sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Akademikus: Perpres TNI atasi terorisme berisiko

Dosen Unpar menilai, beleid tersebut tidak memenuhi asas lex certa sesuai mandat UU 5/2018.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Minggu, 29 Nov 2020 08:13 WIB
Akademikus: Perpres TNI atasi terorisme berisiko

Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalm Mengatasi Aksi Terorisme disebut berisiko. Pangkalnya, tidak memenuhi asas legalitas atau rumusan yang jelas (lex certa) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Threshold (ambang batas) pendekatan hukum berubah menjadi pendekatan militer juga tidak jelas diatur dalam rancangan perpres ini," kata akademikus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Tristam Pascal Moeliono, dalam keterangan tertulis, Minggu (29/11).

Dirinya mengingatkan, penindakan terhadap terorisme oleh militer memiliki rumusan berbeda dengan penegakan hukum. Rancangan perpres mestinya memperjelasnya.

Perpres juga seharusnya menjawab tentang akuntabilitas dan transparansi penindakan terorisme oleh TNI. Karenanya, disarankan menggunakan pendekatan lain mengingat aksi teror terus berkembang serta tak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan militer dan hukum pidana.

"Perlu pendekatan lain. Rancangan perpres ini diberikan beban terlalu berat seolah bisa menyelesaikan semua masalah terorisme," jelasnya.

Kritik senada disampaikan akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti. Baginya, rancangan perpres tersebut salah dan keliru dalam mengaturnya, terutama tentang ancaman hak asasi manusia (HAM).

"Kekhawatiran masyarakat tidaklah berlebihan karena belakangan memang diskursus kembalinya militer menangani peran otoritas sipil semakin menguat," ungkapnya.

Dia mencontohkan dengan aktivitas TNI menurunkan baliho pentolan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, di sejumlah tempat, beberapa waktu lalu. "Faktor sejarah panjang yang kelam soal dominasi peran militer dalam urusan sipil juga masih menjadi catatan."

Sponsored

Menurut Ketua Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Totok Yulianto, perlu kebijakan komprehensif dalam penanganan terorisme. Mestinya mencakup sektor ekonomi, politik, dan sosial selain hukum.

"Apakah pendekatan penanganan terorisme di Indonesia akan bergeser dari criminal justice system menjadi war model? Ini sangat tergantung pada rancangan perpres yang saat ini menjadi perhatian publik," paparnya.

Presiden dan DPR disarankan mendengar masukan masyarakat untuk mengurangi dampak negatif penanganan terorisme di Indonesia.

Berita Lainnya
×
tekid