sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Anggota Komisi IX DPR: Perpres Nomor 64/2020 harus dibatalkan

Ada empat alasan fundamental mengapa perpres itu wajib dibatalkan.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Jumat, 15 Mei 2020 12:07 WIB
Anggota Komisi IX DPR: Perpres Nomor 64/2020 harus dibatalkan

Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay, mendesak pemerintah segera membatalkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Ada empat alasan fundamental mengapa perpres itu wajib dibatalkan. Pertama, perpres itu tidak mengindahkan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR RI.

Padahal, DPR telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana kenaikan itu melalui rapat-rapat di Komisi IX dan rapat-rapat gabungan Komisi IX bersama pimpinan DPR.

“Waktu itu, kami merasakan belum tepat waktunya untuk menaikkan iuran. Kemampuan ekonomi masyarakat dinilai rendah. Kan aneh sekali, justru pada saat pandemi Covid-19 ini pemerintah malah menaikkan iuran. Padahal, semua orang tahu bahwa masyarakat sedang kesusahan,” jelas Saleh lewat pesan tertulisnya, Jumat (15/5).

Alasan kedua, pemerintah dapat dinilai tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Ditegaskan Saleh, bisa jadi orang berpendapat bahwa dengan menerbitkan perpres baru yang juga berisi tentang kenaikan iuran BPJS, pemerintah dianggap menentang putusan peradilan.

Padahal, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada Presiden. Artinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melanggar hukum.

“Kalau mau lebih spesifik, kita bisa merujuk pada pasal 31 UU tentang MA yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tandas politikus PAN ini 

Pasal tersebut jelas mengamanatkan sesuatu yang dibatalkan tidak dapat digunakan lagi. Selain itu, jika sudah dibatalkan Presiden Jokowi tidak boleh membuat perpres lagi. Apalagi substansinya sama, yaitu kenaikan iuran BPJS.

Sponsored

Keluarnya perpres tersebut sekaligus mengukuhkan kekuasaan eksekutif yang jauh melampaui legislatif dan yudikatif. Padahal, di dalam negara demokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sama tinggi. Oleh sebab itu, keputusan-keputusan ketiga lembaga itu harus saling menguatkan, bukan saling mengabaikan.

Alasan ketiga mengapa Perpres harus dibatalkan, karena dikeluarkannya perpres ini diyakini akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Hingga sekarang, masyarakat banyak sekali yang berharap agar pemerintah mengikuti putusan MA. Namun kenyataannya, pemerintah malah kembali menaikkan.

“Perpres Nomor 75 Tahun 2019 dibatalkan atas dasar keberatan dan judicial review yang dilakukan masyarakat. Jika nanti Perpres Nomor 64 Tahun 2020 digugat lagi ke MA, lalu MA konsisten dengan putusan sebelumnya yang menolak kenaikan iuran, ini tentu akan menjadi preseden tidak baik. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dipastikan akan turun," jelas Saleh.

Alasan keempat, kenaikan iuran yang diamanatkan dalam perpres tersebut dinilai belum tentu menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan. Apalagi kenaikan iuran ini belum disertai dengan kalkulasi dan proyeksi kekuatan keuangan BPJS pascakenaikan.

Oleh karena itu, patut diduga kenaikan iuran ini hanya menyelesaikan persoalan keuangan BPJS sesaat saja. Jika iuran naik, bisa saja orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas. Kelas I dan II bisa saja mutasi kolektif ke Kelas III.

Selain itu, bisa juga orang enggan membayar iuran. Kemudian, orang tidak mau mendaftar jadi peserta mandiri.

"Dan banyak lagi kemungkinan lain yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari kenaikan iuran ini. Kalau semua itu terjadi, pasti akan berdampak pada kolektabilitas iuran dan penghasilan BPJS," sambungnya.

Saleh berpendapat, sebelum iuran dinaikkan, sebaiknya pemerintah mendesak agar BPJS Kesehatan berbenah diri. Ada banyak persoalan yang sangat kompleks yang perlu diperbaiki, termasuk masalah pendataan kepesertaan, fraud, pelayanan di fakes, ketersediaan kamar untuk rawat inap, stok obat, dan lain-lain. Ada juga persoalan birokrasi yang kadang-kadang berbelit akibat banyaknya aturan yang dikeluarkan.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid