sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Suara USU dan kebebasan berekspresi pers mahasiswa

Pengurus Suara USU dipecat. Cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang dimuat dinilai mengampanyekan LGBT.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 01 Apr 2019 20:13 WIB
Suara USU dan kebebasan berekspresi pers mahasiswa

Gara-gara sebuah cerita pendek, 18 orang pengurus unit kegiatan pers mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Suara USU, dipecat melalui surat keputusan resmi Rektor USU Runtung Sitepu pada 25 Maret 2019. Struktur keredaksian lembaga pers mahasiswa itupun diganti.

Pemecatan ini berawal ketika Suara USU memuat cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” karya Pemimpin Umum Suara USU Yael Stefany Sinaga pada 12 Maret 2019.

Pada 18 Maret 2019, cerpen ini diunggah di media sosial. Lantas, menjadi viral. Pihak kampus menuding, cerpen itu berisi pornografi dan mengkampanyekan lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT).

Situs Suara USU sempat tak bisa dibuka pada 20 hingga 23 Maret 2019. Selain mempermasalahkan cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”, pihak kampus juga menyinggung cerpen lainnya, yakni “Saat Dia Tersesat dan Mencari Jalan Pulang” yang juga karya Yael, serta “Nyai” dan “Cinta Kita Benar(kan)” karya Suratman. Semuanya dianggap memuat unsur pornografi dan kampanye LGBT.

Suara USU berdiri sejak 1 Juli 1995. Pers mahasiswa ini dibentuk sebagai wadah bagi mahasiswa yang punya ketertarikan dan bakat di bidang jurnalistik serta manajemen pers.

Akibat keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara ini, sejumlah pegiat pers mahasiswa di beberapa kota menggelar aksi solidaritas.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, Aliansi Pers Mahasiswa Makassar menggelar aksi “Kami Bersama Suara USU” pada 28 Maret 2019. Mereka menuntut pihak kampus menjelaskan kepada publik kesalahan yang terdapat pada cerpen itu.

Di hari yang sama, sejumlah aksi serupa terjadi di Jakarta dan Medan. Pada 31 Maret 2019, aksi yang sama terjadi di Lampung. Di Yogyakarta, aksi solidaritas digelar pada 1 April 2019.

Aliansi pers mahasiswa dari berbagai universitas yang menamai dirinya Koalisi #KamiBersamaSuaraUSU dalam rilisnya menuntut dicabutnya Surat Keputusan Rektor Nomor 13 1319/UNS.I.R/SK/KMS 2019 tentang Pemberhentian 18 Anggota LPM Suara USU.

Selain itu, koalisi ini juga menuntut agar diberikannya kebebasan mimbar akademis bagi mahasiswa USU, mengecam kesewenang-wenangan Rektor USU Runtung Sitepu terhadap Suara USU, serta menolak segala intervensi terhadap kebebasan berekspresi bagi pegiat pers mahasiswa.

Bukan masalah cerpen?

Aksi solidaritas yang dilakukan LPM Warta IAIN Pontianak. /instagram.com/lpmwartaiainptk.

Menanggapi hal ini, Ketua Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Agung Sedayu mengatakan, tuduhan Rektor USU yang menganggap cerpen karya Yael Stefany Sinaga yang dimuat di situs Suara USU mengandung unsur pornografi dan mengampanyekan LGBT tidak kuat.

“Padahal belum dilakukan kajian mendalam mengenai cerpen tersebut,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (1/4).

Ia mengaku sudah membaca tuntas cerpen itu, dan sudah pula melakukan diskusi dengan para pegiat dan dosen sastra. Hasilnya, ia tak menemukan unsur-unsur seperti tuduhan rektor. Agung mengatakan, yang ada hanya kondisi kaum minoritas yang terdiskriminasi.

Keputusan pembubaran pengurus Suara USU menurut Agung sudah memberangus kebebasan berpendapat, sekaligus melanggar hak para awak redaksi Suara USU untuk mencari dan menyampaikan informasi.

Agung curiga, masalah yang dihadapi pers mahasiswa USU bukan terkait cerpen, tetapi soal pemberitaan Suara USU yang banyak mengkritisi kebijakan kampus.

“Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan, sebelumnya pihak kampus beberapa kali mempersoalkan hasil liputan persma Suara USU karena dianggap terlalu kritis terhadap kampus,” katanya.

Seharusnya, kata Agung, pihak kampus bersyukur karena punya pers mahasiswa yang memberikan kritik, yang sangat berarti bagi kemajuan kampus. Bukan malah memberangusnya.

“Kritik itu wujud dari rasa peduli bukan rasa benci,” ujarnya.

Selain itu, Agung melihat, banyak pihak yang menggiring persoalan terancamnya kemerdekaan berekspresi dan berpendapat ini ke arah isu pornografi dan kampanye LGBT. Padahal, kata dia, informasi itu tidak benar. Para awak Suara USU juga tetap buka pintu diskusi dengan kampus untuk menjernihkan dan menyelesaikan persoalan.

Ia mengatakan, bisa saja pihak kampus USU mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tidak benar tersebut. Dan pihak FAA PPMI, masih menunggu niat baik dari pihak kampus untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi.

“Kami masih percaya kampus masih menjadi garda depan menyebarkan nilai-nilai kemerdekaan berekspresi, berpendapat, dan demokrasi di negeri ini,” ujarnya.

Hingga sekarang, para pengurus Suara USU terus mempertahankan apa yang menurut mereka benar, dan tak tunduk dengan represi yang dilakukan pihak kampus.

Mereka tetap menjalankan aktivitas keredaksian, berkuliah, dan menjalin komunikasi dengan teman-teman lainnya. Menurut Agung, tindakan yang dilakukan para pengurus Suara USU sudah tepat.

Melanggar kebebasan berekspresi

Agung menuturkan, berdasarkan riset yang dilakukan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), sepanjang 2013 hingga 2016 ada 133 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa. Sebanyak 65 kasus dilakukan pihak birokrat kampus berupa intimidasi, perampasan, hingga penyegelan sekretariat.

“Kasus yang sempat ramai pada 2014 ketika pihak Universitas Negeri Yogyakarta merampas dan melarang peredaran Buletin Expedisi, salah satu media yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi,” tuturnya.

Alasannya, kata dia, Buletin Expedisi memuat pemberitaan mengenai pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) yang dianggap bermasalah. Kasus lainnya, pada 2015 Lembaga Pers Mahasiswa Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga juga mengalami hal serupa.

“Majalah Lentera ditarik dan dilarang beredar oleh rektor dan polisi lantaran laporan mereka tentang sejarah peristiwa 1965 di Salatiga,” kata dia.

Lalu, kata Agung, pada 2016 Lembaga Pers Mahasiswa Poros di Universitas Ahmad Dahlan di Yogyakarta sempat dibekukan, karena mengkritik pembangunan Fakultas Kedokteran di kampus tersebut.

Di tahun yang sama, Lembaga Pers Mahasiswa Pendapa di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa di Yogyakarta juga dibekukan karena menerbitkan berita yang mengkritik kampus.

Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani menilai, apa yang dilakukan Rektor USU sebagai tindakan yang inkonstitusional, karena melanggar Undang-Undang Dasar 1945, yakni nilai-nilai demokrasi dan hak kebebasan berekspresi.

Selain itu, tindakan Rektor USU menurut Asnil juga tak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, yang mengatur penyelenggaraan universitas yang dilaksanakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan.

“Penyelenggaraan universitas harusnya dilaksanakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Asnil saat dihubungi, Senin (1/4).

Asnil melanjutkan, pihak AJI juga mendesak agar Rektor USU tak lagi mengintervensi setiap kegiatan jurnalistik yang dilakukan pers mahasiswa. Ia menekankan, semestinya keputusan rektor diambil berdasarkan kesepakatan bersama.

Pers mahasiswa kadang kala mendapatkan intimidasi justru dari institusi kampus.

“Kami menuntut dikembalikannya supremasi mahasiswa, yaitu setiap keputusan harus diambil setelah ada keputusan bersama antara pihak mahasiswa dengan Rektor USU. Tidak diambil secara sepihak,” tuturnya.

Asnil mengatakan, tindakan ini sama saja seperti bunuh diri dunia pendidikan. Rektor, ujar dia, seharusnya membuka ruang debat justru melakukan tangan besi.

Sementara itu, ketika akan dilakukan konfirmasi, nomor telepon Rektor USU Runtung Sitepu tak bisa dihubungi.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid