Sebanyak 170 juta di antaranya menggunakan untuk aktivitas di media sosial seperti WhatsApp, TikTok, FaceBook, InstaGram, semuanya medsos. "Ini angka positif sekaligus negatif karena ini netral sebenarnya. Angka ini mencengangkan. Orang yang memiliki koneksi ke internet sepanjang hari rata-rata menghabiskan waktu 8 jam 52 menit. Bisa dibayangkan, setiap bangun tidur siapa yang cium kening ibu, ayah, atau istri, anak? Yang pertama diambil ketika bangun tidur adalah ponsel. Sebelum tidur, siapa yang dipegang atau disapa? Ponsel juga. Dari 8 jam 52 menit di internet, yang dihabiskan rata-rata di medsos 3 jam 14 menit," tuturnya.

Dari waktu yang terpakai bermedsos itu, hanya sekitar 1 jam 38 menit menggunakan koneksi internet untuk membaca berita. Orang-orang makin banyak mendapatkan paparan informasi dari medsos. Dan medsos apakah benar atau tidak, sama sekali tak diketahui, maka ribut melulu di situ. Bila satu hal menurut seseorang benar, orang lainnya salah, atau sebaliknya, itu yang bikin ramai, dan tanpa verifikasi.

Jumlah media di Indonesia 47 ribu, di mana 43.500 di antaranya media digital. Hanya 168 yang terverifikasi, artinya sebagai media memiliki kode etik yang dilaksanakan dengan baik dan mendapatkan verifikasi atau pengesahan dari Dewan Pers. Sebagai produsen konten, 168 itu berarti bisa dipertanggungjawabkan. Digamblangkannya, tiga aras media, yaitu media mainstream, media sosial, dan new media (seperti ketika main game tahu-tahu menerima berita). Keriuhannya jadi makin besar.

Wisnu pun mengingat kembali tahun 2003, sewaktu Jakob Oetama mendapatkan gelar doktor honoris causa di Universitas Gadjah Mada. Pendiri Kompas Gramedia berkata: 'Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan.'

"Sekarang, informasi sudah jadi sumber kecemasan. Tidak hanya kecemasan, malah sumber keributan. Semua orang sekarang merasa paling benar. Semua merasa apa yang dia terima adalah yang paling tak bisa terbantahkan. Tapi dia berhadapan dengan orang lain yang punya peran yang sama," ujar Wisnu.

Diulanginya memori tahun 2012 hingga 2014 saat orang merasakan informasi tidak hanya dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan, tapi sudah menjadi sumber kecemasan. "Pilpres 2014, kita lihat bagaimana kita pecah. Grup WhatsApp pecah, grup arisan pecah, grup alumni, grup wartawan pecah, karena ini," serunya.  

Wartawan punya peran untuk membalikkan informasi sebagai sumber kecemasan kembali menjadi sumber pengetahuan. Itu tantangan yang tidak mudah. "Godaannya besar, karena kalau main ponsel, distraksinya luar biasa. Kita membaca tugas dari kampus, lagi buka sebentar, tiba-tiba ada notifikasi di InstaGram, balik... balik lagi ke tugas, ada WhatsApp dari teman, balik lagi... konsentrasi buyar dan sebagainya. Tugas wartawan sebenarnya bagaimana mengendalikan informasi ini," tuturnya.

Yang dicemaskan oleh Wisnu, belum lagi timbul gangguan dari raksasa-raksasa besar Google, FaceBook, dan mekanisme algoritma mereka. Dewa-dewa mesin berlogo 'G' dan 'F' itu tidak bukan ialah makhluk pembawa bahan bakar yang menyala paling besar di dunia digital.

Tapi bukanlah seorang ahli kalau dia tidak lihai berkelit, mengelak, menangkis, menyerbu, menyerang balik, mengeluarkan jurus andalan. Pemred sekaligus pengajar di Universitas Multimedia Nusantara mengutip prinsip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2007). "Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran," cetusnya serius seperti sebuah sabda sakral dalam ritus penyiraman suci.

Pada prinsip jurnalisme mewajibkan kebenaran terdapat tiga pendekatan: riset, observasi, wawancara. Interviu memastikan informasi yang didapat dari riset dan observasi itu benar. Di mana banjir informasi, maka tugas-tugas wartawan menjadi lebih nyata, yaitu menghadirkan kebenaran supaya tiada keributan, perdebatan, dan berpegang kebenaran yang terpercaya.  

"Kompas.com sejak tahun 2017 masuk dalam jejaring International Fact-Checking Network (IFCN), sekarang mungkin sudah bergabung 70-an media di seluruh dunia, yang berjejaring untuk memberikan kepastian informasi tentang hal-hal yang terjadi di negara lain yang kita tidak bisa melakukan observasi atau riset lebih mendalam," ucap Wisnu. Jejaring itu membantu untuk mengatakan sebuah berita adalah hoaks atau bukan. IFCN dibentuk Poynter 2015.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid