sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

LBH Jakarta ungkap 14 dugaan pelanggaran dalam pinjaman online

Sejak 14 November hingga 25 November 2018, LBH Jakarta menerima 1330 aduan korban aplikasi pinjaman online dari 25 provinsi.

Soraya Novika
Soraya Novika Minggu, 09 Des 2018 15:18 WIB
LBH Jakarta ungkap 14 dugaan pelanggaran dalam pinjaman online

Pos pengaduan korban pinjaman online bentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melaporkan sejak 14 November hingga 25 November 2018, pihaknya menerima 1330 aduan korban aplikasi pinjaman online dari 25 provinsi.

Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta menyimpulkan bahwa aplikasi pinjaman online setidaknya diduga telah melakukan 14 pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada para korban.

"Awal sebelum dibukanya pengaduan, kami sudah lebih dulu menginventarisir kurang lebih ada delapan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pinjaman online. Hari ini kami ingin mengumumkan bahwa dari aduan yang masuk, kami kemudian menemukan jenis-jenis pelanggaran lainnya," ujar pengacara publik LBH Jakarta Yenny Silvia Sari Sirait dalam konferensi pers di gedung LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (9/12).

Ada pun jenis pelanggaran yang dimaksud adalah pertama, tingginya bunga yang diterapkan peminjam online bahkan tanpa batasan. Kedua, menagih hutang yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam, melainkan juga menyasar kontak-kontak lainnya yang didapat secara sepihak. 

Ketiga, cara menagih disertai dengan ancaman, fitnah, penipuan, dan pelecehan seksual. Keempat, penyebaran data pribadi. Kelima, penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam. 

Keenam, pengambilan hampir seluruh akses data terhadap gawai peminjam. Ketujuh, ketidakjelasan informasi kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online. 

Kedelapan, biaya admin yang tidak jelas. Kesembilan, aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang. Kesepuluh, peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak dihapus dengan alasan tidak masuk pada sistem. Kesebelas, aplikasi tidak bisa dibuka bahkan hilang dari Appstore/Playstore pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman. 

Keduabelas, penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Ketigabelas, data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain. Keempatbelas, virtual account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.

Sponsored

"Untuk jenis pelanggaran pertama ada sebanyak 1145 korban yang mengadu ke LBH Jakarta, sedangkan untuk pelanggaran kedua itu ada sebanyak 1100 korban, pelanggaran ketiga sebanyak 903 korban, pelanggaran keempat sebanyak 781 korban, pelanggaran kelima 915 korban yang mengadu, pelanggaran keenam ada 662 korban, pelanggaran ketujuh sebanyak 674 korban, pelanggaran kedelapan sebanyak 645 korban, pelanggaran kesembilan sebanyak enam korban, pelanggaran kesepuluh tujuh korban, pelanggaran kesebelas dan keempat belas ini semua korban mengadukan hal yang sama, pelanggaran keduabelas sebanyak satu korban, dan pelanggaran ketigabelas sebanyak dua korban," ungkapnya.

Lebih lanjut, Yenny menjelaskan bahwa sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online.

"Hal ini terbukti dari mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan toko KTP dan foto diri peminjam, alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP, dan foto diri peminjam kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online," tuturnya.

Parahnya lagi, menurut Yenny, selama proses pengaduan berlangsung, lembaga non-profitnya itu mencatat bahwa penyelenggara aplikasi pinjaman online dapat mengakses hampir seluruh data pada gawai peminjam.

"Ini yang menjadi akar masalah dari pelanggaran hak atas privasi dari penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam," imbuhnya.

Di sisi lain, kondisi ini juga diperparah oleh jumlah aplikasi pinjaman online yang diakses oleh para peminjam. Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, sebanyak 48,48% pengadu ternyata juga menggunakan satu hingga lima jenis aplikasi pinjaman online bahkan hingga 36 sampai 40 aplikasi.

"Banyaknya aplikasi pinjaman online yang digunakan oleh pengadu disebabkan karena pengadu harus mengajukan pinjaman di aplikasi lain untuk menutupi bunga, denda, atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya. Jadi, kalau bisa saya simpulkan, sistem pinjaman online ini sudah seperti lingkaran setan yang mana bila kita sudah masuk ke sana akan sulit keluar," kata Yenny.

Ironisnya lagi, sebagian besar peminjam hanya meminjam pinjaman pokok senilai di bawah Rp2 juta. Dengan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online tersebut, para peminjam malah terjerat hutang yang membengkak.

"Tindak pidana yang mereka (penyelenggara) alami menjadi 'harga' yang sangat mahal yang harus mereka bayar," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid