sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BMKG: Tak jarang bencana akhir pekan, tetapi BPDB libur

Idealnya BPBD beroperasi full selama 7 hari 24 jam, sesuai amanah Perpres No. 93 Tahun 2019.

Zulfikar Hardiansyah
Zulfikar Hardiansyah Senin, 20 Sep 2021 15:58 WIB
BMKG: Tak jarang bencana akhir pekan, tetapi BPDB libur

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG mengakui, peringatan dini gempa dan tsunami belum efektif. Akibatnya, korban masih terus berjatuhan. Padahal, korban seharusnya bisa ditekan.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, salah satu kendala yang ditemukan di lapangan adalah operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD kabupaten/kota yang belum semua 24 jam, 7 hari. Akibatnya, pesan peringatan dini yang dikirim BMKG ke BPBD tidak tersebar luas dan masif ke masyarakat. Korban pun jatuh.

"Tidak jarang kejadian bencana alam di luar jam kerja kantor. Habis Magrib, dini hari atau saat akhir pekan. Idealnya BPBD beroperasi full selama 7 hari 24 jam, sesuai amanah Perpres No. 93 Tahun 2019 agar pesan peringatan dini BMKG tidak terputus di tengah jalan," terang Dwikorita, disitat dari portal BMKG, Senin (20/9).

Perpres No.93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS) memberi amanah bahwa sistem peringatan dini harus dioperasikan lewat kolaborasi holistik dan terintegrasi, terus menerus, berkelanjutan, dan dilakukan oleh berbagai pihak/lembaga dari pusat hingga daerah.

Mantan Rektor UGM Yogyakarta ini menjelaskan, sistem peringatan dini terdiri dari bagian hulu dan hilir. Di hulu dikoordinasikan BMKG, dan fokus pada hal teknis untuk menangani monitoring dan prosesing data, analisis/modeling dan diseminasi informasi ke BNPB, TNI, Polri dan media, serta ke pemda atau BPBD.

Di hilir, kata dia, dikoordinasikan oleh BNPB dengan fokus meneruskan informasi ke BPBD atau Pusdalops. Seketika itu juga oleh BPBD disebarkan/diamplifikasi ke warga yang terdampak di hilir.

BMKG, kata Dwikorita, hanya bertugas menyampaikan data dan informasi kepada pemda atau BPBD dan para pihak terkait. Itu amanah undang-undang. Sementara diseminasi dan amplifikasi informasi dari pemda atau BPBD ke masyarakat merupakan kewenangan daerah.

"Untuk memastikan informasi BMKG benar-benar diterima BPBD yang kemudian diteruskan ke masyarakat, kami perlu sinergi dan koneksitas dengan pemda (yaitu pimpinan daerah, BPBD dan kamtibmas di daerah) secara rutin dan intensif lewat stasiun-stasiun/kantor BMKG di daerah," kata Dwikorita.

Sponsored

Dwikorita mengatakan, di tengah fenomena cuaca, iklim, dan gempa tektonik yang semakin dinamis, kompleks, tidak pasti, dan kian ekstrem seperti sekarang ini, pemda diminta lebih siap dan sigap memperkuat mitigasi bencana. 

BMKG sendiri, kata dia, terus meng-upgrade sistem peringatan dini agar manajemen kebencanaan mulai dari pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, dan pemulihan yang ditangani banyak pihak/instansi di bawah koordinasi BNPB dapat berjalan dengan baik dan sinergis.

Hambatan lain, jelas Dwikorita, sistem komunikasi yang mendukung penyebarluasan informasi yang masih cukup rentan dan sangat mahal. Ia menyontohkan saat terjadi gempa bumi di Palu 2018. Saat itu sistem komunikasi lumpuh total akibat robohnya BTS karena gempa.

Akibatnya, informasi peringatan dini tidak dapat tersebar ke warga di daerah terdampak. Data monitoring muka laut di daerah terdampak tidak dapat terkirim atau terbaca. Padahal, data itu amat diperlukan dalam monitoring dan verifikasi/konfirmasi peringatan dini.

Sebetulnya, penyebaran informasi dari BMKG ke pemda telah di-back-up jaringan komunikasi satelit. Namun, kata Dwikorita, cara itu memakan biaya yang cukup mahal karena masih terkena tarif komersil. Idealnya ada sistem satelit khusus untuk mitigasi bencana yang bebas tarif.

Kendala lain adalah banyaknya sirine peringatan dini tsunami yang mati total alias tidak berfungsi. Selain karena faktor usia, kata dia, sirine tak berfungsi karena pemda kesulitan anggaran pemeliharaan. Jumlah sirine ini puluhan. Usianya lebih 10 tahun.

Dwikorita menjelaskan, sirine tsunami dibangun dengan biaya mahal oleh BNPB. Piranti ini kemudian dihibahkan kepada pemda untuk dioperasikan dan dipelihara. BMKG sendiri telah memasang 52 sirine sepanjang 2008 - 2015. Dari jumlah itu, 6 sirene telah dihibahkan ke Pemprov Sumbar dan 9 sirene ke Pemprov Bali.

Ketika sirine tsunami tak bisa diandalkan, kata Dwikorita, pihaknya melakukan mitigasi dengan pendekatan edukatif. Agar masyarakat mampu evakuasi mandiri tanpa tergantung sirine dengan menjadikan guncangan tanah yang dirasakan sebagai alarm peringatan dini.

"Masyarakat, utamanya di daerah pesisir pantai, harus mengevakuasi diri ke tempat lebih tinggi jika merasakan guncangan atau ayunan tanah yang terus-menerus selama bebera detik tanpa harus menunggu sirine berbunyi. Guncangan atau ayunan tanah tersebut dapat diakibatkan oleh gempa bumi atau longsor tebing pantai ke laut ataupun longsor laut," paparnya.

Selain itu, kata dia, perlu disiapkan sistem peringatan dini alternatif. Misalnya menggunakan Radio HT, aplikasi dengan mobile phone ataupun peralatan tradisional, seperti menggunakan kentongan, speaker masjid berdasarkan kearifan lokal.

"Semoga fakta ini bisa menjadi perhatian bersama, terutama pemda untuk juga turut mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih matang, guna meminimalisir dampak korban jiwa dan kerugian materil akibat gempa bumi dan tsunami," ujar Dwikorita.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid