sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Biang keladi intoleransi di sekolah

Kasus intoleransi di sekolah seakan berulang terjadi. Apa penyebabnya?

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 05 Feb 2021 06:04 WIB
Biang keladi intoleransi di sekolah

Beberapa waktu lalu, kasus intoleransi terjadi di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Seorang siswi nonmuslim berinisial JCH menolak mengenakan jilbab yang diminta pihak sekolah. Kepala SMK Negeri 2 Padang, Rusmadi mengklaim, di sekolahnya ada 46 siswi nonmuslim yang mengenakan jilbab, kecuali JCH.

Rusmadi sudah meminta maaf. Namun, kasus ini menjadi polemik. Pemerintah pusat pun merespons.

Pada Rabu (3/2), terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Agama (Menag) alias SKB Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah Negeri Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

SKB tersebut mencakup enam keputusan utama. Salah satu poinnya adalah keharusan bagi pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk mencabut aturan soal kewajiban maupun larangan penggunaan seragam atau atribut keagamaan di lingkungan sekolah negeri.

Sudah lama terjadi

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan menyebut, kasus intoleransi di SMK Negeri 2 Padang hanya fenomena puncak gunung es. Merujuk data Setara Institute, sejak 2012 hingga 2019 terjadi 41 tindakan intoleran terhadap pelajar. Paling banyak terjadi pada 2019, yakni 17 kasus. Kebanyakan kasus diskriminasi.

Menurutnya, intoleransi di sekolah di Padang sudah terjadi bertahun-tahun. “Regulasi ini sudah ada sejak 15 tahun yang lalu,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (1/2).

Regulasi yang dimaksud Halili adalah Instruksi Wali Kota Padang No. 451/442/BINSOS-iii/2005, yang dikeluarkan Wali Kota Padang Fauzi Bahar pada 2005. Fauzi menjabat Wali Kota Padang selama dua periode, 2004-2014. Instruksi tersebut terkait kewajiban siswi muslimah mengenakan jilbab.

Sponsored

Kasus semacam itu juga terjadi di Gunungkidul, Yogyakarta pada 2019. Saat itu, terbit surat edaran di SD Karangtengah 3, yang mewajibkan siswa baru mengenakan seragam muslim.

Lalu, pada 2013 di Samarinda, Kalimantan Timur juga terjadi hal serupa. Di sana ditetapkan peraturan daerah baca tulis Alquran untuk siswa muslim tingkat SD hingga SMA/SMK, dengan dalih untuk kesehatan rohani.

"Perda itu salah satu bentuk diskriminasi dalam bentuk favoritisme, yakni daerah mengistimewakan agama tertentu," ujarnya.

Ia mengungkapkan, di banyak tempat terdapat serangkaian aturan pendidikan tingkat lokal yang bermuatan intoleransi dan melahirkan diskriminasi. Aturan itu, ujar Halili, sengaja dibuat untuk menyudutkan siswa yang berlatarbelakang berbeda.

"Diskriminasi itu kadang sering terjadi secara halus. Sehingga orang berada dalam situasi terintimidasi secara psikologis,” kata dia.

“Bayangkan bila 99 orang menggunakan atribut tertentu dan kemudian yang satu tidak, itu kan bisa terintimidasi secara psikologis.”

Dihubungi terpisah, Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Praptono mengungkapkan, pihaknya sudah berupaya menekan terjadinya praktik intoleran di lingkungan pendidikan, dengan memasukkan aspek indikator toleransi dalam rekrutmen calon guru penggerak dan calon kepala sekolah.

“Kami sadar ada kasus intoleransi yang terus terjadi di sekolah. Sehingga, sejak program guru penggerak dijalankan tahun lalu, kami memasukkan aspek toleransi dalam rekrutmen,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (3/2).

Meski begitu, ia berujar, semua sangat tergantung dari komitmen pemerintah daerah dalam menerapkan nilai-nilai toleransi di sekolah. Karena domain pelaksanaan ada di tangan pemerintah daerah.

“Sesuai kewenangan otonomi, maka dinas pendidikan provinsi yang melakukan. Kalau pusat pada wilayah norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK),” katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, Kemendikbud sudah menyusun NSPK kebijakan pendidikan yang lebih fokus pada terbentuknya pendidikan yang toleran. Maka peraturan di daerah harus mengikuti ketentuan NSPK yang dibuat Kemendikbud.

 Sejumlah siswa non muslim melaksanakan doa bersama di Masjid SMPN 1 Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (18/3/2019)./Foto Antara/Oky Lukmansyah.

"Seluruh kebijakan Kemendikbud dilaksanakan untuk mewujudkan pelajar Pancasila, sehingga peraturan, pedoman, program pasti mengarah pada enam profil pelajar Pancasila, yakni mandiri, kreatif, bernalar kritis, berkebhinekaan global, gotong royong, dan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa," ucapnya.

Namun, Praptono mengakui, ia belum bisa memastikan apakah pedoman itu berjalan dengan baik di setiap daerah. Pelaksanaannya, kata dia, sangat tergantung pada komitmen daerah dalam menerapkan sistem pendidikan yang toleran.

Anggota Komisi X DPR dari fraksi PKS Abdul Fikri Faqih menilai, pemerintah jangan gegabah melihat intoleransi di tingkat lokal sebagai mudarat dari kearifan lokal. Menurutnya, ada banyak potret pendidikan yang berjalan baik lantaran dilandasi nilai-nilai lokal.

"Karenanya harus jelas apa yang dianggap intoleran," ujarnya saat dihubungi, Senin (1/2).

Sementara anggota Komisi X DPR dari fraksi Golkar Hetifah Sjaifudian mengatakan, kasus intoleran dan diskriminasi di lingkungan pendidikan harus segera diatasi. Terutama di daerah yang sifatnya masif dan berulang. Menurutnya, guru harus mulai sadar, mendidik tak cukup hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan.

“Untuk menekan intoleransi di sekolah, perlu kecakapan dalam mengelola keberagaman,” ujarnya saat dihubungi, Senin (1/2).

“Sebab, sebagus apa pun kurikulum yang dibuat, jika gurunya tak punya mindset yang sama, akan sulit.”

Oleh karenanya, kata Hetifah, pihaknya terus mendorong agar program terkait perbaikan manajemen guru, mulai dari perekrutan, pendidikan, dan pelatihan benar-benar menjadi fokus pemerintah.

Hetifah menilai, karakter masih dianggap kurang penting menjadi indikator pendidikan. Akibatnya, ada pendidik yang bermental intoleran. Jika ada kasus intoleransi di tingkat lokal, Hetifah meminta pemerintah pusat harus jeli melihat persoalan agar tak buru-buru menuduh kearifan lokal sebagai biang keladi intoleransi di sekolah.

"Sebab ada hal-hal yang memang merupakan kearifan lokal dan itu adalah wewenang pemda, namun tentu saja tidak bisa melanggar peraturan yang ada di atasnya," ujarnya.

Mengapa intoleransi terus terjadi?

Halili mengatakan, kurangnya kapasitas pendidik dalam mengenal tata kelola keberagaman di sekolah merupakan salah satu penyebab intoleransi eksis di institusi pendidikan. Di samping itu, ia memandang, pejabat daerah secara egois menafsirkan orientasi pendidikan, tanpa menimbang nilai-nilai universal. Hal itu menyebabkan terjadinya pemaksaan, yang menjurus ke tindakan diskriminatif.

"Dengan kata lain, mereka ingin menjadikan referensi keagamaannya untuk dipaksakan sebagai nilai yang harus dipegang peserta didik," ujar Halili.

Ia menilai, banyak daerah yang menjadikan kearifan lokal sebagai alasan pembuatan aturan yang intoleran. Akibatnya, aturan yang dibuat hanya mengakomodir kalangan mayoritas.

"Masyarakat kita jelas heterogen, tatkala pendidikan itu gagal memaknai tafsir yang pas atas kebhinekaan yang menjadi fakta objektif, ya itu jelas persoalan serius," kata Halili.

 Siswa SDN 145 Inpres Pampangan melakukan senam kreasi saat mencanangkan program Sekolah Ramah Anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (5/2/2020)./Foto Antara/Abriawan Abhe.

Peneliti senior di The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar memandang, ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab suburnya sikap intoleran di sekolah. Pertama, regulasi yang diskriminatif.

“Misalnya, berjilbab bagi orang di luar Islam itu kan tidak wajib. Tapi karena dikaitkan dengan konteks lokal dan religius, kemudian seperti diwajibkan. Padahal, menurut regulasinya tidak wajib,” kata dia saat dihubungi, Senin (1/2).

Pemaksaan lewat peraturan pun terjadi di beberapa daerah yang mayoritas nonmuslim. Kedua, penafsiran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang terlalu sempit. Ia mengatakan, UU Sisdiknas digiring ke nilai agama tertentu yang menjadi mayoritas.

“UU Sisdiknas itu kan mengatakan tujuan dari pendidikan nasional untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa. Tapi yang namanya beriman dan bertakwa itu diterjemahkan ke dalam satu agama atau keyakinan tertentu,” ucapnya.

Ketiga, persoalan konservatif agama. Pandangan itu, menurut Alamsyah, membuat pendidik kurang peduli terhadap siswa yang berasal dari agama minoritas.

"Misalnya, kami agama yang mayoritas lebih benar dari yang lain. Ini tidak hanya terjadi di kalangan siswa, tapi juga guru," ujarnya.

Sikap intoleran itu, kata Alamsyah, diperparah dengan pemangku kepentingan di daerah yang melakukan pembiaran.

Pengamat pendidikan dari Komnas Pendidikan Andreas Tambah sepakat bila aturan daerah seringkali jadi biang keladi munculnya perilaku intoleran di sekolah. Ia pun setuju UU Sisdiknas di beberapa daerah ditafsirkan sesuai keimanan warga mayoritas.

"Padahal UU Sisdiknas itu bernapas demokratis atau tidak ada pemaksaan. Tapi yang sering terjadi adalah praktik pemaksaan," ucapnya saat dihubungi, Selasa (2/2).

Andreas menduga, penyimpangan terjadi karena kepala daerah melakukan kontrak politik dengan kelompok mayoritas yang antikeberagaman. Lantas, kondisi ini membuat adanya penekanan ke jajaran institusi pendidikan di tingkat bawah.

"Akhirnya muncul peraturan yang kurang fair. Tapi bila itu tidak diikuti, bisa dianggap pembangkangan," kata Andreas.

Menurut Alamsyah, permasalahan intoleransi di sekolah perlu ditangani dengan pendampingan komprehensif yang tak hanya bertumpu pada pemberian sanksi. Alamsyah berpendapat, memberikan pendampingan kepada sekolah dan pemerintah daerah agar bersikap toleran lebih solutif ketimbang menjatuhkan sanksi.

Sedangkan Andreas memandang, pemerintah pusat perlu tegas dengan segala aturan pendidikan di daerah yang menyimpang dari UU Sisdiknas atau justru yang terang-terangan memupuk intoleransi.

"Peraturan itu harus linear dengan undang-undang di atasnya. Kalau tidak linear, itu bukti ada penyimpangan dan harus ada sebuah tindakan atau teguran keras," ujarnya.

Selain itu, ia menyarankan pemerintah pusat tidak cuma duduk manis mengawasi guru dengan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Sikap demikian, ujar Andreas, hanya akan memberikan peluang kelompok radikal menyemai paham mereka di sekolah.

Infografik intoleransi di sekolah. Alinea.id/Bagus Priyo.

"Harus ada screening untuk pendidik di sekolah dan harus diwaspadai oleh pemerintah karena ini ranah pendidikan," ucapnya.

Andreas menambahkan, bila intoleransi di sekolah tak ditangani bisa menimbulkan efek buruk bagi siswa, yakni memupuk rasa kebencian. Sikap intoleran yang dilakukan pendidik, kata Andreas, bisa pula mendorong siswa untuk bersikap intoleran, bahkan bisa lebih buruk dari yang dilakukan gurunya di sekolah.

"Kalau didengungkan terus, maka muncul kebencian. Akhirnya, jadi turun ke bawah sampai ke siswa dan ini bisa meracuni lingkungan siswa," kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid