sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ambisi senjata nuklir Sukarno, gagalnya pembangkit listrik Soeharto

Sukarno pernah berencana melawan neokolonialisme dan neoimperialisme dengan senjata nuklir.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Minggu, 26 Sep 2021 06:39 WIB
Ambisi senjata nuklir Sukarno, gagalnya pembangkit listrik Soeharto

Dalam acara 4th International Conference on Nuclear Energy Technologies and Sciences yang disiarkan secara virtual, Rabu (8/9), peneliti senior di organisasi riset tenaga nuklir Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) Anhar Riza Antariksawan menjelaskan, Indonesia harus menyiapkan energi nuklir sebagai bagian dari rencana aksi mencapai sistem energi dengan emisi nol bersih.

"Suatu studi menunjukkan bahwa energi nuklir adalah bagian dari sumber energi yang paling aman dan bersih," katanya, seperti dikutip dari Antara, Rabu (8/9).

Di sisi lain, hingga medio 2020, kata mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) itu, kapasitas pembangkit listrik bertenaga energi baru terbarukan sekitar 10.400 megawatt. Sementara kontribusi energi baru terbarukan dalam bauran energi primer pembangkit listrik pada 2019 baru 9,15%. Angka tersebut masih jauh dari target, sebesar 23% pada 2025.

Atas dasar itu, nuklir menjadi pilihan energi baru terbarukan. Kalimantan Barat dipilih sebagai lokasi berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kelak karena menurut Anhar Riza, seperti dikutip dari Antara, 28 Agustus 2021, di antara semua pulau di Indonesia, risiko bencana alam di lokasi itu paling kecil.

Menciptakan senjata

Sukarno sudah memikirkan pentingnya penguasaan teknologi nuklir sejak 1950-an. Pada 12 Juni 1958, di hadapan peserta rapat umum menentang bom atom dan hidrogen di Istana Negara, Jakarta, Sukarno menyinggung perang nuklir yang bisa terjadi karena perlombaan negara-negara maju menciptakan senjata pemusnah itu. Namun, ia tegas menyatakan menolak senjata nuklir.

“Cara agar kita tidak mengalami peperangan dunia, peperangan atom ialah semua senjata atom dilemparkan ke dalam laut dan jangan membuat senjata atom lagi!” kata dia.

Pernyataan itu merupakan respons Sukarno terhadap uji coba bom hidrogen oleh Amerika Serikat di Atol Enewetak, Samudera Pastifik pada 1952. Pada 1954, dibentuk Panitia negara untuk Penjelidikan Radioaktivitet dan Tenaga Atom (PPRTA) untuk menyelidiki kemungkinan jatuhnya radioaktif di wilayah Indonesia karena uji coba bom hidrogen.

Sponsored

Berkumpulnya para ahli di PPRTA tak disia-siakan Bung Karno. Ia ingin Indonesia menguasai dan mengembangkan teknologi nuklir demi tujuan damai.

Peletakan batu pertama reaktor atom di Bandung pada 1961 oleh Sukarno./Foto Varia, 10 Maret 1965.

Menurut Teuku Reza Fadeli dalam buku Nuklir Sukarno (2021), pada 1958 pemerintah lantas membentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA).

Proyek awal LTA adalah berdiri reaktor nuklir pertama di Bandung, yang diberi nama TRIGA-Mark II. Reaktor berkapasitas 250 kilowatt itu dibangun atas bantuan Amerika Serikat. Selain menggelontorkan dana, Amerika mengirim ahli-ahli mereka dari perusahaan General Atom.

TRIGA-Mark II diresmikan Sukarno pada 20 Februari 1965. Dikutip dari Varia edisi 10 Maret 1965, pusat reaktor atom itu dimanfaatkan untuk pelatihan sarjana Indonesia dalam teknologi nuklir; penelitian bidang fisika, kimia, dan biologi; serta menghasilkan radioisotop untuk keperluan bidang kedokteran, pertanian, dan industri.

Peta politik dunia mengubah cara pandang Bung Karno terhadap nuklir. Pada awal 1960-an, di tengah-tengah Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang saling berebut pengaruh, Indonesia yang tadinya netral perlahan cenderung mengambil posisi ke arah kiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan perubahan arah politik Sukarno.

Salah satunya, ia marah terhadap negara Barat yang terus menjalankan politik neokolonialisme dan neoimperialisme.

“Kerja pembebasan Irian barat, politik konfrontasi dengan Malaysia, dan kedekatan Sukarno dengan PKI ikut memengaruhi politik luar negeri Indonesia,” tulis Teuku Reza.

Sementara itu, uji coba bom atom China pada 16 Oktober 1964 memukau Sukarno. Ia berkunjung ke China dan beberapa kali mengirim delegasi untuk membicarakan kerja sama. Indonesia menyatakan minat menciptakan senjata nuklir—sebuah hal yang bertentangan dengan cita-cita awal pengembangan teknologi nuklir.

Demi mewujudkan ambisi ini, dilakukan reorganisasi dan restrukturisasi LTA. Pada Maret 1965, LTA diubah menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

Dalam pidatonya saat meresmikan reaktor atom TRIGA-Mark II pada 20 Februari 1965, Sukarno pun memberikan pernyataan keras terkait konfrontasi dengan Malaysia, yang dianggap bentuk neokolonialisme dan neoimprealisme Inggris.

“Sekalipun proyek ini akan dijadikan alat pengabdi maksud-maksud damai, namun kalau keadaan memaksa, proyek ini akan dijadikan senjata guna menghancur leburkan apa yang dinamakan Malaysia yang terang-terangan menghendaki hancurnya Indonesia,” kata Sukarno, seperti dikutip dari Varia, 10 Maret 1965.

Seperti dikutip dari buku Teuku Reza, dalam pidatonya di Kongres Muhammadiyah di Bandung pada 24 Juli 1965, Sukarno menyatakan Indonesia akan memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat.

Peta politik berubah usai terjadi tragedi 30 September 1965. Sukarno pun dilengserkan MPRS pada 7 Maret 1967. Kekuasaan beralih ke Soeharto.

Pada 19 Juni 1967, Indonesia meneken persetujuan keamanan International Atomic Energy Agency (IAEA), yang mengatur teknologi nuklir dimanfaatkan demi maksud damai dan tak menciptakan senjata nuklir.

Di masa Orde Baru, perhatian nuklir beralih ke pemanfaatan sebagai energi pembangkit listrik alias PLTN. Rencana itu mulai muncul pada 1970-an. Pada pertengahan 1970-an, Filipina dan Thailand sudah punya wacana serius membangun PLTN.

“Indonesia jangankan untuk membangkitkan listrik, malah untuk program nuklir yang lebih murah dan sederhana saja, Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding dengan tetangganya,” tulis Tempo, 9 Desember 1978.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie kala itu mengaku banyak kendala ke arah pembangunan PLTN. Ia mengatakan, selama 10 tahun terakhir, BATAN hanya mampu memproduksi 70 curie isotop chroom setahun. Transfer teknologi nuklir dari Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa Barat pun berjalan sangat lambat.

Ambisi PLTN Semenanjung Muria

Ilustrasi PLTN./Foto Pixabay.com

Meski begitu, BATAN sudah mewacanakan pembangunan PLTN di Teluk Rembang, Jawa Tengah. Lokasi lantas difokuskan di Semenanjung Gunung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Melansir Tempo, 22 Januari 1994, pada awal 1980 BATAN membuat studi kelayakan dengan bantuan konsultan dari luar negeri, salah satunya dari Italia. Hasilnya, lokasi PLTN ditetapkan di kaki Muria.

Namun, hasil studi itu tak menarik minat para teknokrat. Pertengahan 1980-an, studi awal diperbarui. Untuk pengelolaan, disiapkan sumber daya manusia.

Demi maksud itu, BATAN kemudian meresmikan Pendidikan Ahli Teknik Nuklir (PATN) pada Agustus 1985. Sekolah pendidikan ahli nuklir itu didirikan di kompleks Pusat Penelitian Bahan Murni dan Instrumentasi BATAN di Babarsari, Yogyakarta.

“Sekolah itu akan mendidik 31 mahasiswa jurusan teknokimia nuklir dan 42 mahasiswa teknofisika nuklir. Semua mahasiswa adalah karyawan BATAN,” tulis Tempo, 24 Agustus 1985.

Pada 1983, Habibie pun menyekolahkan puluhan sarjana Indonesia ke berbagai negara untuk jadi ahli nuklir. Menurut Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana, yang diwawancara detikFinance pada Jumat (8/5/2015), para ahli nuklir itu semua bergelar doktor lulusan Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang.

Akan tetapi, rencana pembangunan PLTN Semenanjung Muria tak berjalan mulus. Kritik datang dari sejumlah pihak. Ada pula kekhawatiran usai terjadi kecelakaan reaktor nomor empat di PLTN Chernobyl, Uni Soviet yang meledak pada 26 April 1986. Soeharto merespons kecemasan itu.

“Dalam penggunaan teknologi manapun, kita dihadapkan pada risiko. Penggunaan teknologi nuklir juga mengandung risiko,” kata Soeharto saat meresmikan instalasi spektrometri neutron dan laboratorium sumber daya energi di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang pada 20 Agustus 1992, seperti dikutip dari buku Jejak Langkah Pak Harto, 21 Maret 1988-11 Maret 1993 (1993).

“Akan tetapi, apabila kita telah merencanakannya secara cermat, maka kita tidak perlu ragu-ragu lagi.”

Dalam kesempatan sebelumnya, Soeharto juga mengingatkan kebutuhan energi alternatif untuk daya listrik. Nuklir, kata dia, harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh.

Soeharto berdalih, pada 2015 Pulau Jawa membutuhkan tenaga listrik sebanyak 27.000 megawatt. Bila sumber energi konvensional sudah dimanfaatkan maksimal, masih perlu tambahan minimal 7.000 megawatt.

“Dengan bertambahnya kemampuan bangsa kita dalam menguasai teknologi nuklir, maka kita harapkan kekurangan daya listrik tadi akan dapat dipenuhi dengan menggunakan tenaga nuklir,” kata Soeharto, seperti dikutip dari buku Presiden RI ke-II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita (1989).

Warga yang tinggal di sekitar tapak, terusik dengan wacana PLTN Semenanjung Muria. Menurut sosiolog George Junus Aditjondro dalam tulisannya “Dampak Politis Pembanguan PLTN Muria” di buku Pembangunan PLTN: Demi Kemajuan Peradaban? (1996), warga yang berpotensi menjadi korban radiasi nuklir dari PLTN tak cuma penduduk sekitar reaktor.

Infografik Alinea.id/Muji Prayitno.

“Tapi juga mereka yang berkunjung dan memelihara tempat ziarah Islam, seperti masjid dan makam Sunan Muria, makam Sunan Kalijaga, masjid Demak,” tulis George.

Mayoritas penduduk yang berdiam di sekitar lokasi adalah warga Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini memicu reaksi Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang saat itu menjabat Ketua Umum NU. Ia khawatir, jika terjadi apa-apa, warga NU menjadi korban.

“Kalau PLTN jadi dibangun, saya akan puasa di sana,” ujar Gus Dur, seperti dikutip dari Tempo, 22 Januari 1994.

Meski demikian, studi kelayakan tetap berlanjut. Perusahaan konsultan energi asal Jepang, Newjec Inc terpilih menjadi konsultan PLTN Semenanjung Muria pada akhir 1991. Pada 1994, Newjec Inc berhasil merampungkan studi kelayakan dan laporan data awal. Dikutip dari Tempo, 22 Januari 1994, Newjec Inc memandang, pantai di kaki Muria dinilai aman dan jauh dari kemungkinan gempa atau tanah longsor. Daerah itu dapat menampung instalasi nuklir kapasitas 7.000 megawatt.

Pada 1998, proyek PLTN Semenanjung Muria terhenti karena krisis ekonomi dan politik. Meski dilanjutkan kembali pada 2000-an, akhirnya pada 2012 pemerintah memutuskan betul-betul membatalkan rencana pembangunan PLTN karena diketahui beberapa kali terjadi gempa bumi di sekitar gunung.

Kini, pemerintah kembali ingin membangun PLTN di Kalimantan Barat. Namun, membangun PLTN bukan perkara mudah. Banyak hal rumit yang harus dituntaskan. Apakah rencana PLTN di Kalimantan Barat ini baka sukses atau hanya kembali tersimpan dalam laci birokrasi?

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid