sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

25 tahun mangkrak, pemerintah didesak usut kasus Marsinah

Selang 25 tahun kepergiannya, kasus pembunuhan buruh Marsinah, masih gelap. Untuk itu, 25 perempuan desak pemerintah usut lagi kasus itu.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Kamis, 03 Mei 2018 15:21 WIB
25 tahun mangkrak, pemerintah didesak usut kasus Marsinah

Selang 25 tahun kepergiannya, kasus pemerkosaan dan pembunuhan buruh asal Sidoarjo Marsinah, masih gelap. Hari-hari jelang kematiannya, ia gunakan untuk turun ke jalan menyuarakan sejumlah tuntutan buruh dari PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, pabrik arloji tempatnya bekerja. Di antara tuntutan itu adalah kelayakan upah minimum regional dari Rp1,7 juta jadi Rp2,25 juta, upah lembur, dan cuti hamil bagi buruh perempuan.

Alih-alih dipenuhi haknya, Marsinah diduga diculik dan mengalami sejumlah tindak kekerasan termasuk kekerasan genital, lalu mayatnya dibuang di hutan Wilangan, Jawa Timur. Fakta kematian Marsinah menjelaskan, adanya sistem kerja yang melanggar hak buruh, kekerasan militer di bidang sipil, politik antiperempuan, politik antiserikat, serta upaya intimidasi dan represi. Muaranya sama, yakni untuk membangun ketakutan di masyarakat luas, sebagai ciri kekuasaan otoriter Orde Baru (Orba) kala itu.

Demi menutupi pelaku yang sebenarnya, pemerintah Orba kemudian mengelar peradilan palsu. Meskipun, hasil visum Marsinah telah cukup menjadi bukti untuk mengadili pelaku dan meletakkan kasus ini sebagai kejahatan HAM, namun pengusutan itu sempat ditutup dengan dalih kesulitan pembuktian.

Runtuhnya Orba lima tahun setelah Marsinah tewas, rupanya tak membuka jalan keadilan bagi buruh yang jadi korban represi. Bahkan setelah 20 tahun reformasi, kasus buruh perempuan tersebut masih menjadi misteri. Tidak berbeda dengan pelanggaran HAM yang lain di negeri ini, kematian Marsinah diabaikan. 

Berangkat dari fakta tersebut, sebanyak 25 perempuan pembela demokrasi dari berbagai LSM menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus kematian Marsinah.

Koordinator Marsinah FM Dian Septi menyebutkan, kematian Marsinah adalah wujud keji dari industri (kekerasan) yang melibatkan tentara dan rezim Orba.

Orba sendiri, imbuhnya, lahir dari pembataian organisasi rakyat dan serikat pekerja. Tak heran jika dalam lakunya, orang-orang yang duduk di lingkar kekuasaan Orba menggunakan pendekatan serupa untuk merampungkan persoalan.

Marsinah dalam konteks itu, merupakan wujud dari keberanian. Sosok Marsinah dikenal vokal melantunkan pentingnya buruh-buruh berserikat--sesuatu yang dikebiri di era Orba.

Sponsored

"Marsinah adalah martir yg membuka jalan perjuangan selanjutnya hingga kemudian kita bisa duduk di sini," katanya dalam Konferensi Pers di LBH Jakarta, Kamis (3/5).

Pengusutan kasus Marsinah, bakal menjadi tonggak baru dalam penegakan keadilan di Tanah Air. Alhasil, jika kasus ini rampung, akan memberikan sumbangsih kekuatan yang berarti bagi para penyintas HAM dan buruh-buruh lain pada umumnya. Terlebih, menurut pengacara publik LBH Jakarta Pratiwi Febri, kasus Marsinah bukanlah kasus yang baru muncul hari-hari terakhir ini.

Kasus Marsinah, lanjutnya, menggambarkan problem yang sama, yang harus dihadapai penegak hukum di Indonesia, yaitu rekayasa kasus dan pengadilan sesat.

Ia mengenang, di level Pengadilan Tinggi dan Negeri, seharusnya para pelaku sudah harus mendapatkan vonis 17 tahun. Namun praktiknya, lewat kasasi para pelaku justru bebas dari dakwaan, padahal fakta kematian buruh perempuan tersebut telah jelas terungkap.

"Kami menyerukan kepada legislatif, eksekutif, yudikatif untuk kembali mengungkap kasus Marsinah dan menemukan siapa pelaku sesungguhnya, dan siapa aktor intelektual dari pembunuhan Marsinah. Sebab ini semata-mata bukan hanya pembunuhan saja, tapi ada perjuangan buruh yang saat itu memperjuangkan kesejahteraannya," tegasnya.

Seruan pengusutan tuntas kasus pembunuhan Marsinah oleh 25 perempuan ini dituangkan dalam beberapa poin tuntutan. Pertama, mengajak Komnas HAM agar membuka kembali sengkarut kasus Marsinah. Hal ini mengingat, berbagai bahan pengusutanMarsinah sebagai kejahatan HAM masih bisa ditemukan, jika ada keberanian dan komitmen untuk penuntasan kasus.

Kedua, mendesak pemerintah agar mengakui kasus Marsinah sebagai kejahatan HAM. Ketiga, mengajak masyarakat luas bersama-sama mendesak penyelesaian kasus Marsinah dan bersama mengekspresikannya pada 8 Mei 2018 mendatang, dalam aksi bersama di depan Istana Negara.

Adapun 25 perempuan yang tergabung dalam aksi ini adalah Sumarsih (penggiat aksi Kamisan), Sukinah (pejuang Kendeng), Melani Subono (artis dan penggiat Demokrasi), Saras Dewi (penggiat HAM), Leni Desinah (Sanggar Anak Harapan), Jumisih (FBLP dan KBPI), Vivi Widyawati (Perempuan Mahardhika), Ellena Ekarahendy (Serikat Sindikasi), Kartika Dewi (KPA), Tiasri Wiandani (SPN PT Panca Prima), Putri Kalua (Jaringan Muda Setara), Pratiwi Febri (LBH Jakarta), Gallyta Bawoel (FBTPI), Mutiara Ika (Permpuan Mahardhika), Luviana (Pekerja Media), Asfinawati (YLBHI), Yati Andriani (KontraS), Suciwati (Penggiat HAM), Khalisah Khalid (Walhi), Puspa Dewi (Solidaritas Perempuan), Dewi Nova (Aktivis), Lita Anggraeni (JALA PRT), Dian Septi (Marsinah FM), Nining Elitos (KASBI), dan Dina Septi (LIPS).

Berita Lainnya
×
tekid