sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

70 peristiwa pembatasan keagamaan terjadi pada 2019

Tidak ada keseriusan dari negara untuk mengurusi, terutama membenahi regulasi. 

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 10 Des 2019 20:06 WIB
70 peristiwa pembatasan keagamaan terjadi pada 2019

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan sepanjang 2019 ada 70 peristiwa pembatasan terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah, dengan mayoritas pelanggaran adalah pelarangan dan persekusi.

Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS Rivanlee Anandar, mengatakan, hal itu masih menjadi pekerjaan rumah dari rezim ke rezim. Tidak ada keseriusan dari negara untuk mengurusi, terutama membenahi regulasi. 

"Pelarangan ini bisa terlihat dari kasus yang terakhir atau ramai di Jogja. Itu mengenai komunitas persembahyangan umat Hindu yang dilarang warga setempat karena dianggap tidak memiliki izin, sampai kapolsek mendatangi area tersebut untuk memberhentikan kegiatan," kata dia di Jakarta, Selasa (10/12).

Untuk polanya sendiri, pelanggaran terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah setiap bentuk intimidasi hampir selalu dimulai atau diinisiasi kelompok intoleran atau organisasi masyarakat (ormas). 

"Tidak ada sanksi bagi ormas yang bersangkutan ketika melakukan tindakan tersebut, baik itu dari kepala ormas atau dari anggota yang melakukan atau terbukti melakukan tindak pidana," ujar dia.

Sementara Direktur Eksekutif Setara Insitute Ismail Hasani, mengatakan bila dibandingkan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), tren kebebasan beragama di era Jokowi terbilang lebih baik.

Akan tetapi, di rezim Jokowi ada penguatan politik identitas, yang tidak bisa dipidana, tetapi bisa dilawan dengan pendekatan politik.

"Artinya keteladanan politik tanpa mengeksploitasi identitas, bukan hanya dari salah satu kelompok, tetapi dari semua kelompok," ujar Ismail.

Sponsored

Oleh karena itu, dia menyarankan agar pemerintah mengadopsi prinsip inklusif, di mana tata kelola pemerintahan dilakukan oleh semua kalangan.

"Seperti model Kanada ketika menerapkan diferensiasi yang melakukan rekognisi semua etnik, semua kepercayaan, semua suku, semua agama. Dari situ semua orang merasa nyaman, damai, dan kemudian menekan praktik politik identitas," ucap dia.

Berita Lainnya
×
tekid