sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Asa dan paranoia mereka yang kembali bekerja di tengah wabah Covid-19

Para pekerja mulai kembali berkantor seperti biasa meski bahaya Covid-19 masih mengintai.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 26 Mei 2020 16:50 WIB
Asa dan paranoia mereka yang kembali bekerja di tengah wabah Covid-19

Heni--bukan nama sebenarnya--tak punya pilihan lain selain ikut perintah atasannya. Setelah dua bulan terakhir bekerja dari rumah, perempuan berusia 27 tahun itu akhirnya kembali berkantor seperti biasanya.

"Saya ditelepon orang HRD (human resource department). Itu seminggu sebelum masuk kantor. Katanya, siap-siap masuk kerja lagi, ya. Sudah sepekan ini sekarang masuk kantor. Mau bagaimana lagi? Kita cuma karyawan," kata Heni saat berbincang dengan Alinea.id, Senin  (25/5).

Heni bekerja di sebuah perusahaan finansial di Jakarta. Saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan pada awal April lalu, perusahaan Heni langsung menerapkan work from home (WFH) bagi sebagian pekerja. Heni termasuk salah satunya. 
 
Namun, saat ini pemerintah memperbolehkan pekerja berusia di bawah 45 tahun kembali berkantor karena dianggap "lebih aman" jika terpapar Covid-19. Heni dianggap perusahaannya masuk dalam kategori pekerja semacam itu. Meski gundah, Heni memberanikan diri untuk kembali ke kantor. 

"Itu OTG (orang tanpa gejala) kan bisa menularkan virus Corona walaupun tidak memiliki gejala. Jadi, saya takut. Untung suami menguatkan saya. Katanya, yang penting jangan berkontak dengan orang lain selama bekerja," tutur Heni. 

Lain Heni, lain pula situasi yang dihadapi Yasinta. Kepada Alinea.id, Yasinta mengungkapkan ia dan sejumlah rekan kerjanya berkantor seperti biasa pada era pemberlakuan PSBB. 

"Sebenarnya sih off. Tetapi transaksi harus berjalan. Makanya, beberapa karyawan harus tetap masuk," kata perempuan berusia 24 tahun itu. 

Bergerak di bidang distribusi, perusahaan Yasinta memang diizinkan untuk tetap beroperasi selama PSBB. Syaratnya, perusahan tersebut mengikuti protokol kesehatan, semisal memakai masker di tempat kerja, menerapkan physical distancing, serta membatasi jam kerja dan jumlah karyawan.

Meski sempat takut tertular virus Covid-19, Yasinta mengaku sudah mulai berdamai dengan keadaan. "Was-was sih. Cuma sekarang karena sudah terbiasa. Saya juga enggak tentu masuknya. Tergantung seberapa urgen kerjaannya," kata dia.

Sponsored

Diakui Yasinta, kondisi finansial perusahaannya terus memburuk karena merebaknya wabah Covid-19. Kini, gaji dia dan karyawan lainnya bahkan dipotong sebanyak 15%. "Karena tidak masuk rutin, uang makan dan lembur ditiadakan," katanya.

Sejumlah calon penumpang dengan mengenakan masker menunggu rangkaian KRL Commuterline di Stasiun KA Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (16/5). /Foto Antara

Itikad menyelamatkan pekerja

Keputusan untuk memberikan izin bagi pekerja di bawah 45 tahun untuk kembali berkantor seperti biasa diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Selasa (12/5) lalu. Namun, bidang pekerjaan mereka dibatasi pada 11 bidang usaha saja.

Sektor lain yang diizinkan adalah kesehatan, bahan pangan atau makanan/minuman, energi, komunikasi dan teknologi informasi, logistik, perhotelan, konstruksi, industri, pelayanan dasar pada obyek vital, serta kebutuhan sehari-hari.

Pemerintah mengambil langkah itu untuk mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi. Per 20 April 2020, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sudah ada 2,08 juta orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan. 

Yang paling terdampak berasal dari sektor formal. Di sektor itu, korban PHK dan dirumahkan mencapai 1,54 juta orang. Di sektor informal, jumlahnya sebanyak 538 ribu pekerja. Namun, sektor informal juga terpukul lantaran larangan-larangan yang diberlakukan pemerintah selama masa PSBB. 

Dampak pandemi terhadap pengusaha kecil setidaknya dirasakan oleh Dewy, salah seorang pemilik toko elektronik di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Kepada Alinea.id, ia mengaku terpaksa menutup cabangnya di kawasan Jakarta Utara karena terus merugi. 

Ia bahkan telah merumahkan lima pegawainya lantaran tak mampu membayar gaji mereka. "Saya dapat pinjaman dari saudara untuk tambahan modal. Saya fokus selamatkan yang satu (toko di Senen) ini dulu," kata dia.

Kini, Dewy berencana memanggil kembali dua pegawainya untuk bekerja seperti biasa. Demi keamanan, ia bakal mewajibkan semua pegawai bermasker dan mengenakan sarung tangan. "Saya pasrah aja. Saya melihat orang-orang juga sudah terbiasa dengan situasi ini," ujar Dewy.

Pedagang menunggu pembeli di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (21/4). /Foto Antara

Sejalan dengan dikeluarnya izin bekerja bagi pegawai berusia di bawah 45 tahun, Kemenkes menerbitkan panduan baru bagi perusahaan yang bakal kembali beroperasi di tengah pandemi Covid-19. 

Arahan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

"Perlu dilakukan upaya mitigasi dan kesiapan tempat kerja seoptimal mungkin, sehingga dapat beradaptasi melalui perubahan pola hidup pada situasi Covid-19 atau new normal,” ujar Menkes Terawan Agus Putranto di Jakarta seperti disitat dari setkab.go.id, Senin (25/5).

Permenkes itu secara garis besar mengatur tiga hal. Pertama, protokol kesehatan yang harus diberlakukan di lingkungan kerja. Kedua, panduan bagi pekerja esensial yang harus bekerja di tengah pandemi. 

Terakhir, panduan sosialisasi dan edukasi kepada pekerja mengenai bahaya Covid-19. "Tempat kerja sebagai lokus interaksi dan berkumpulnya orang merupakan faktor risiko yang perlu diantisipasi penularannya,” kata Terawan.

Sejumlah tenaga medis, relawan dan pasien COVID-19 mengikuti kegiatan senam pagi di Rumah Singgah Karantina COVID-19, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (26/5). /Foto Antara 

Bahaya gelombang kedua 

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti menilai pemerintah terburu-buru dalam melonggarkan PSBB. Ia khawatir orang-orang yang kembali bekerja di tengah pandemi bakal tertular dan menjadi agen penular virus. 

"Padahal, vaksinnya belum ditemukan. Jika dinyatakan sembuh pun ada kemungkinan bisa kena lagi," ujar Esther kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (25/5) malam.

Diakui Esther, pandemi memukul perekonomian Indonesia. Namun demikian, pemerintah tidak boleh gegabah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan situasi darurat Covid-19. 

Lebih jauh, Esther menegaskan, dana yang dikucurkan negara tidak akan cukup untuk mengatasi pandemi jika warga tidak disiplin dan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang justru "melanggengkan" wabah.

"Sebaiknya memang kreativitas dan inovasi harus didorong agar masyarakat bisa menciptakan atau beralih ke pekerjaan baru," ujar Esther.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Senada, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah mengatakan, pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa menerapkan new normal. Menurut dia, kebijakan itu tidak tepat dikeluarkan pada saat kurva penularan belum juga landai. 

"Jangan terburu-buru. Takutnya malah muncul gelombang kedua dari Covid-19 dan kondisinya jauh lebih berbahaya. Kalau sudah begitu, apa yang kita lakukan selama dua hingga tiga bulan kemarin jadi sia-sia," jelas Trubus.

Hingga Selasa (26/5), tercatat sudah ada lebih dari 23 ribu pasien positif Covid-19. Rata-rata per hari terjadi penambahan jumlah pasien positif sekitar 400-600 orang. 

Lebih jauh, Trubus juga pesimistis panduan dari Kemenkes bisa efektif. Menurut dia, tingkat kedisiplinan warga Indonesia yang rendah bakal jadi pengganjal.

"Mungkin di kantor bisa. Tapi di mal, pasar, atau tempat terbuka umum, saya rasa sulit. Siapa yang mengawasi? PSBB saja, orang masih longgar," ucap Trubus.

Peneliti Indef Aryo Dharma Pahla berpendapat serupa. Jika mengacu pada pengalaman Singapura, Aryo menyebut, pemerintah perlu mengawasi ketat kepatuhan perusahaan terhadap Permenkes dan meningkatkan kedisplinan warga. 

"Jika tidak didukung oleh aspek-aspek itu, lebih baik tidak usah dibuka. Karena apa? Justru memperparah risiko penularan Covid-19. Semakin banyak masyarakat yang kena, biaya pemulihan semakin besar," kata Aryo.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid