sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Angkutan pelat hitam: Bantu warga di tengah absennya kepedulian pemda

Keberadaan angkutan umum berpelat hitam dianggap menyalahi aturan UU LLAJ karena tak berbadan hukum. Tapi angkutan ini dibutuhkan warga.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Sabtu, 12 Nov 2022 06:34 WIB
Angkutan pelat hitam: Bantu warga di tengah absennya kepedulian pemda

Uding tengah beristirahat di kursi panjang depan sebuah warung dekat Stasiun Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia mengamati dua rekannya yang sibuk menawarkan calon penumpang untuk naik ke mobil angkutan berpelat hitam, yang terparkir di pinggir jalan.

Sama seperti rekannya, Uding pun sopir angkutan umum pelat hitam. Mobil yang mereka bawa rata-rata berjenis Suzuki Carry, bisa memuat delapan orang. Trayek mobil angkutan Uding dari Parung Panjang ke Bunar, yang masih wilayah Kabupaten Bogor.

Di depan Stasiun Parung Panjang memang tempat ngetem Uding dan kawan-kawan. Mereka mengharapkan penumpang pelajar dan pekerja, yang hilir-mudik menggunakan kereta komuter. Biasanya, Uding hanya narik pagi dan sore atau dua kali bolak-balik.

Dalam dua kali bolak-balik, Uding bisa merogoh kocek untuk bensin Rp130.000. Itu belum termasuk duit makan dan setoran.

“Pendapat tergantung setoran. Setoran bisa Rp80.000 sehari. Gaji dari lebihan setoran. Kadang-kadang Rp50.000 atau Rp100.000,” ucapnya saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Selasa (8/11).

Melanggar, tapi dibutuhkan

Ongkos untuk pelajar dipatok Rp2.000-Rp3.000, sedangkan orang dewasa kurang dari lima kilometer Rp3.000, jika lebih dari jarak tersebut Rp5.000. Adapun penumpang yang naik dari Parung Panjang ke Bunar atau sebaliknya, ongkosnya Rp12.000-Rp15.000. Jarak Parung Panjang ke Bunar sendiri sekitar 30 kilometer.

Jika perjalanan dilakukan malam hari, ongkos dari Parung Panjang ke Bunar Rp20.000-Rp25.000. Tarif itu berbeda lantaran sopir harus menambah jam kerjanya, yang lazim beristirahat narik pukul 18.00 WIB. Alasan lainnya, rute yang dilewati penuh dengan truk tronton dan penumpangnya jarang.

Sponsored

Selama beroperasi, Uding menjelaskan, tak pernah berkonflik dengan sopir angkutan pelat kuning. Sebab, trayek Parung Panjang ke Bunar memang tak ada angkutan pelat kuning.

Seorang sopir angkutan umum pelat hitam tengah menunggu penumpang di dekat Pasar Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/11/2022). Alinea.id/Akbar Ridwan

“Angkot (pelat kuning) enggak kuat setorannya. Setorannya bisa Rp3 juta sampai Rp4 juta per bulan,” ucapnya.

Setoran itu sulit dicapai karena penumpang sudah mulai sepi pada sore hari. Sedangkan angkutan pelat hitam, kata Uding, jika dihitung bulanan setorannya Rp2 juta.

“(Angkutan) pelat hitam bantu warga doang,” katanya.

Tarif naik angkutan pelat hitam, menurut Uding jauh lebih hemat dibandingkan ojek. “Kalau naik ojek Rp80.000 sampai Rp100.000,” ujar pria 60 tahun ini.

Pemda Kabupaten Bogor, ujar Uding, memang memberikan bantuan transportasi berupa dua bus Damri ukuran sedang. Namun, hanya dua kali jalan, pagi dan sore.

Berprofesi serupa dengan Uding, trayek angkutan pelat hitam Mahpud dari Stasiun Parung Panjang ke Dago. Jaraknya sekitar 10 kilometer. Tarif untuk pelajar SD Rp2.000, pelajar SMA Rp3.000, dan pekerja Rp4.000-Rp5.000. Sehari Mahpud bisa lima kali bolak-balik, dengan menghabiskan bensin 10-15 liter.

“Bisa Rp150.000 buat bensin. Paling sisa kebagian Rp50.000 sehari,” katanya saat ditemui di depan Stasiun Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/11).

Namun, setelah harga BBM naik, Mahpud mengaku sulit membawa uang Rp50.000 ke rumah. Apalagi penumpangnya hanya ramai saat pagi dan sore. Belum lagi banyak saingan. Jika angkutan pelat hitam beroperasi semua dalam trayeknya, bisa ada 30 unit yang jalan.

Kepala Seksi Angkutan Jalan Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Bogor, Wartono mengakui, angkutan pelat hitam memang melanggar hukum. Karena keberadaannya tak mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), yang menjelaskan angkutan umum harus berbadan hukum.

Mengacu Peraturan Bupati Bogor Nomor 39 Tahun 2018 tentang tentang Trayek Kendaraan Angkutan Perdesaan, sudah ada lima trayek angkutan yang disahkan untuk kawasan Parung Panjang, yaitu kode trayek 80 rute Terminal Parung Panjang-Bunar-Terminal Jasinga, kode trayek 81 Terminal Parung Panjang-Pangkalan Tenjo, kode trayek 82 Terminal Parung Panjang-Pangkalan Perum Griya, kode trayek 83 Terminal Parung Panjang-Pangkalan Lebak Wangi, dan kode trayek 84 Terminal Parung Panjang-Pangkalan Dago.

Menurut Wartono, berdasarkan UU LLAJ, maka yang bisa mengisi trayek tersebut harus berbadan hukum, bisa dalam bentuk perseroan terbatas, koperasi, BUMN, atau BUMD.

“Sudah ada satu (angkutan pelat hitam) yang (pernah) isi. Cuma pengusaha-pengusaha di sana itu karena mungkin kembali modalnya tidak dapat atau sewanya kurang, ternyata itu tidak jalan lagi,” ucapnya saat dihubungi, Rabu (9/11).

Salah satu solusi yang bisa ditempuh, ujar Wartono, adalah mengajukan badan hukum dalam bentuk koperasi. Langkah yang bisa dilakukan adalah mengajukan ke Dishub Kabupaten Bogor, lalu mengubah STNK dari pelat hitam ke pelat kuning.

Wartono menerangkan, jumlah penumpang yang sedikit menjadi alasan pengusaha angkutan umum berbadan hukum absen di wilayah Parung Panjang dan sekitarnya. “Umpamanya isinya dua orang, tiga orang, kan buat bensin juga mungkin kurang bagus, untuk biaya operasional belum cukup,” ucapnya.

Di sisi lain, warga membutuhkan angkutan umum. Karenanya, pihaknya bekerja sama dengan Perum Damri. Akan tetapi, saat ini baru ada dua bus yang beroperasi dari Jasinga ke Parung Panjang. Lagi-lagi, penumpang yang rendah menjadi alasan. Keterisian kapasitas hanya 50%-60%.

“Makanya menurut Damri, kalau faktornya (keterpenuhan penumpang) di bawah 30% tidak akan dilayani. Kalau kurang dari 30% akan dievaluasi,” katanya.

Masalah dan solusi

Sekretaris DPC Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Bogor, Haryandi pun mengakui pengusaha angkutan berpikir ulang kalau mengoperasikan kendaraan di wilayah Parung Panjang dan sekitarnya. Selain jumlah penumpang yang rendah, pengusaha juga harus menjalankan kewajiban uji kir enam bulan sekali dan bayar pajak setiap tahun.

Di samping itu, unit kendaraan juga terbatas. Pengadaan kendaraan, kata Haryandi, tak diberikan pemda.

“Dengan demand rendah, jalannya jelek, hancur. Biasanya di pelosok, di pedalaman, jalannya jauh lebih buruk. Itu kan akan menambah boros biaya perawatan angkutan umum,” tuturnya, Selasa (8/11).

Haryandi sepakat warga di wilayah itu membutuhkan angkutan umum. Namun, ia tak melihat keseriusan pemda membantu Organda dan warga dalam memecahkan masalah tersebut.

Sebuah mobil angkutan pelat hitam tengah menepi di dekat Stasiun Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/11/2022). Alinea.id/Akbar Ridwan

“Di wilayah-wilayah tertentu yang kondisi demand rendah secara usaha itu tidak masuk keekonomiannya, di situ harusnya pemda hadir memberikan subsidi atau apa bentuknya sehingga sarana angkutan umum itu masuk ke seluruh pelosok,” kata dia.

“Saya di Organda sudah hampir 30 tahun. Dan saya belum pernah melihat ada perhatian dari pemda untuk angkutan umum.”

Walau bisa membantu masalah transportasi warga, namun ia melihat angkutan umum berpelat hitam ada titik lemahnya. Salah satunya, penumpang tak dapat jaminan asuransi, layaknya angkutan pelat kuning.

“Itu tidak diuji kelayakannya dan keselamatannya secara berkala. Enggak ada uji kir kayak angkot yang legal,” katanya.

Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, angkutan pelat hitam juga banyak ditemui di daerah lain. Namun, situasi di Kabupaten Bogor disebutnya berbeda.

“Itu kan dekat dengan Jakarta,” ucapnya, Selasa (8/11).

Djoko menduga, sebelumnya sudah ada angkutan umum resmi di wilayah itu, tetapi tak bertahan lama karena tak ada kepedulian dari pemda. Menurutnya, jika pemda peduli, maka bisa mengusulkan angkutan perintis ke pemerintah pusat.

“Itu kewajiban kepala daerah dalam UU (LLAJ) Pasal 138-139 untuk penyelenggaraan angkutan umum,” ujarnya.

Pasal 138 ayat (2) UU LLAJ menyebut, pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum. Sedangkan pasal 139 ayat (1) menyebut, pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota, antarprovinsi, serta lintas batas negara. Dan pasal 139 ayat (2) dan (3) menyebut, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan orang dan/atau barang.

Dengan kondisi itu, angkutan umum berpelat hitam tak bisa serta merta disalahkan. Alasannya, sebut Djoko, penduduk setempat memang butuh transportasi di wilayah yang tak dilewati angkutan resmi.

Bus Damri, ujar Djoko, sangat dibutuhkan. Jumlah dan trayeknya perlu ditambah. Dalam pengadaan angkutan perintis seperti bus Damri, jelas Djoko, perlu melibatkan BUMN dan perusahaan swasta di daerah itu.

“Untuk membantu Perum Damri, misalnya, perusahaan BUMN lain dapat menyediakan bus di sekitar wilayah perusahaan sebagai program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL),” katanya.

“Selain itu, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk pengadaan bus sebagai bentuk corporate social responsibility (CSR).”

Menurut Djoko, manfaat layanan angkutan perintis adalah meningkatkan perekonomian suatu daerah. Kendaraan tersebut pun bisa membantu menghubungkan wilayah perbatasan atau lainnya.

“Rata-rata persentase pertumbuhan jaringan trayek angkutan jalan perintis sejak tahun 2015 hingga tahun 2022 sebesar 6,54%, dengan rata-rata realisasi sebesar 93,95%,” katanya.

Djoko menerangkan, saat ini berdasarkan data Direktorat Angkutan Jalan Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub), ada 156 trayek yang dilayani angkutan jalan perintis. Jumlah itu setara 54%, yang merupakan asal, tujuan, dan lintasan daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan.

“Jaringan trayek angkutan jalan perintis tahun 2022 yang dilaksanakan sebanyak 336 trayek dengan 597 kendaraan dan total anggaran Rp125.159.942.000,” tuturnya.

Lebih lanjut, Djoko mengatakan, ada persoalan mengenai kendaraan perintis karena pengadaannya oleh Kemenhub dan Perum Damri dilakukan lewat mekanisme lelang. “Pengadaan sarana terakhir tahun 2016, sehingga sekarang semua armada bus dalam kondisi yang sebenarnya kurang layak beroperasi,” ucapnya.

Ditambah jaringan jalan yang tak mulus. Menurut Djoko, panjang jalan yang dilayani 33.969 kilometer. Sementara jalan yang rusak 4.478 kilometer atau 13,18%. Jalan rusak terpanjang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT), mencapai 1.049 kilometer.

“Problem lainnya angkutan perintis adalah susah dapat BBM subsidi, terutama yang ada di luar Pulau Jawa dan Bali,” kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid