sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bansos Covid-19: Datanya berantakan, duitnya jadi bancakan

Kesemrawutan data jadi pangkal persoalan penyaluran bansos Covid-19 berantakan.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Minggu, 16 Agst 2020 11:10 WIB
Bansos Covid-19: Datanya berantakan, duitnya jadi bancakan

Di lorong yang menjadi satu-satunya akses masuk ke rumah kontrakannya di RT 10 RW 02, Percetakan Negara, Kecamatan Rawasari, Jakarta Pusat, Kusnadi duduk sembari termenung, Selasa (11/8) petang itu. Hanya mengenakan celana, tubuh kurusnya tampak memilukan. 

Kusnadi tengah memikirkan masa depannya yang kian suram di tengah  pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir. "Saya kerjanya serabutan. Tetapi, tawaran kerja sekarang makin susah datang," kata Kusnadi ketika berbincang dengan Alinea.id

Ia lantas mengajak Alinea.id beranjak memasuki kontrakan kecilnya. Dari sebuah lemari es tua di kontrakan itu, Kusnadi kemudian mengambil sebuah kaleng sarden berukuran kecil. 

Makanan kalengan itu merupakan salah satu item dalam paket sembako yang diterimanya sejak tiga bulan lalu. Selain dua kaleng sarden, Kusnadi juga mendapat 5 kilogram beras, 0,9 liter minyak goreng, dan 2 bungkus mi instan. 

"Belum pernah mendapat bantuan uang. Ikan kaleng rasanya tidak enak. Mi juga tidak seperti yang kita beli di warung. Kami cuma sekali makan. Setelah itu, simpan saja di lemari es. Ya, meski cuma sembako, setidaknya bisa dimakan. Kan sayang, cuma buat disimpan dan dibuang," tuturnya. 

Keluarga Kusnadi sudah setahun tinggal di lingkungan itu. Mereka sebelumnya tinggal di RT 06 RW 04 Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Meski telah melapor ke RT saat pindah, nama Kusnadi belum terdata sebagai warga penerima bansos di lingkungan barunya itu. 

"Saya cek di tempat lama, ternyata nama saya terdata di sana (Salemba Tengah). Jadi, saya dapat sembako dari tempat tinggal lama dulu itu," jelas pria yang mengaku menderita gejala diabetes itu. 

Kusnadi bukan satu-satunya warga lama yang namanya terdata sebagai penerima bantuan sembako di RT 06 RW 04 Salemba Tengah. Ada banyak yang bernasib serupa. "Ada tetangga yang sudah pindah ke Bekasi masih ada namanya di data penerima sembako," kata Kusnadi.

Sponsored

Keluhan Kusnadi "dibenarkan" temuan Ombudsman RI. Dari sekitar 1.330 laporan soal bantuan sosial (bansos) yang masuk ke Ombudsman sejak Maret hingga Juli lalu, sebanyak 22,28% mengadukan soal penyaluran yang tidak merata, terkait waktu, masyarakat yang dituju, dan wilayah sasarannya. 

Jenis aduan terbanyak lainnya terkait prosedur dan persyaratan untuk menerima bantuan yang tidak jelas (21,38%); kemudian aduan soal warga yang kondisinya darurat, tapi ternyata tidak terdaftar (20,89%);  serta keluhan warga yang terdaftar, tapi tidak menerima bantuan (18,66%).

Komisioner Ombudsman RI Ahmad Suaedy mengatakan penyaluran bansos pada mulanya bermasalah lantaran pemerintah masih menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tahun 2015 sebagai acuan. Padahal, data itu sudah kurang relevan.

"Bulan-bulan pertama memang ada kesemrawutan data, ya. Data (DTKS) 2015 itu data formal," kata Suaedy kepada Alinea.id melalui sambungan telepon di Jakarta, Selasa (11/8).

Setelah ramai-ramai dikritik, penggunaan DTKS sebagai basis data pun dievaluasi pemerintah. Pada periode Juni dan Juli, distribusi bansos disesuaikan dengan pendataan yang dilakukan RT/RW. Meski belum sepenuhnya akurat, menurut Suaedy, keluhan yang masuk ke Ombudsman mulai berkurang.

"Data RT/RW itu sebenarnya sudah benar, menurut saya, secara strategi. Hanya saja perlu benar-benar kerja RT, RW, lurah ini. Ada juga, misalnya, RT RW yang hanya ambil data dari pemilu, dari pemilih sebelumnya. Misalnya (di DKI Jakarta) dari Pilkada 2017. Itu kan enggak akurat lagi," jelas Suaedy.

Tak hanya itu, Suaedy mengatakan, distribusi bansos sesuai data RT/RW ini melahirkan masalah baru yakni penyimpangan. Petinggi RT/RW, misalnya, kerap mendahulukan keluarganya atau memotong bansos untuk biaya operasional petugas. 

"Penyimpangan-penyimpangan itu memang harus diawasi dan masyarakat harus berpartisipasi. Yang penting adalah pemerintah daerah menyediakan aduan. Dan aduan itu ditindak-lanjuti. Ini uang kan sangat besar ya, jangan sampai tidak sampai kepada sasaran juga," tutur Suaedy.

Warga berebut sembako yang dibagikan KAHMI di samping Balaikota Malang, Jawa Timur, Rabu (22/4/2020). Foto Antara/Ari Bowo Sucipto.

Pemutakhiran data belum serius dilakukan

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan penyaluran bansos kerap tidak tepat sasaran lantaran pemutakhiran data tidak dilakukan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos sejak 2015. Padahal, pemerintah daerah rajin memperbaharui data warga miskin di wilayah mereka. 

"Komisi VIII selalu mendesak kepada Kemensos untuk melakukan pemutakhiran data. Jangan sampai data lama yang dipergunakan. Kalau data lama yang dipergunakan, ya, itu sama sekali tidak tepat sasaran. Itulah yang kemudian menjadi masalah," kata Ace kepada Alinea.id, Selasa (11/8).

Kemensos sebenarnya sudah punya mekanisme pendataan bernama Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG). Model SIKS-NG ini menjadi sumber data utama bagi DTKS untuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Kartu Sembako atau bantuan pangan nontunai kepada warga. 

Namun, SIKS-NG sepenuhnya tergantung terhadap inisiatif pemda dalam memperbaharui data. Jika pemda tidak melakukan pemutakhiran, otomatis data yang ada di DTKS merupakan data lawas yang potensial mengakibatkan bansos salah sasaran. 

"Pemutakhiran data itu tergantung input atau masukan dari pemerintah daerah. Tentu pemutakhiran data ini harus melibatkan RT/RW, kepala desa, dan organisasi pilar sosial seperti Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) untuk disampaikan ke dinas sosial," ujar Ace. 

Lebih lanjut, Ace berharap Kemensos segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk pembaharuan data. Apalagi, pemerintah pusat telah menyiapkan puluhan triliun untuk beragam program bansos Covid-19 yang diperpanjang hingga 2021.

"Dengan sistem jaring pengaman sosial yang termutakhirkan melalui koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang baik, akan memperlancar sistem DTKS. Semua bantuan sosial bisa dilakukan secara digital dengan bantuan yang sifatnya cash tranfer melalui perbankan," ujar Ace. 

Total sudah sekitar Rp84 triliun digelontorkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk beragam program bansos selama masa pandemi. Sebanyak 40 juta warga diklaim telah merasakan manfaat program-program bansos tersebut. 

Pelaksana tugas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ipi Maryati membenarkan kesemrawutan data jadi pangkal persoalan buruknya penyaluran bansos. Itu setidaknya terlihat dari keluhan-keluhan masyarakat yang masuk ke aplikasi JAGA Bansos KPK. 

Dari 894 laporan yang masuk, sebanyak 369 pelapor mengeluhkan tidak menerima bansos meskipun telah terdaftar. Jenis keluhan terpopuler lainnya ialah soal bantuan tidak dibagikan petugas kepada penerima bantuan. Jumlahnya sebanyak 100 laporan. 

Laporan-laporan itu, kata Ipi, ditujukan kepada 19 pemerintah provinsi dan 224 pemerintah kabupaten/kota. "Keluhan atau laporan yang masuk ke JAGA Bansos akan diterima KPK untuk kemudian diteruskan kepada pemda atau instansi terkait," jelas dia.

Provinsi Jawa Barat tercatat paling banyak dilaporkan (197 keluhan meliputi 26 pemda), diikuti Jawa Timur (149 keluhan untuk 26 pemda), dan Jawa Tengah (78 keluhan di 29 pemda). Dari total 894 keluhan, baru 375 laporan yang telah selesai ditindaklanjuti pemda terkait.

Selain tidak tepat sasaran, Ipi mengatakan, KPK menduga bansos Covid-19 jadi bancakan. Apalagi, tim JAGA Bansos juga mendapatkan sejumlah laporan mengenai keberadaan nama-nama fiktif penerima bansos, penyunatan nominal bansos, dan bansos berkualitas buruk.

"Konflik kepentingan (lewat bansos) juga dapat terjadi khususnya menjelang masa pemilihan kepala daerah serentak 2020. Pemberi sumbangan memanfaatkan sumbangan yang diberikan untuk kepentingan politik praktis," kata Ipi. 

Pekerja mengemas paket bansos di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Foto Antara/M. Risyal Hidayat

Benahi sistem distribusi, perkuat pengawasan 

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan distribusi bansos hampir selalu bermasalah dari rezim ke rezim. Penyebabnya tak lain karena pemerintah tidak serius membenahi data masyarakat yang berhak menerima bansos. 

"Pendataannya macam-macam dan itu sumber korupsi. Ya, maklum aja kalau sekarang juga enggak diberes-beresi. Ini kan menjelang (Pemilu) 2024. Orang semua cari duit," kata Agus saat dihubungi Alinea.id, Rabu (12/8).

Supaya tidak salah sasaran, Agus mengatakan, data yang dipakai untuk menyalurkan bansos harus real time. Pasalnya, hampir setiap saat terjadi "pergerakan" warga di setiap daerah, mulai dari pindah rumah, meninggal, menikah, dan memiliki keluarga. 

"Kalau tidak real time pasti akan salah. Sampai hari ini juga pembaruan data tidak efektif. Itu kan diminta dari RT/RW, ke atas sampai ke Kemensos. Tapi, datanya enggak real dan pasti salah. Sampai kapan pun kalau data tidak beres, enggak bisa," kata dia. 

Penyaluran bansos, kata Agus, seringkali berpolemik lantaran manipulasi data oleh oknum masih marak. Di sisi lain, pengawasaan oleh pemerintah dan penegak hukum pun lemah. "Kalau RT/RW bagus, di kelurahannya yang main. Enggak ada yang awasi," imbuhnya. 

Infografis Alinea.id/Dwi Setiawan

Sosiolog Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, pemutakhiran data memang bukan perkara mudah. Menurut dia, kerja bareng sebagaimana diupayakan dalam terbitnya surat keputusan bersama (SKB) pemutakhiran data bansos Covid-19 yang dikeluarkan tiga menteri wajib dilakukan. 

"Permasalahan data itu enggak bisa ditangani sendiri oleh Kemensos. Wajar kalau Kemensos menerima keluhan seperti itu karena selama ini belum ada yang konkret untuk kerja lintas sektor dalam membenahi data," ujarnya. 

SKB pemutakhiran data bansos Covid-19 dirilis pekan lalu. Penandatangannya ialah Menteri Keuangan, Menteri Sosial, dan Menteri Dalam Negeri. Anggaran triliunan rupiah disiapkan untuk merealisasikan SKB tersebut. 

Lebih jauh, Rissalwan menyarankan agar distribusi dilakukan dengan sistem transfer untuk mencegah penyelewengan. "Ya, ini kan rentan sekali. Sama kayak zaman raskin (beras miskin) dulu. Berasnya diubah, dikurangi. Belum lagi dikendarai politik lokal, tempel striker kebutuhan pilkada. Jadi, lebih baik sistem transfer. Faktanya kan, PKH, BLT itu kan semua transfer," tutur dia. 

Pemerintah juga bisa menggandeng perusahaan teknologi finansial atau fintech yang punya teknologi biometrik. Dengan berbekal data unik semisal pola wajah dan sidik jari, seseorang sudah bisa membawa pulang bansos dari pemerintah. 

Penggunaan data biometrik, kata Rissalwan, sudah dipraktikan dalam penyaluran bansos di India. "India itu bukan negara maju lho. Kurang lebih hampir samalah dengan Indonesia. Tapi, sistem ini sudah berjalan," kata dia. 

 

Berita Lainnya
×
tekid