sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Belajar mendamaikan Papua dari Gus Dur

Gus Dur dinilai sukses memadamkan api konflik di Papua pada periode 1999-2000.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Jumat, 23 Agst 2019 20:47 WIB
Belajar mendamaikan Papua dari Gus Dur

Pemerintah perlu belajar dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam mengatasi konflik Papua. Menurut anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy, saat berkuasa, Gus Dur berhasil meredam konflik yang terjadi di Bumi Cenderawasih pada periode 1999-2000.

"Melihat tahun 1999 Desember sampai tahun 2000 itu tidak ada penembakan di bawah (kepemimpinan) Gus Dur," tutur Ahmad dalam konferensi pers tentang Papua di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Jumat (23/8). 

Menurut Ahmad, Gus Dur menempuh jalur dialog saat berupaya memadamkan api konflik di Papua. Gus Dur bahkan memperbolehkan masyarakat Papua mendiskusikan kemerdekaan dan mengibarkan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) di tanah Papua.

Gus Dur, kata Ahmad, ketika itu menganggap bendera OPM hanya sebagai bendera budaya saja. Yang terpenting, lanjut dia, masyarakat Papua tidak mendeklarasikan untuk memisahkan diri dengan Indonesia. 

"Kemudian dirumuskan dalam satu tahun lebih itu dan hasilnya adalah Undang-undang Otonomi Khusus (Papua) tahun 2001. Dan, saat ini (Undang-undang) Otsus tidak dilaksanakan. Itu salah satu sebab kenapa Papua seperti ini," tutur Ahmad. 

Senada, agamawan Benny Susetyo mengatakan Gus Dur bisa menyapa masyarakat Papua dengan hati saat memimpin. "Gus Dur menjadikan Papua surga kecil di kelopak mata yang membuat bulu roma merinding karena masyarakat Papua merasa dihargai," tuturnya. 

Beny, selaku anggota Konferensi Gereja Pasifik dan Dewan Gereja Papua Nugini, menyerukan agar kekerasan di Papua dihentikan. "Lakukan pendekatan dari bawah. Lakukan dengan dialog. Pemerintah (Presiden Joko Widodo) bisa belajar dari Gus Dur," kata dia. 

Keberanian Gus Dur membuka ruang dialog juga diamini cendekiawan Katolik Franz Magnis Suseno. "Kita lihat pendekatan Gus Dur, yang rileks saja. Kalau bendera Papua dinaikkan, ya, anggap saja bendera lokal yang dinaikkan. Tidak apa semacam itu pendekatanya," kata Romo Magnis. 

Sponsored

Menurut dia, pemerintah saat ini terlalu reaksioner dalam menghadapi rakyat yang menyatakan pendapatnya. "Setiap kali ada demonstrasi atau ada yang menaikkan suatu bendera tertentu, tidak lama kemudian ada satu orang yang hilang nyawanya," kata dia.

Masyarakat Papua, lanjut Romo Magnis, harus dirangkul dan disamakan haknya seperti masyarakat Indonesia yang lain. "Nyawa mereka itu sama mahalnya dengan nyawa orang kita," tuturnya. 

Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) Mahfud MD sepakat pemerintah harus mengedepankan pendekatan persuasif dalam upaya memadamkan api konflik di Papua. 

"Kita menyerukan kepada semua pihak, kepada pemerintah, aparat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh gerakan, untuk melakukan pendekatan dialog yang konstruktif dan persuasif," ujar Mahfud. 

Papua di mata istri Gus Dur

Istri Gus Dur, Shinta Nuriyah Wahid menyayangkan kerusuhan yang terjadi di Papua belakangan ini. Ia juga mengecam kasus-kasus diskriminasi dan rasialisme yang menimpa warga Papua di sejumlah kota di Jawa. 

"Terjadinya insiden yang melukai perasaan warga Papua, getaranya terasa dalam batin kami. Saya bisa rasakan apa yang dirasakan masyarakat Papua. Kesedihan yang dialami warga Papua adalah kesedihan kami juga," tuturnya. 

Menurut Shinta, pelecehan terhadap warga Papua pada dasarnya sama dengan pelecehan terhadap harta dan martabat bangsa Indonesia. 

"Saya masih ingat amanat Gus Dur yang menyatakan bahwa warga Papua adalah bagian dari bangsa Indonesia yang harus kita lakukan setara dengan warga bangsa lainnya. Enggak ada alasan sedikit pun bagi bangsa ini untuk membedakan mereka apalagi mempersekusi dan melecehkannya," tuturnya. 

Berita Lainnya
×
tekid