sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Alasan keamanan, sidang etik Wahyu Setiawan pindah ke KPK

DKPP akan menghadirkan Wahyu sebagai pihak teradu serta jajaran Bawaslu dan KPU sebagai pihak pengadu.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 15 Jan 2020 12:24 WIB
Alasan keamanan, sidang etik Wahyu Setiawan pindah ke KPK

Sidang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dengan pihak teradu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dipastikan digelar di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pelaksana tugas (Plt) Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad menyampaikan, kepastian itu setelah dirinya menemui Deputi Penindakan KPK untuk berkoordinasi mengenai penyelenggaraan sidang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Wahyu.

"Mengenai tempatnya, karena sejumlah pertimbangan KPK, misal keamanan dan seterusnya, maka KPK dan DKPP setuju dan memutuskan melaksanakan sidang di KPK. Waktu tetap pukul 14.00 WIB," kata Muhammad, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (15/1).

DKPP akan menghadirkan Wahyu sebagai pihak teradu serta jajaran Bawaslu dan KPU sebagai pihak pengadu. Dalam aduannya, Wahyu dianggap telah melanggar sumpah jabatan dan prinsip mandiri lantaran telah menerima suap dari caleg PDIP Harun Masiku. Bahkan, Wahyu dinilai tidak bersikap profesional dengan menerima uang panas tersebut.

Sidang akan digelar secara tertutup lantaran pertimbangan KPK. Dengan demikian, awak media tak dapat meliput sidang tersebut.

"Tetapi, KPK mengizinkan untuk dilakukan live streaming. Nanti ada koordinasi teknisnya. Jadi, dengan live streaming sebetulnya sidang tetap terbuka. Bisa diikuti bagaimana proses sidang DKPP," tutur dia.

Selain itu, dia berharap, dapat segera mengambil keputusan terkait sidang itu. Muhammad menyampaikan, pihaknya langsung menggelar rapat pleno setelah sidang tersebut rampung.

"Kami bertiga dengan anggota DKPP lain akan melaksanakan sidang hari ini dan sore atau malam hari, kami segera pleno. Insyaallah pagi atau siang akan dibacakan putusannya," ucap Muhammad.

Sponsored

Untuk diketahui, Wahyu merupakan tersangka dugaan suap peralihan anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW). Dia ditetapkan bersama tiga kader PDIP lainnya seperti Agustiani Tio Fridelina, Saeful Bahri, dan Harun Misaku.

Dalam perkaranya, Wahyu diduga telah meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun. Uang itu untuk memuluskan langkah Harun menjadi anggota DPR. Permintaan itu dipenuhi Harun.

Pemberian uang itu dilakukan secara bertahap dengan dua kali transaksi, yakni pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Pemberian pertama, Wahyu menerima Rp200 juta dari Rp400 juta yang diberikan sumber yang belum diketahui KPK. Uang tersebut, diterima melalui orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Pemberian kedua, Harun memberikan Rp850 juta pada kader PDIP bernama Saeful. Saeful, kemudian memberikan Rp150 juta kepada Doni selaku advokat. Adapun sisa Rp700 juta diberikan kepada Agustiani, dengan Rp250 juta di antaranya untuk biaya operasional dan Rp400 juta untuk Wahyu. 

Namun, upaya Wahyu menjadikan Harun sebagai anggota DPR pengganti Nazarudin tak berjalan mulus. Hal ini lantaran rapat pleno KPU pada 7 Januari 2020 menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW. KPU bertahan menjadikan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin. 

Meski demikian, Wahyu tak berkecil hati. Dia menghubungi Doni dan menyampaikan tetap berupaya menjadikan Harun sebagai PAW. Untuk itu, pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta uang yang diberikan Harun kepada Agustiani. Namun saat hendak menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu, penyidik KPK menangkap Agustiani dengan barang bukti Rp400 juta dalam bentuk dolar Singapura.

Sebagai pihak penerima, Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Harun dan Saeful selaku pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Berita Lainnya
×
tekid