sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Darurat paham radikalisme di sekolah

Intoleransi anak di sekolah menunjukkan keengganan mengikuti upacara dan menghormati Pancasila.

Ayu mumpuni
Ayu mumpuni Sabtu, 19 Mei 2018 23:17 WIB
Darurat paham radikalisme di sekolah

Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan dan rasa toleransi. Namun rupanya, saat ini justru sekolah menjadi sarang dari tumbuhnya paham radikalisme.

Hasil riset yang dilakukan oleh Setara Institute menunjukkan 170 Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Indonesia  terindikasi paham terorisme. Hasil yang mencengangkan. Terlihat para pelajar SMA setuju dengan paham-paham radikalisme.

Misalnya saja, persentase 0,3% dari jumlah siswa disebut terindikasi dengan jaringan terorisme. Lalu, 2,4% siswa SMA terbilang intoleransi, dan 5,8% setuju kalau Pancasila diganti.

Paling mencengangkan kesetujuan para pelajar terhadap Indonesia menjadi negara khilafah dengan persentase 11,3%. Nah, sebanyak 21% disebutkan setuju ISIS sebagai kelompok teroris.

Direktur Riset Setara Halili mengaku prihatin atas temuan tersebut. Apalagi, survei menunjukkan hasil temuan tersebut mayoritas banyak berasal dari sekolah negeri.

“Selama ini anak-anak dibiarkan terpapar ideologi radikalisme,” kata Halili pada Sabtu (19/5).

Berkaca pada keterlibatan anak-anak dalam tragedi ledakan bom di Surabaya, menyadarkan adanya paham radikal yang sudah diterapkan pada anak-anak. Mantan narapidana teroris atau napiter, Yudi Zulfachri bahkan mengakui bahwa doktrin pada anak mulai menanamkan kebencian dan permusuhan.

Intoleransi pada anak di sekolah-sekolah dalam riset Setara bahkan menunjukan adanya keengganan untuk mengikuti upacara dan menghormati Pancasila. Mereka yang bersikap demikian, bahkan enggan menghadiri acara yang menghadirkan pemerintah. Sekaligus enggan pula menyanyikan lagu Indonesia Raya saat acara tersebut.

Sponsored

“Karena kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah dimasukkan ke dalam syarat keimanan, sehingga masing-masing berlomba-lomba untuk membuktikan keimanannya. Baik itu laki-laki maupun perempuan,” terang Yudi.

Mengatasi paham radikal di institusi pendidikan, Halili mengatakan, guru pun harus bersih dari paham radikalisme. Guru juga diminta untuk memiliki pandangan yang terbuka dan perspektif yang lebih luas.

 

Berita Lainnya
×
tekid