sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Septiawan Santana Kurnia: Jurnalisme akan memegang kemenangan atas fakta

Dinamika pers di era reformasi ditelaah pengamat media, Septiawan Santana Kurnia, dalam sebuah kesempatan virtual dengan Alinea.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Jumat, 14 Jan 2022 07:05 WIB
 Septiawan Santana Kurnia: Jurnalisme akan memegang kemenangan atas fakta

Kebebasan pers Indonesia belum sepenuhnya memusnahkan ketakutan berpendapat. Walaupun pers bebas selama 21 tahun telah dinikmati masyarakat. Rezim UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) masih terus mengancam kemerdekaan warga berekspresi. Namun suasana aspirasi sudah lumayan leluasa merdeka. Masyarakat menikmati pers bebas tanpa rasa takut, waswas, kekhawatiran lagi.

Dinamika pers di era reformasi ditelaah pengamat media, Septiawan Santana Kurnia, dalam sebuah kesempatan virtual dengan Alinea, akhir pekan lalu. Selain mengarang enam judul buku teks jurnalistik, pengajar jurnalistik dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung juga menerbitkan sejumlah karya di berbagai jurnal ilmiah.

Topik pembicaraannya berkembang dari kebutuhan akan informasi, minat publik, dan jurnalisme berkualitas, hingga kemudahan akses informasi, Nobel Perdamaian dan fenomena teknologi. Rangkaian telaah Septiawan mungkin dapat meringankan beban pers agar tidak dilacurkan demokrasi.

Alinea: Apakah minat publik untuk mendapatkan jurnalisme berkualitas sudah semakin membaik atau malah menurun seiring dengan kemudahan akses informasi?  

Septiawan Santana Kurnia (SSK): Begini. Saya mau menyampaikan bahwa era sekarang ini momennya itu adalah momen di mana orang akan mencari informasi berkualitas. Hanya memang persoalannya adalah kemudahan. Saya melihat jurnalisme berkualitas itu masih dihambat oleh kemudahan, jadi masih sulit dibandingkan yang jurnalisme tidak berkualitas.

Menurut saya, sebenarnya orang-orang itu ingin dan sudah sangat membutuhkan jurnalisme berkualitas atau produk-produk informasi yang berkualitas. Tapi karena lebih gampang mendapat informasi dari aplikasi WhatsApp dan media sosial lainnya, tinggal klik saja, maka keinginan itu terhambat.

Ketika masuk ke media yang memiliki jurnalisme berkualitas mungkin akan dihambat iklan, tampilan atau sinyal. Jadi secara kebutuhan sudah ada. Hanya masih dikalahkan oleh kemudahan, dengan kata lain, cara akses. Lebih mudah mengakses yang tidak berkualitas. 

iawaAlinea: Mengingat tema Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun 2021 bahwa informasi yang baik dan berkualitas itu seharusnya sudah menjadi kebutuhan publik saat ini. Bagaimana menurut Anda?

Sponsored

SSK: Hanya itu tadi. Antara lain, saya mendengarkan di Amerika, misalnya New York Times, pelanggannya cukup banyak dengan mereka membayar seminggu sekian dolar. Tinggal barangkali soal cara sekarang. Cara menyentuh masyarakat, mendekati masyarakat, supaya masyarakat mau berlangganan dengan jurnalisme berkualitas, yang lebih mudah didapatkan. Ketimbang mendapatkan berita-berita hoaks lewat medsos. Ini soal cara menurut saya.

Alinea: Saya kutip ini dari Maria Ressa, pemenang Nobel Perdamaian 2021, menyebutkan bahwa jurnalis sebagai gatekeeper, penjaga gerbang informasi, sekarang sudah banyak digantikan oleh teknologi seiring dengan penggunaan gawai, big data, dan media sosial. Apakah kekhawatiran itu bisa juga dialami di Indonesia?

SSK: Kekhawatiran itu sudah sampai ke Indonesia. Sekarang 'kan jurnalis bukan lagi jurnalis, tapi sudah jadi konten kreator. Istilahnya, pengisi konten saja. Sudah terjadi (serbuan) teknologi (sebagai pengganti) itu. Hanya dalam bayangan saya, bukan. Maksudnya tidak separah itu. Itu sudah terjadi, tapi jurnalisme masih tetap ada. Karena masyarakat masih butuh jurnalisme berkualitas. Indikasinya sederhana, bagi saya, ketika ada diskusi tentang hoaks, orang 'kan mencari kebenaran?

Ketika orang berdiskusi, entah itu dengan meyakini bentuk fake news yang sudah demikian rupa, tapi ujungnya nanti akan ada sebuah kebenaran. Ada yang mengklarifikasinya dan sebagainya. Artinya ketika ujungnya kebenaran itu muncul, antara lain jurnalisme berperan di sana. Karena informasi 'kan muncul di masyarakat antara lain melalui tugas jurnalisme?

Jadi, ketika teknologi sudah menggantikan gatekeeper, hal itu bukan menjadi sesuatu yang niscaya. Itu hanya sebuah momen, sebuah proses, yang pada akhirnya jurnalismelah yang akan memegang (kemenangan atas fakta). Dasar pemikirannya adalah orang butuh kebenaran bukan kebohongan. Coba Anda bertanya pada orang di sekitar Anda, apakah suka dengan kebohongan? Jawabnya 'kan tidak.

Alinea: Apa harapan Anda terhadap jurnalisme di Indonesia?

SSK: Harapan saya sangat ambisius. Saya menginginkan jurnalisme itu kembali menjadi panutan masyarakat di dalam mendapatkan informasi. Dan itu bisa. Jadi jurnalisme menjadi sebuah alat mencari kebenaran atau alternatif kebenaran. Jurnalisme menjadi sebuah alat pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Jurnalisme menjadi alat untuk membangun peradaban Indonesia di era digital.

Alinea: Terima kasih.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid