sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Awan gelap penyelenggara pemilu dan dorongan reformasi

Banyak pihak mendesak agar KPU segera melakukan evaluasi atau berbenah diri, agar nama baik lembaga tetap terjaga.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Jumat, 10 Jan 2020 13:32 WIB
Awan gelap penyelenggara pemilu dan dorongan reformasi

Awal 2020 sepertinya menjadi awan gelap bagi lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu), yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Musababnya, salah satu komisioner KPU terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK juga telah menetapkan salah satu komisioner KPU, Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan suap atas penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, ia diamankan penyidik KPK di Bandara Soekarno-Hatta, pada Rabu (8/1) siang.

Kasus ini bisa menjadi pukulan telak bagi lembaga tersebut. Pasalnya integritas KPU sebagai lembaga yang cukup komit menyuarakan kontestasi yang jujur dan adil (jurdil), serta tegas melarang eks napi koruptor maju dalam kontestasi menjadi ternoda dengan kasus ini. Wahyu telah melakukan praktik yang tidak sejalan dengan semangat KPU, dalam konteks antikorupsi yang kerap didengungkan Arief Budiman dan kawan-kawan.

Hujan kritikan dan peringatan pun datang pasca-KPU kebobolan atas apa yang dilakukan oleh salah satu komisionernya itu. Banyak pihak mendesak agar KPU segera melakukan evaluasi atau berbenah diri, agar nama baik lembaga tetap terjaga.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno mengatakan, kasus Wahyu akan berdampak sangat signifikan kepada persepsi publik kepada KPU. Ia memprediksi, akan banyak masyarakat yang tidak mempercayai KPU kembali jika mereka tidak segera melakukan pembenahan.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPU sudah terlihat pada Pemilu 2019. Saat itu banyak yang menduga, KPU telah berlaku curang, berpihak, dan kerap bermain mata dengan urusan politik electoral.

“OTT yang menjaring Wahyu ini akan menambah keyakinan publik, ini hanya peristiwa gunungan es yang sedang meleleh. Artinya kasus ini akan menebalkan keyakinan publik, bahwa sebenarnya penyelenggara pemilu kerap main mata soal politik electoral,” kata Adi kepada Alinea.id, Jumat (10/1).

Narasi netralitas KPU yang selalu didengungkan jelang kontestasi politik, terbantahkan dengan adanya kasus ini. Faktanya, prediksi publik yang saat itu dianggap omong kosong bisa tercermin dari kasus Wahyu.

Apalagi Adi yakin masih ada oknum di KPU yang memiliki perilaku seperti Wahyu. Potensi main mata memang amat besar bagi penyelenggara pemilu. Apalagi mereka yang berada di daerah. Hanya saja, kebenaran itu belum banyak terungkap.

“Potensi main mata memang besar sekali bagi penyelenggara pemilu. Kita mungkin sering mendengar, tuduhan, obrolan masyarakat, bahwa begitu banyak penyelenggara pemilu yang sebenarnya sering offside, ke luar dalam tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) sebagai penyelenggara. Cuman mereka itu tidak bisa ditangkap, dilaporkan karena bukti-bukti yang tidak kuat. Tetapi publik melihat itu secara nyata,” jelas Adi.

Oleh karena itu, ia berharap kasus yang menimpa Wahyu dapat membuat jera berbagai penyelenggara pemilu yang nakal di berbagai daerah. Seberapa pun kepintaran mereka bermain mata, pasti akan apes juga.

Dosen politik UIN Syarif Hdiayatullah ini juga pesimistis KPU akan membaik. Netralitas dan integritas komisioner KPU wajib dipertanyakan terus karena mekanisme perekrutannya masih bersinggungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Memang ini bagian keseluruhan dari cacatnya sistem politik kita juga. Selama komisioner KPU dan Bawaslu dipilih oleh politisi di Komisi II DPR, selama itu juga akan terjadi negosiasi dan lobi-lobi terhadap kepentingan politik di negara ini dengan partai yang sedang kuat,” tegas Adi.

Jika sistem ini tidak bisa diubah, pemerintah wajib turun tangan dalam memilih tim panitia seleksi (pansel) yang benar-benar profesional. Tidak terafiliasi dengan organisasi masyarakat apapun, apalagi dengan partai politik.

Reformasi perekrutan

Wahyu bukan satu-satunya komisioner KPU yang pernah terjerembab dalam lubang korupsi. Setidaknya ada beberapa nama yang pernah melakukan hal serupa. Seperti bekas Ketua KPU periode 2001-2005 Nazaruddin Syamsudin, Wakil Ketua KPU periode 2001-2007 Mulyana Wira Kusumah, Komisioner KPU periode 2001-2007 Daan Dimara, dan Komisioner KPU periode 2001-2005 Rusadi Kantaprawira.

Bukan hanya di pusat, komisioner di level daerah juga pernah mendapatkan sanksi hukum jauh lebih banyak. Rata-rata komisioner KPU tingkat daerah terseret kasus pengadaan barang dan uang pelicin.

Hal ini membuat mantan tim panitia seleksi (pansel) komisioner KPU, Siti Zuhroh mendesak adanya reformasi mekanisme perekrutan komisioner. Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mengatakan, idealnya mereka yang menjadi komisioner wajib dipastikan integritasnya. Pasalnya penyelenggara pemilu, tidak dinafikan akan berhadap-hadapan langsung dengan politik praktis.

Ketika seseorang bersinggungan langsung dengan politik praktis, mereka akan saling tarik menarik dengan kekuasaan. KPU pasti banyak digoda dengan kepentingan-kepentingan kelompok politik.

"Harus lulus integritasnya. Bagaimana mengukur integritas itu? Antara lain melalui life history-nya. Jadi dilacak semua CV atau biodata. Apa saja yang telah dilakukan selama ini. Di-tracking kalau sudah kejaring dalam pilihan pansel. What-whoes orang ini sebenarnya?" Kata Siti.

Namun sebelum hendak memimpikan komisioner berintegritas, harusnya pemerintah juga mengedepankan asas profesionalitas dalam menentukan tim pansel. Bagaimanapun mereka yang akan menjaring calon komisioner di KPU.

Menurut Siti, dalam memilih tim pansel, pemerintah masih memilih banyak orang yang mewakili kelompok tertentu. Siti melihat hal ini melahirkan penyeleksian komisioner kurang sehat.

"Solah-olah harus mempertimbangkan latar belakang anggota pansel, khususnya yang terkait dengan latar belakang organisasi mereka. Padahal itu tidak boleh. Haram hukumnya pansel terafiliasi organisasi yang dekat dengan partai politik (parpol)," tegas Siti.

Pansel harus mewakili profesionalitas dan independensi, bukan golongan tertentu. Siti mengatakan, hal ini yang perlu menjadi perhatian dengan seksama oleh yang berwenang.

"Timsel ini harus betul-betul orang yang istilahnya selesai dengan hidup. Integritasnya itu tidak usah dikhawatirkan lagi. Ketika memilih orang harus memiliki pertimbangan yang matang betul," sambung dia.

Move on

Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maualana, menyatakan, pihaknya prihatin atas apa yang telah terjadi pada komisioner KPU. Namun Ihsan menegaskan proses penegakan hukum yang terjadi harus tetap berjalan.

Jika perlu KPK melakukan pengembangan kasus yang terjadi. Hak ini dilakukan guna melihat apakah ada pihak lain yang ikut bermain dalam perkara tersebut.

"Ini untuk memastikan integritas penyelenggara pemilu. KPU benar-benar terjamin dan memberikan kepercayaan kepada publik," papar Ihsan.

Selain itu, dalam konteks penyelenggaraan, kasus ini juga harus dilihat sampai pada kode etik penyelenggara pemilu, khususnya bagi KPU. Adakah potensi pelanggaran etik yang terjadi.

KPU perlu mengambil langkah strategis demi menjaga moralitas penyelenggara pemilu itu sendiri. Jika Wahyu terbukti melakukan pelanggaran etik, perlu ada dorongan untuk DKPP agar memproses permasalahan ini.

Langkah tersebut bukan hanya untuk melakukan pemberhentian kepada anggota KPU yang terbukti bersalah, tetapi juga untuk memastikan penyelenggara pemilu berintegritas. Jika terbukti ada pelanggaran secara etik, tidak mengganggu proses dan tahapan pilkada. Proses pergantian terhadap anggota KPU mesti dilakukan segera.

"Kondisi ini hendaknya tidak menyurutkan langkah penyelenggara dalam melakukan tahapan dan proses pelaksanaan Pilkada 2020.

Penyelenggara, khususnya KPU perlu melakukan konsolidasi terhadap penyelenggara pemilu lain, baik ditingkat pusat dan daerah agar penyelenggaraan Pilkada 2020 dapat berjalan dengan baik, dan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR Fraksi Gerindra, Kamrussamad menegaskan, akan melakukan reformasi sistem perekrutan komisioner KPU. DPR akan melakukan evaluasi dalam menetapkan komisioner KPU.

"Kita akan evaluasi kriteria calon komisioner dalam rekruitmen ke depan dengan mempertimbangkan standar moral dalam penentuan calon komisioner," ujar dia.

Bagi Kamrussamad, OTT terhadap komisioner KPU ini sangat mencoreng dunia demokrasi kepemiluan Indonesia. Kejadian ini telah menunjukkan, bahwa politik uang bukan hanya terjadi dalam pileg dan pilkada. Akan tetapi juga dalam pelaksanaan kebijakan kepemiluan.

Oleh sebab itu, KPU harus berbenah diri. Kamrussamad tidak ingin KPU larut dalam pusaran awan gelap, dan segera move on untuk fokus menyiapkan pilkada serentak.

Berita Lainnya
×
tekid