sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Vanessa dan pedoman liputan prostitusi

Setidaknya ada 369 media daring yang ramai-ramai menulis ikhwal Vanessa Angel sebanyak total 3.953 kali.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Rabu, 09 Jan 2019 18:03 WIB
Vanessa dan pedoman liputan prostitusi

Imbasnya, lanjut Yulianti, akan menghancurkan nama baik dan kehidupan korban perempuan. Apalagi, dalam konteks ini, mereka adalah korban perdagangan manusia seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

Senada, jurnalis Jurnal Perempuan Anita Dhewy juga menyayangkan ulah polisi dan media yang memberi ruang bagi victim blaming. “Wartawan dalam memberitakan prostitusi online sejauh ini cenderung lebih mengejar aspek sensasi. Pada kasus yang melibatkan artis, sudah pasti media lebih menonjolkan sosok si artis—dengan menyebutkan nama, menampilkan foto, judul yang bombastis, dan sebagainya—dan bukan mengungkap ada aspek kejahatan atau tindak kekerasan dalam kasus tersebut,” tuturnya.

Celakanya, pemberitaan sensasional ini ditangkap masyarakat dan disebarluaskan melalui media sosial. Bahkan dibuat meme yang bernada penghakiman atas perempuan. Saya mencari tahu pendapat wartawan laki-laki dan pengamat media soal ini.

ilustrasi/ Pixabay

Andreas Harsono, wartawan Pantau yang juga aktif di Human Right Watch (HRW) secara terang-terangan membenarkan, ada dualisme dari polisi yang ingin melindungi korban, tapi juga ‘menelanjangi’ mereka. Oleh sebab itu, ia sangat menyarankan, wartawan yang melakukan peliputan prostitusi daring harus  paham soal trauma korban dan lebih baik mereka adalah dari kalangan perempuan pula.

Peneliti Remotivi Heychael juga meyampaikan, kata kunci kunci dalam peliputan ini adalah empati. “Jurnalis perempuan tentu punya peluang lebih besar buat berempati. Hanya saja tidak selalu begitu. Banyak kasus perempuan justru ikut jadi bagian yang menghakimi. Jadi aku sih bukan soal gender yang utama tapi empati,” ungkapnya.

Sebuah pedoman peliputan

Catherine Murphy, Penasihat Kebijakan di Amnesty International menulis di HRW, pekerja seks adalah salah satu korban perdagangan manusia, sehingga rentan pelanggaran hak asasi manusia. “Kami tidak menganggap perempuan yang diperdagangkan yang dipaksa untuk menjual seks sebagai pekerja seks. Dia adalah perempuan yang diperdagangkan dan layak mendapatkan perlindungan seperti itu,” ujarnya.

Sponsored

Perlindungan yang dimaksud bukan sekadar dalam wujud membebaskan Vanessa dan korban lain, tapi juga tak memberi ruang untuk perundungan lebih lanjut. Tunggal Pawestri mengatakan pada saya, solusinya adalah mendorong RUU penghapusan kekerasan seksual. Sebuah UU yang menurutnya bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual. “Namun, itu saja susah banget dan enggak diperhatikan DPR, kayaknya ketinggian amat minta perlindungan buat pekerja seks,” keluhnya.

Kalau begitu, apa yang bisa diusahakan sebagai pekerja media? Dart Center for Journalism and Trauma menyusun sebuah kompilasi lengkap panduan peliputan yang rentan trauma, mulai dari bencana, perang, pembunuhan, kekerasan seksual, hingga perdagangan manusia. Kata kuncinya adalah empati dan berhati-hati dalam melakukan peliputan. Sebab, itu tak sekadar bertanya dengan pertanyaan yang baik, tapi membangun hubungan agar narasi yang dihasilkan tak menyalahkan korban. Selain memilih narasumber lain di luar narasumber resmi yang cenderung bias gender, jurnalis harus mengikuti beberapa pedoman peliputan, untuk kasus traumatis berikut.

Pertama, jika harus mewawancarai korban, jurnalis harus mendengar cerita dengan seksama dan dianjurkan untuk wawancara empat mata. “Jurnalis yang mewawancarai pun mesti perempuan, apalagi jika korban adalah perempuan. Sebab, mereka akan lebih nyaman bercerita, kendati  mungkin beberapa jurnalis pria bisa melakukannya,” tulis laporan tersebut.

Kedua, rasa malu dan terhina adalah perasaan umum yang dialami korban. Oleh sebab itu, penting untuk tidak menekan dan menambah beban itu lewat reportase yang menyalahkan korban. Pertanyaan yang ditanyakan harus berempati, demikian pula dengan tulisan yang dihasilkan.

Ketiga, prinsip anonimitas. Ini berarti tidak mencantumkan secara eksplisit nama, asal-usul, alamat, foto, jika itu tak disetujui oleh korban. Masalah detail peristiwa dari sumber yang namanya dibikin jadi anonim itu juga harus diperhatikan. Seperti perdebatan dalam kasus peliputan pemerkosaan Agni yang dilakukan BPPM Balairung, karena memilih memuat kronologi detail. Sepanjang itu bisa membangun kesadaran positif, bahkan mendorong proses peradilan atau perubahan kebijakan, itu diperbolehkan. Tentu saja dengan persetujuan korban. Namun, jika itu justru hanya menambah penghinaan korban, sebaiknya bagian detail dihilangkan.

Dalam kasus spesifik Vanessa, Anita Dhewy membagi resep pamungkas. Menurutnya, wartawan perlu menggali lebih jauh, dan tidak hanya berhenti pada pernyataan polisi atau mengangkat kejadian dengan menonjolkan aspek sensasional, atau bahkan melakukan investigasi. “Yang juga penting adalah wartawan harus paham dan sadar, dalam kasus itu ada aspek eksploitasi, trafficking, kekerasan, relasi kekuasaan, dan lainnya,” tutupnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid