sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Baiq Nuril berterima kasih kepada Presiden Jokowi

Korban pelecehan seksual sekaligus terpidana kasus ITE, Baiq Nuril Maknun menyampaikan rasa terimakasih kepada Presiden Jokowi.

Sukirno
Sukirno Selasa, 20 Nov 2018 20:01 WIB
Baiq Nuril berterima kasih kepada Presiden Jokowi

Korban pelecehan seksual sekaligus terpidana kasus ITE, Baiq Nuril Maknun menyampaikan rasa terimakasih atas perhatian dan kepedulian yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baiq menyampaikan hal itu seiring ditundanya eksekusi kepada dirinya. Bahkan, Jokowi meminta Nuril mengajukan grasi agar presiden bisa memasuki ranah hukum untuk membantunya.

"Saya menyampaikan rasa terimakasih pada Presiden yang sudah mendukung saya untuk mencari keadilan," kata Nuril di Mataram, Selasa (20/11).

Baiq Nuril didampingi kuasa hukumnya, Joko Dumadi dan Hendro Purba menyampaikan itu dalam jumpa pers di gedung Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram). Hadir bersama Nuril, Anggota DPR RI dari PDIP, Rieke Diah Pitaloka.

Nuril mengatakan, berita tentang penundaan eksekusi dirinya yang dikeluarkan Kejaksaan Agung, merupakan bentuk dukungan moril dari Presiden Jokowi dan banyak masyarakat Indonesia yang sudah peduli pada dirinya.

"Saya tidak bayangkan, tanpa dukungan semua pihak, pasti saya akan sulit mendapatkan keadilan yang sebenarnya," ucapnya.

Kuasa Hukum Nuril, Hendro Purba mengatakan, penundaan eksekusi Nuril sudah diketahui dari berita di media massa.

Untuk memastikan itu, pihaknya akan datang ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram pada Rabu (21/11).

Sponsored

"Soal penundaan eksekusi kan kita baru lihat dan dengar dari berita. Besok (Rabu) kita akan ke Kejari Mataram untuk memastikan," katanya.

Kedatangan ke Kejari Mataram juga dalam rangka memenuhi surat panggilan untuk Nuril yang sebelumnya dilayangkan oleh Kejari Mataram.

"Besok kita minta ada surat tertulis dari Kejari Mataram untuk penundaan eksekusi ini, agar ada kekuatan hukum yang dipegang Nuril," katanya.

Untuk diketahui, eksekusi 6 bulan dan denda Rp500 juta untuk Nuril, ditunda hingga ada putusan Peninjauan Kembali (PK), sebagai upaya hukum luar biasa dari Nuril.

Namun, hingga saat ini tim kuasa hukum Nuril belum juga menerima salinan surat keputusan kasasi dari Mahkamah Agung.

Menurut tim kuasa hukum Nuril Joko Dumadi, hal ini membuat tim kuasa hukum belum bisa menyusun permohonan PK.

"Salinan putusan kasasi MA itu merupakan dasar landasan kami membuat PK. Tapi kami belum terima, sehingga kami minta MA bisa segera juga mengirimkan salinan putusannya," kata Joko.


Presiden Joko Widodo (Facebook).

Eksekusi ditunda

Kejaksaan Agung menunda eksekusi Baiq Nuril Maknun, guru honorer SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, korban pelecehan namun terjerat UU Informasi Transaksi Elektronik dan memberi kesempatan mengajukan permohonan Peninjaun Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

"Dengan melihat aspirasi yang berkembang di masyarakat terhadap persepsi keadilan, kita akan melakukan atau akan menunda eksekusi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Mukri, Senin (19/11).

Eksekusi yang sedianya akan dilakukan eksekutor dari kejaksaan itu, merupakan perintah dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril dengan 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara karena melanggar Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE.

Ia juga mengharapkan supaya yang bersangkutan kalau akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dipersilakan. "Kalau bisa secepatnya supaya kasus ini tidak berlarut-larut dan ada upaya hukum yang final. Peninjauan kembali adalah merupakan hak dari tedakwa," paparnya.

Ia menambahkan penundaan itu bersamaan dengan adanya surat permohonan penangguhan eksekusi dari tim penasihat hukum terdakwa.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa Nuril bersalah, artinya bukan korban pelecehan seksual. Ditegaskan, sebenarnya Baiq Nuril telah melakukan suatu tindak pidana melakukan suatu pendistribusian atau mentrasmisikan membuat dapat diaksesnya suatu berita elektronik yang berkaitan dengan kesusilaan.

"Atas dasar itu maka yang besangkutan disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram dan ditingkat pengadilan negeri yang bersangkutan diputus bebas murni," tuturnya.

Tentunya, kata dia, sesuai SOP, adanya putusan bebas itu sudah menjadi suatu keharusan dan kewajiban bagi JPU untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

"Sebagaimana diketahui pula putusan kasasi itu sudah kita terima dua atau tiga hari lalu yang menyatakan bahwa terdakwa Nuril telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat 1 UU ITE," ujarnya.

Baiq Nuril dilaporkan oleh kepala sekolah SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, bernama Muslim ke polisi atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik berisi konten asusila yang telah diputus hakim kasasi melanggar Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dan dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara.

Putusan tingkat pertama Baiq Nuril divonis bebas karena tidak terbukti melakukan pelanggaran UU ITE.

Nuril sendiri diketahui melakukan perekaman perbincangan atasannya itu untuk menghindari pelecehan yang dilakukan oleh pimpinannya.

Surat Baiq Nurul dan anak bungsunya meminta keadlian ke Presiden Joko Widodo. (twitter.com/MuhadklyAcho).

Tak patut dipidana

Terpisah, Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Riau Erdianto Effendi mengatakan, apa yang dilakukan Baiq Nuril adalah tergolong membela diri hingga yang bersangkutan tidak patut dipidana.

"Pembelaan diri dapat dibenarkan sebagai alasan pemaaf bagi Baiq Nuril, untuk mengingatkan orang lain akan bahaya yang tengah ia hadapi," kata Erdianto Effendi di Pekanbaru.

Pendapat demikian disampaikannya terkait, Baiq Nuril Maknun (36), korban pelecehan seksual yang divonis melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh MA. Nuril diputus bersalah setelah MA memenangkan kasasi jaksa atas putusan bebas Pengadilan Negeri Mataram.

Menurut Erdianto, kepentingan umum dapat diperluas tidak sebatas kepentingan umum saja, tetapi termasuk pula konteks hubungan privat yang memiliki hubungan dengan banyak orang.

Hal ini, katanya, sejalan dengan Putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011, di mana Prita Mulyasari diputus tidak terbukti melakukan tindak pidana penghinaan karena dianggap semata-mata sebagai perbuatan untuk memberikan peringatan kepada publik agar tidak merasakan apa yang menjadi komplain dari dirinya.

"Demikian pula dalam Putusan MA No. 519 K/Pid/2011, di mana MA menyatakan bahwa tindakan mengirimkan surat yang dianggap penghinaan dalam pengelolaan keuangan di suatu institusi privat tidak bisa dianggap penghinaan karena berhubungan dengan pelayanan yang lebih baik demi kepentingan publik," ucapnya.

Ia menekankan bahwa dalam perspektif moral dalam agama (Islam), penghinaan memang merupakan perbuatan dosa dan tercela seumpama memakan bangkai saudaranya, akan tetapi dikecualikan dalam keadaan tertentu seperti untuk mencegah bahaya yang disebabkan keburukan seseorang atau untuk membuktikan dalam suatu perkara.

Sementara itu, penerapan UU ITE tidak bisa dipisahkan dari pasal pokoknya dalam KUHP, begitu juga denga UU lain yang memuat sanksi pidana, ia tidak boleh keluar dari prinsip dasar hukum pidana dalam KUHP.

"Khusus dalam UU ITE, putusan MK No. 50/PUU VI/2008 bahwa tafsir pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak dapat dipisahkan dari Pasal 310 dan 311 KUHP," tuturnya.

Erdianto memandang bahwa penggunaan hukum pidana ibarat pedang bermata dua yang jika digunakan secara keliru akan menyebabkan ketidakadilan, karena itu penggunaan hukum pidana harus memperhatikan keseimbangan antara pelaku dengan korban, daad dader strafrecht.

Jagan gunakan hukum pidana jika terkesan crime by government, jangan gunakan hukum pidana apabila kerugian korban tidak jelas.

"Jadi apa yang dilakukan Baiq Nuril Maknun adalah tergolong membela diri, jadi tidak patut dipidana, bahkan pasal 310 KUHP mengecualikan penghinaan dalam hal untuk kepentingan umum dan kepentingan membela diri," ujarnya.



Sumber : Antara

Berita Lainnya
×
tekid