sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Data bansos buruk, pemerintah berpotensi langgar UUD 1945

Buruknya pengelolaan data menjadi pangkal mandeknya distribusi bansos.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Kamis, 23 Apr 2020 15:29 WIB
Data bansos buruk, pemerintah berpotensi langgar UUD 1945

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan, sebagian masyarakat yang berhak belum menerima bantuan sosial (bansos) di tengah pandemi coronavirus baru (Covid-19). Padahal, sudah 23 hari serta Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menambah alokasi anggaran dan penerima kebijakan jaring pengaman sosial itu.

"Kami mendapatkan banyak informasi, bahwa masih banyak masyarakat yang belum menerima bantuan sembako, terutama yang masuk kategori terdampak menjadi tidak mampu atau miskin akibat Covid-19," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (23/4).

Dari Rp110 triliun yang digelontorkan pemerintah, nilai anggaran Kartu Sembako naik sebesar 30% dari Rp150.000 menjadi Rp200.000 per bulan. Penerima manfaat juga melonjak menjadi 20 juta dari 15,2 juta. Program ini akan dilaksanakan selama sembilan bulan ke depan.

Taufan mengungkapkan, banyak masyarakat yang telah terdata sebagai sasaran Kartu Sembako dan belum menerima bantuan. Karenanya, pemerintah daerah (pemda) diminta menyelesaikan masalah ini. "Gerak cepat membagi bantuan," sarannya.

Dirinya berpendapat, pengelolaan data penerima manfaat menjadi "biang keladi" mandeknya penyaluran bansos.

Sementara, pengamat kebijakan publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Satria Imawan, menambahkan, pangkal masalah data imbas multitafsirnya kewenangan pengelolaan data antara pusat dan daerah.

"Di tingkat pusat, (pengelolaan data) ini jadi kewenangan Kemensos (Kementerian Sosial) dan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Sementara di daerah, Dinsos (Dinas Sosial) dan Setda (Sekretariat Daerah). Ini menunjukkan lagi bagaimana relasi pusat-daerah yang buruk," tuturnya.

Karenanya, Kemensos dan Kemendagri disarankan segera mengoordinasi pengelolaan data dengan pemda. "Terutama implementasi. Bisa koordinasi online lewat vidcall (video call, red) agar bansos benar-benar terasa dampaknya," jelasnya.

Sponsored

Sementara, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti (Usakti), Trubus Rahardiansyah, menilai, hulu persoalan data bansos ditengarai tidak adanya proses verifikasi di lapangan. Pusat dan pemda masih berpacu pada data lama, sebelum pandemi Covid-19.

"Memang pendataannya buruk. Yang buruk itu pendataannya. Enggak diverifikasi dulu," tegasnya.

Trubus pun menganjurkan dilakukan verifikasi dan melibatkan RT/RW. Namun, langsung diproses Dinsos. Sayangnya, Pegawai Dinsos turut menerapkan kerja dari rumah dan tak diketahui, apakah melakukan pendataan atau tidak. "Kerja di rumah enggak ada yang mantau," ucapnya.

Potensi langgar UUD
Terpisah, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menegaskan, distribusi bansos wajib dilakukan pemerintah. Sebab, negara dimandatkan menjamin kesejahteraan dan hajat hidup rakyatnya, sesuai amanat UUD NRI 1945.

Direktur Eksekutif YLBHI, Asfinawati, menegaskan, pemerintah berpotensi melanggar konstitusi jika kewajiban itu tidak dilaksanakan dengan baik. "Bener sekali," katanya.

Selain konstitusi, ungkap Asfi, pemerintah melanggar Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ketentuan itu menyebutkan, masyarakat terdampak bencana berhak mendapat bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

Pasal 48 UU Nomor 24 Tahun 2007 juga menugaskan penanggulangan bencana saat tanggap darurat harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terdampak.

“Pemerintah telah menetapkan status bencana nasional. Artinya, bencana meliputi dan dialami oleh setiap orang di Indonesia. Oleh karena itu, setiap orang berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut," jelasnya.

Dalam memenuhi kebutuhan dasar warga, pemerintah harus membagi dua kelompok penerima bantuan. Alasannya, seluruh masyarakat berhak mendapatkannya.

Pertama, bantuan kelas menengah berupa fasilitas diskon hingga gratis paket data karena masyarakat butuh berkomunikasi. Anggarannya bisa diambil dari subsidi transportasi umum, mengingat publik jarang menggunakan angkutan massal di masa pandemi.

Kedua, kelas bawah atau yang kehilangan mata pencarian, seperti buruh korban pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan. Sasaran penerima kelompok ini mesti diperluas.

"Karena ada orang yang tadinya bukan di garis paling bawah kemiskinan, sekarang terlempar ke situ karena pekerjaan hariannya hilang," tutup Asfi.

Berita Lainnya
×
tekid