sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Begini kata Guru Besar FKUI mengenai arti efikasi vaksin

Masyarakat masih ragu lantaran angka efikasi vaksin Covid-19 buatan Sinovac hanya mencapai angka 65,3%.

Andi Adam Faturahman
Andi Adam Faturahman Selasa, 12 Jan 2021 14:14 WIB
Begini kata Guru Besar FKUI mengenai arti efikasi vaksin

Meski Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badam POM) secara resmi telah mengeluarkan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/UEA) terhadap vaksin Covid-19 buatan Sinovac. Namun, masyarakat masih mengalami keraguan terhadap efektivitas-efek samping dari vaksin tersebut. Keraguan tersebut disinyalir lantaran angka efikasi vaksin Covid-19 buatan Sinovac hanya mencapai angka 65,3%

Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Amin Soebandrio menjelaskan, masih banyak yang salah paham dan salah tanggap mengenai efikasi vaksin. Meski efikasi vaksin yang akan digunakan pemerintah hanya memiliki nilai sebesar 65%, bukan berarti sisa 35%-nya bisa tetap tertular meski sudah divaksin.

“Sebenarnya integrasinya bukan seperti itu, karena efikasi itu diukur dari perbedaan antara kelompok yang mendapatkan vaksin dengan kelompok yang mendapatkan plasebo. Artinya disuntik tetapi tidak ada vaksinnya. Dalam uji klinik seperti itu,” terangnya dalam dialog virtual dengan tema “Virus Corona Bermutasi, Mampukah Vaksin Menangkalnya?” yang disiarkan langsung oleh channel Youtube KlikDokter, Selasa (12/1).

65% itu adalah suatu perbedaan yang muncul di kelompok plasebo dengan kelompok yang mendapatkan vaksin. Jadi, 65% itu adalah angka yang menunjukkan bahwa setelah divaksinasi akan muncul kemungkinan untuk meniadakan atau kebal terhadap infeksi dengan persentase sebesar 65%.

“Katakanlah misalnya kita memvaksinasi 1 juta orang. Kemudian dikelompok yang divaksinasi itu hanya 50 orang terinfeksi. Sedangkan yang di kelompok lainnya yang menerima plasebo itu jumlahnya lebih banyak, sehingga perbedaannya misalnya sekitar 65%. Nah, 65% itu lah yang bisa kita harapkan kalau memberikan vaksinasi, maka akan ada sekitar 65% yang diperkirakan bisa diselamatkan. 65% dari 1 juta orang itu kan sudah cukup banyak. Kalau kita bicara 1 juta orang, berati 650.000 orang dan itu sudah cukup besar, dan itu yang bisa diselamatkan,” sambung dia.

Efikasi itu adalah hasil uji klinik dimana semuanya terkontrol, mulai dari subjek, vaksin, dan semua prosedur bisa terkendali. Lain hal-nya dengan efectiveness yang merupakan sebuah kondisi, di mana apa yang sudah didapatkan dan digunakan secara umum berada dalam situasi yang sebenarnya.

Jadi, bukan berarti nilai efikasi 65% itu akan menyebabkan 35% orang tidak terlindungi. Efikasi yang disampaikan oleh semua vaksin itu adalah data dari uji klinik dimana semuanya terkendali, dan klaim lain seperti 78%-90% itu adalah probabilitas.

“Misalnya vaksin 65% itu memiliki stabilitas suhu yang baik. Artinya di suhu 2-8 derajat dia tidak rusak dan bisa dibawa ke daerah-daerah terpencil tanpa harus menggunakan alat-alat pendingin khusus. Bila dibandingkan dengan vaksin lain yang harus disimpan di suhu -70 derajat misalnya, sekarang kita bicara di daerah terpencil. Indonesia itu luas, tidak hanya kota-kota besar. Untuk mencapai hasil, mau tidak mau, kita harus menggunakan vaksin yang stabilitas suhu lebih baik walaupun efikasinya lebih rendah. Karena tidak mungkin, kita menggunakan vaksin dengan efikasi tinggi tetapi tidak bisa dibawa ke daerah terpencil, banyak faktor yang memengaruhi,” papar dia.

Sponsored

Selain itu, Amin juga menyampaikan, dengan vaksinasi maka tubuh akan memiliki kekebalan. Mengingat vaksin akan bekerja membangkitkan produksi antibodi dan juga membangkitkan respons kekebalan seluler. Kemudian, vaksinasi juga akan memberi manfaat perlindungan diri, keluarga, sampai orang lain di lingkungan sekitar. Tak hanya itu, vaksinasi juga akan mengurangi risiko berat apabila terpapar nantinya.

“Jadi, kalaupun tetap sakit yang dirasakannya atau efeknya hanya ringan tidak sampai menjadi berat, itu manfaat vaksinasi. Dengan vaksinasi, kita harapkan orang tersebut tidak akan menularkan ke orang lain, jadi memutuskan rantai penularan itu adalah hal yang luar biasa. Dan itu menjadi dasar kenapa kita sekarang mendahulukan orang-orang yang  memang ada di front line," terang dia.

Karenanya, vakinasi untuk kondisi sekarang menjadi sesuatu hal yang paling elegan dan paling terukur untuk dilakukan.

“Jangan sampai nanti dianggap ada vaksin, terus selesai di vaksin masker dibuka atau kita jadi santai. Vaksin itu sifatnya kompleks atau complementer dengan upaya-upaya yang sedang kita lakukan dan 3M (Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak). Saya pribadi optimistis vaksin ini bisa menjadi solusi lebih penting di pandemi ini,” tandas Prof. Amin yang juga menjabat sebagai Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Dengan 70 tahun pengalaman

Sementara itu, Pakar imunisasi Elizabeth Jane Soepardi menyampaikan, Indonesia sedari tahun 50-an sudah berpengalaman dalam melakukan vaksinasi. Jadi masyarakat tidak perlu meragukan pemerintah untuk menjalankan program vaksinasi, karena sudah terbukti dari pengalamannya menyelamatkan jutaan masyarakat.

“Program vaksinasi sudah dijalankan Pemerintah Indonesia sejak lama. Tercatat program vaksinasi cacar pertama kali diselenggarakan pada 1956. Dengan pengalaman yang panjang, Indonesia sudah siap untuk mensukseskan program vaksinasi Covid-19 yang akan segera digelar,” ungkap Jane dalam keterangan tertulisnya (1/11).

Kemudian tidak boleh sembarang orang bisa menyuntik vaksin, hanya mereka yang sudah berpengalaman yang bisa memberikan atau diizinkan untuk menyuntik vaksin Covid-19 kepada masyarakat.

Karenanya mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak menghawatirkan dan meragukan kapasitas dari vaksin yang akan digunakan nantinya. Apabila memang ditemukan efek samping setelah penggunaan atau divaksinasi seperti demam atau kemerahan, itu termasuk efek samping yang aman dari vaksin.

“Itu bisa dipahami sebagai proses kerja vaksin di dalam tubuh, tubuh akan terangsang dan membentuk antibodi. Jadi, jangan takut. Selain itu pemerintah juga telah mengatur proses antisipasi-evaluasi dengan meminta pasien yang selesaidisuntik vaksin untuk menunggu sekitar 30 menit, untuk diketahui adakah efek simpang atau tidak,” kata dia.

Dikarenakan vaksinasi Covid-19 disuntikan dalam dua dosis selama kurun waktu 14 hari. Jadi ia mengingatkan agar seluruh elemen yang divaksinasi tetap mengikuti aturan yang berlaku, dengan tidak bepergian selama belum mendapatkan giliran vaksinasi dosis kedua. Jadi jangan sampai tidak lengkap, karena satu dosis itu tidak cukup.

Dirinya juga meminta kepada seluruh elemen untuk tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan meski sudah menerima vaksin.

“Walaupun sudah mendapat vaksinasi, tetap harus disiplin prokes (Memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak). Sampai tidak ada lagi penularan, dan untuk para tenaga kesehatan (nakes), saya minta harus bisa memberikan contoh yang baik dengan disiplin menjalankan 3M,” pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid