sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Serikat buruh internasional dukung pembatalan RUU Omnibus Law Cipker

Serikat Buruh Internasional menyoroti enam permasalahan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Rabu, 11 Mar 2020 16:27 WIB
Serikat buruh internasional dukung pembatalan RUU Omnibus Law Cipker

Konfederasi Serikat Buruh Internasional-Asia Pasifik (ITUC-AP) menyatakan dukunganya kepada kelompok buruh di Indonesia untuk menghentikan usulan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cipker).

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) ITUC-AP, Shoya Yoshida, organisasi buruh internasional yang tergabung dalam 34 negara ini mengaku telah melihat segala permasalahan pada RUU Omnibus Law Cipker. Termasuk dampak negatifnya, seperti turunnya kesejahteraan kaum pekerja di Indonesia secara signifikan.

"Menyatakan dukungan penuh kepada kaum pekerja di Indonesia, khususnya kepada afiliasi ITUC-AP di Indonesia (KSPI dan KSBSI) dalam perjuangan mereka menghentikan usulan RUU Omnibus Law Cipta Kerja," kata Shoya dalam keterangannya, Rabu (11/3).

ITUC-AP menyoroti enam permasalahan dalam RUU ini:

Pertama, RUU Omnibus Law Cipker akan berisiko melemahkan upah minimum. ITUC-AP melihat ada poin tertentu yang dilai akan menghilangkan acuan upah minimum di tingkat kota/ kabupaten dan sektoral, dan hanya mengacu pada upah minimum provinsi. 

Selain itu,  kata dia, tingkat upah minimum akan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi, bukan berdasarkan dari biaya hidup sebenarnya.

Bahkan, lanjut Shoya, pengaturan upah akan menjadi hak prerogatif gubernur provinsi, yang dinilai bertentangan dengan Konvensi ILO Nomor 131 tentang Penetapan Upah Minimum, yang membutuhkan mekanisme penetapan upah minimum melalui mekanisme tripartit.

"Sanksi tegas terhadap pengusaha karena tidak mematuhi tingkat upah minimum juga akan melemah secara signifikan," urainya.

Sponsored

Kedua, sambung Shoya, ketentuan penting terkait pembayaran pesangon akan dihapus. Jika demikian adanya, Shoya menerangkan, maka akan mempermudah perekrutan dan pemecatan buruh atau pekerja bagi pengusaha, dan pada saat yang sama merampas kesejahteraan secara signifikan dari buruh atau pekerja.

"Misalnya, buruh atau pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu tidak akan lagi mendapatkan manfaat dari uang pesangon," ungkap Shoya.

Kategori buruh atau pekerja lain yang kehilangan uang pesangon adalah buruh atau pekerja yang diberhentikan sebagai bagian dari prosedur penghematan, atau buruh yang diberhentikan karena sakit berkepanjangan dan kecelakaan kerja.

Ketiga, urai Shoya, RUU Omnibus Law juga akan menghapus batasan terhadap penggunaan berlebihan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat permanen. 

Dikatakan Shoya, saat ini UU tidak mengizinkan pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan Aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama lebih dari dua tahun, untuk pekerjaan yang sifatnya permanen.

Namun demikian, ketentuan tersebut akan dihapuskan jika RUU ini disahkan. Kalau begitu, lanjut Shoya, ini akan mendorong pengusaha untuk terus-menerus mempertahankan pekerja dengan kontrak yang tidak menjamin keamanan kerja.

Keempat, RUU ini akan menghapus batasan untuk outsourcing buruh dan perlindungan skema kesehatan dan pensiun. Padahal saat ini, outsourcing hanya diperbolehkan untuk lima jenis pekerjaan yang bukan bagian dari bisnis inti perusahaan.

Diuraikan Shoya, jika perubahan yang diusulkan disahkan, maka tidak akan ada lagi hambatan bagi pengusaha untuk melakukan outsourcing di semua kegiatan usaha mereka.

Hal ini, terang dia, akan menjadikan buruh tidak memiliki keamanan kerja, seperti buruh bekerja dengan dasar per jam dan seterusnya. Akibatnya, banyak pekerja tidak akan terlindungi dari skema perlindungan asuransi kesehatan dan pensiun.

Kelima, RUU Omnibus Law akan menyebabkan risiko kesehatan dan keselamatan buruh secara signifikan. "Jam kerja maksimum yang diperbolehkan akan meningkat, yang dapat menyebabkan risiko kesehatan dan keselamatan yang signifikan," papar dia.

Terakhir, konsultasi dengan serikat buruh atau serikat pekerja akan dihapus. Padahal, jelas Shoya, perserikatan berguna meminimalkan hilangnya pekerjaan dan mengambil langkah-langkah demi mengurangi dampak buruk dari pemutusan hubungan kerja dalam hal terjadi restrukturisasi.

Atas alasan inilah ITUC-AP memandang pembatalan RUU ini sangatlah urgen.

Berita Lainnya
×
tekid