sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bau 'amis' bansos Covid-19: Dari Sri Mulyani hingga Anies

Bansos marak dijadikan alat kampanye terselubung oleh pemerintah daerah.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 07 Mei 2020 06:22 WIB
Bau 'amis' bansos Covid-19: Dari Sri Mulyani hingga Anies

Bantuan sosial penyanitasi tangan dari Bupati Klaten Sri Mulyani untuk masyarakat terdampak Covid-19 mendadak viral di media sosial, akhir April lalu. Dalam foto-foto yang diedarkan warganet di Twitter, wajah sang bupati terpampang pada bungkus penyanitasi tangan itu. 

Sejumlah akun Twitter menyandingkan foto stiker pada botol penyanitasi tangan itu dan foto botol itu setelah stiker dilepas. Di balik botol, ternyata ada stiker lain bertuliskan bantuan Kementerian Sosial. Tak butuh lama, anggapan Sri Mulyani menggunakan bansos untuk pencitraan pun dengan segera "disepakati" mayoritas warganet. 

Namun, Sri Mulyani menepis tudingan itu. Menurut dia, ada dua jenis bansos yang beredar di masyarakat. Yang pertama, bansos dari Kemensos. Kedua, bansos dari kantong pribadinya. Bansos dari Kemensos, kata dia, diotak-atik orang tak bertanggung jawab guna menyerangnya. 

"Hand sanitizer yang ada tempelan (bantuan) bupati itu murni pengadaan non-APBD. Jadi, dari saya sebagai Sri Mulyani dan dari teman-teman yang membantu,” ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari Kompas.id. 

 

Peristiwa serupa juga terjadi Jember, Jawa Timur. Pada karung-karung beras yang ditujukan untuk warga terdampak Covid-19, logo dan foto Bupati Faida dan Wakil Bupati Abdul Muqief Arief terpampang. Padahal, bantuan itu juga berasal dari Kemensos. 

Jika Sri Mulyani belum pasti maju lagi di pilkada, Faida telah memastikan diri bakal kembali membidik kursi Jember-1. Berpasangan dengan pengusaha Dwi Arya Nugraha Oktavianto, Faida bakal maju lewat jalur independen. 

Sponsored

Di ibu kota, Gubernur DKI Jakarta Anies punya cara berbeda untuk hadir di tengah masyarakat via bansos. Dalam jutaan paket sembako yang diedarkan kepada warga DKI, sebuah surat dari Anies terselip. Dalam surat itu, Anies mengajak warga bersama-sama menghadapi krisis Covid-19.  

Belakangan, bansos Pemprov DKI juga dipersoalkan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara. Setelah memeriksa 15 titik penyaluran, Juliari menemukan, penerima bansos Kemensos ternyata sama dengan penerima bansos Pemrov DKI. 

"Saat ratas (rapat terbatas) terdahulu, kesepakatan awalnya tidak demikian. Gubernur DKI meminta bantuan pemerintah pusat untuk meng-cover bantuan yang tidak bisa di-cover oleh DKI," kata dia dalam raker dengan Komisi VIII yang disiarkan langsung di akun Youtube DPR RI, Rabu (6/5). 

Dugaan bansos jadi alat pencitraan juga dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, bantuan bansos pemerintah pusat pada April lalu sempat tersendat karena alasan sepele. Ketika itu, bantuan ditahan lantaran tas berlabel "Bantuan Presiden RI" habis. 

Pekerja memasukkan paket bantuan sosial (bansos) yang akan disalurkan ke dalam truk di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4). /Foto Antara

Efektif tetapi tak etis

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ikrama Masloman, menilai penyematan atribut personal pada bansos untuk warga di masa pandemi melanggar etika. Bansos, kata dia, seharusnya hanya dilabeli nama instansi. 

"Pembeda itu penting supaya publik tahu ini bagian dari pemerintah pusat. Sehingga tak ada yang mengkapitalisasi atau dianggap bagian dari kebupaten atau provinsi. Dengan begitu, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten juga terangsang (untuk memberikan bantuan)," kata dia. 

Diakui Ikrama, bansos memang kerap dipolitisasi karena efektif mendongkrak citra. Ia mencontohkan program bantuan langsung tunai (BLT) pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang cukup ampuh meredam kemarahan publik akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

"Itu luar biasa. Padahal, di balik BLT itu ada kenaikan BBM. Tetapi, masyarakat enggak peduli. Yang penting dapet bantuan untuk mengurangi beban mereka. Oleh karenanya, mereka mengapresiasi (SBY)," jelas Ikrama.

Meski begitu, Ikrama menilai, tak sepatutnya para elite dibiarkan memainkan bansos untuk kepentingan politik. Ia pun sepakat penyelenggara pemilu perlu turun langsung untuk mengawasi potensi pelanggaran yang dilakukan para petahana. 

"Saya pikir yang perlu diatur. Terutama bagi bupati itu yang bakal bertarung lagi di pilkada. Ini tidak fair bagi kontestan lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama seperti bupati yang juga petahana," imbuhnya.

Khusus untuk para kepala daerah yang melancarkan pencitraan pada bansos, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Ashari mengingatkan pasal-pasal yang potensial dilanggar dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. 

Salah satunya ialah pasal 71 ayat (3). Pasal itu berbunyi, "Kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih."

Menurut Hasyim, kepala daerah bisa didiskualifikasi jika terbukti bersalah. "Kepala daerah aktif yang mencalonkan diri lagi (pejawat), bila melanggar larangan tersebut dapat dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai calon," ujar Hasyim dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id.

Jerat pasal itu, kata Hasyim, sangat tergantung pada status para petahana. Mereka bisa lepas dari jeratan jika tidak lagi mencalonkan diri di pilkada selanjutnya. "Kedudukan sebagai pejawat atau bukan ini yang akan menentukan sanksi," jelas dia.

Warga melintas di depan mural bertema pemilihan umum di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (6/5). /Foto Antara

Politisasi bansos labrak Permendagri

Pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada Satria Aji Imawan, mengatakan tata kelola bantuan sosial telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 123 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. 

Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Permendagri itu, menurut Satria, tak ada syarat harus menempelkan foto dan identitas kepala daerah dalam bantuan sosial kepada warga. Sesuai Permendagri, hanya kepala desa yang diperbolehkan menempelkan atribut personal.

"Semua harus bersumber dari lembaga. Sehingga peristiwa tersebut patut disayangkan. Oleh karenanya, ini tidak sesuai juntrungan atau tujuan. Pemasangan itu tidak juga efektif kalau tujuannya menekan kebocoran," jelas Satria saat dihubungi Alinea.id, Jumat (1/5).

Bau politisasi bansos, kata Satria, tercium lebih sangit di daerah ketimbang di tingkat nasional. Pasalnya, pilkada serentak bakal segera digelar, sedangkan Pilpres 2024 masih lama pelaksanaannya. Selain itu, Jokowi juga tidak bisa lagi mencalonkan diri.

"Kalau pusat barangkali tidak begitu karena pertarungan politiknya masih lama, yakni pada 2024. Kalau daerah, ada indikasi (kuat politisasi bansos). Karena pilkada ditunda, incumbent tidak ingin kehilangan konstituen," ucap dia. 

Namun demikian, Satria tak mau gegabah menyimpulkan bahwa semua kepala daerah mempolitisasi bansos semata-mata untuk tujuan kekuasaan. "Tapi, trennya di masa lalu sering begitu. Jadi, bansos sering dibumbui pencitraan," ucapnya.

Supaya tidak dipolitisasi sebagai alat kampanye terselubung, Satria menyarankan agar bansos dikelola secara satu pintu lewat Gugus Tugas Covid-19 yang ada di pusat dan di daerah. "Hal ini dilakukan agar tepat sasaran bansosnya," kata dia.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengkritik perilaku sejumlah kepala daerah memanfaatkan bansos Covid-19 untuk pencitraan. Menurut dia, tak sepatutnya bansos yang asalnya dari uang rakyat diklaim atas nama mereka. 

"Jelas tidak pada tempatnya melakukan pencitraan dan klaim ketika bencana datang. Semua pada dasarnya milik rakyat dan kembali pada rakyat," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (1/5).

Menurut Mardani, bansos yang pengadaannya menggunakan APBN dan APBD hanya boleh dilabeli lambang instansi daerah. Ia menyarankan sanksi keras bagi para pelanggar. "Kasihan rakyat. Ini sudah manajemennya (penanganan Covid-19) amburadul, masih juga pencitraan," ujar Mardani.

Kepada Alinea.id, anggota Komisi II DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Arif Wibowo sepakat politisasi bansos di masa pandemi perlu dilarang. Menurut dia, hanya bantuan yang berasal dari kantong pribadi yang boleh menggunakan atribut personal. 

"Harus ada ketegasan. Dilarang saja supaya adil. Ini kan bansos dari APBD. Saya rasa secara tegas dilarang saja. Kalau dari uang negara, enggak baik dan enggak etis. Kecuali bantuan yang sifatnya pribadi," kata dia. 
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid