sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Delapan bulan pandemi RI: Tes masih rendah, puncak belum terlewati  

Gelombang pandemi Covid-19 di Indonesia belum juga mencapai puncak, tapi penanganan pemerintah terkesan sudah kendor.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 08 Nov 2020 18:15 WIB
Delapan bulan pandemi RI: Tes masih rendah, puncak belum terlewati  

Indonesia mencatatkan rekor kasus harian positif Covid-19 pada 8 Oktober silam. Ketika itu, jumlah kasus positif mencapai 4.850 kasus. Seolah telah mencapai puncak pandemi, jumlah kasus harian selama beberapa pekan setelah itu cenderung menurun. 

Pada 2 November, kasus positif Covid-19 baru bahkan tercatat hanya 2.618. Namun demikian, tren itu tak bertahan lama. Jumlah kasus positif Covid-19 meroket hanya dalam beberapa hari. Per Sabtu (10/11), tercatat ada tambahan 4.262 kasus baru. 

Meskipun ada indikasi sempat menurun, peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Nuning Nuraini tak percaya pandemi Covid-19 mulai mereda. Apalagi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tak konsisten menggelar contact tracing dan tes harian. 

"Karena faktor itu (testing dan tracing). Saya curiganya penurunan ini karena testing-nya kurang. Jadi, angkanya turun. Bulan November ini testing dan tracing itu menunjukkan penurunan," jelas Nuning saat dihubungi Alinea.id, Rabu (4/11) lalu. 

Sebelumnya, penurunan jumlah tes--baik yang menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) atau tes swab maupun tes cepat molekuler (TCM)--diungkap lembaga pemantau Covid-19 bentukan warganet, Kawal Covid-19. 

Lewat akun twitter @KawalCOVID19, lembaga itu rutin merilis angka rerata tes harian dalam kurun waktu sepekan. Dalam beberapa hari terakhir, jumlah tes selalu kurang dari 30 ribu tes. Bahkan, jumlah tes harian dalam sepekan terakhir sempat hanya mencapai 23.401 orang pada Selasa (3/11) lalu. Itu angka terendah sejak 15 September. 

"Padahal, kapasitas tes yang dibutuhkan itu sekitar seribu tes per minggu untuk satu juta penduduk. Semestinya, jumlah tesnya seperti itu untuk memenuhi kriteria WHO (World Health Organization)," ucap Nuning. 

Pada awal pandemi, Nuning dan tim peneliti ITB pernah membuat simulasi untuk memprediksi puncak pandemi di Indonesia. Ketika itu, Nuning dan kawan-kawan menaksir pandemi Covid-19 akan mencapai puncaknya pada akhir Mei atau awal Juni 2020.

Sponsored

Prediksi itu tentu saja meleset. Hingga Oktober, gelombang pertama pandemi Covid-19 yang dimulai sejak kasus perdana diumumkan Jokowi pada 2 Maret 2020 belum juga tampak reda. Menurut Nuning, prediksi itu jauh dari kenyataan lantaran pemerintah cenderung tak serius dalam menangani pandemi. 

Ia mencontohkan kembali longgarnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), diperbolehkannya mudik saat Lebaran, lemahnya pengawasan terhadap mobilitas orang saat saat libur panjang, serta kerumunan-kerumunan yang muncul berbarengan dengan beragam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.

"Testing dan tracing mestinya cepat. Ternyata kan tidak, malah berharap ada keajaiban kita (Indonesia) enggak kena (Covid-19). Ketika intervensi tidak segera dilakukan, maka kasus makin meningkat," kata Nuning. 

Nuning mengatakan, saat ini sulit untuk memprediksi secara akurat kapan puncak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Namun, berbasis data kasus pada Oktober dan awal November, ia memperkirakan pandemi Covid-19 bakal mencapai puncaknya pada April dan Mei 2021 dengan jumlah kasus harian berkisar antara 6.000-8.000 kasus.

"Kondisinya masih sangat dinamis. Bila nanti terjadi lonjakan lagi, ya, bisa berubah lagi. Prediksi yang kami keluarkan juga kami update setiap minggu karena kita tidak bisa patok lantaran datanya cukup dinamis," kata dia. 

Keakuratan prediksi puncak pandemi, lanjut Nuning, juga sangat bergantung dari kapasitas testing dan tracing yang valid. "Bagaimanapun testing dan tracing tidak boleh turun supaya kita tidak salah menyikapi bahwa ini sudah aman, tapi sebenarnya belum. Bukan testing yang diturunkan agar kasusnya turun," kata dia. 

Selain tim Nuning, prediksi puncak pandemi juga sempat dikeluarkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN), akademikus Universitas Gadjah Mada (UGM), dan sejumlah lembaga lainnya. Namun, semua prediksi awal mereka juga meleset. 

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dr Reisa Broto Asmoro memaparkan data terbaru kasus positif Covid-19. Foto Dokumentasi Covid19.go.id

Kekacauan kebijakan dan data

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia Pandu Riono menilai wajar jika prediksi para peneliti melenceng. Menurut dia, banyak kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan prediksi. 

"Banyak kegiatan yang semestinya ditunda, tapi dilakukan. Semisal waktu dulu katanya mudik dilarang ternyata tidak dilarang. Terus kemarin ada dua kali liburan panjang. Jadi, kacau statistiknya," ujar Pandu kepada Alinea.id, Kamis (5/11).

Pandu mengatakan FKM UI saat ini belum "berani" membuat prediksi kapan puncak pandemi terjadi. Menurut dia, salah satu yang menjadi kendala terbesar ialah sulitnya mendapatkan data valid. Seperti Nuning, ia curiga penurunan jumlah kasus harian terjadi lantaran menurunnya kapasitas testing.

"Problem dalam prediksi itu kan tergantung data. Nah, data ini tidak 100% lengkap. Kami mencari data valid itu setengah mati. Kalau datanya dikarang, ya, nanti hasilnya salah," ujar Pandu. 

Pembaharuan data penanganan Covid-19 pemerintah pusat memang kerap bermasalah. Kawal Covid-19, misalnya, berulang kali merilis perbedaan data total kasus, jumlah sembuh, dan angka yang meninggal antara Kemenkes dan situs pemerintah daerah. 

Persoalan lain yang menghambat prediksi ialah kapasitas testing. Menurut Pandu, data testing sulit dipakai sebagai pegangan oleh FKM UI lantaran belum sesuai standar WHO. Selain itu, tim FKM UI juga masih mengkaji efek libur panjang, pilkada dan efek libur akhir tahun terhadap perkembangan kasus harian. 

"Testing dan tracing dan isolasi masih rendah. Penduduk yang patuh 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan) juga masih belum mencapai titik yang tinggi. Sekarang itu testing-nya menurun, statistiknya kacau. Itu membuat orang mengira pandemi sudah menurun," kata dia. 

Jika berbasis data yang disajikan pemerintah saat ini, Pandu memperkirakan pandemi akan mencapai puncaknya pada awal 2021. Catatannya, tidak ada lonjakan kasus yang signifikan. "Tapi, bila tidak ada upaya serius yang dilakukan untuk menekan penularan, kami enggak tahu sampai kapan," ujarnya. 

Prediksi itu, kata Pandu, tanpa memperhitungkan variabel kehadiran vaksin. Menurut dia, vaksin belum bisa jadi jaminan untuk memutus rantai penyebaran virus. Pasalnya, belum ada vaksin yang terbukti mampu membentuk imunitas terhadap Covid-19.

"Kalau daya perlindungannya sampai 70% ke atas, itu bagus. Itu pun harus cakupannya harus tinggi, minimal 70% penduduk yang berisiko itu sudah mendapat vaksinasi dan sudah membentuk imunitas. Jadi, vaksin itu masih misteri," ucapnya.

Ketimbang mengandalkan vaksin, Pandu mendesak pemerintah untuk lebih serius mengajak masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Menurut dia, supaya penularan bisa ditekan, minimal harus ada 85% warga yang menjalankan 3M dalam keseharian mereka.

"Ini dalam kondisi semua penduduk melakukan aktivitas, semisal dia boleh berkantor, boleh pergi-pergi ke mana saja. Tapi, tetap harus protokol 3M. Nah, itu sampai saat ini belum di atas 85%. Baru sampai 60%. Jadi, belum cukup," ucap dia. 

Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo sepakat prediksi puncak pandemi kian sulit lantaran testing yang tak konsisten dan tidak memadai. Padahal, data itu krusial untuk menentukan seberapa luas penyebaran virus Covid-19.

"Sejak awal selama 3-4 bulan pertama testing sangat rendah. Idealnya semestinya 1% dari jumlah penduduk. Kita baru mencapai 1% atau lebih kurang 2.700.000 itu setelah 8 bulan pandemi berlangsung," ujar dia kepada Alinea.id, Minggu (1/11).

Menurut standar WHO, tes harian seharusnya dilakukan kepada 1.000 orang per sejuta penduduk selama sepekan. Mengacu pada jumlah populasi Indonesia sebesar 270 juta jiwa, maka per pekan harus ada 270 ribu tes Covid-19. 

"Bila dibagi 7, maka 39.000 per hari. Sedangkan kita per hari sekitar 20.000 atau 19.000. Kalau testing-nya kurang maka kita hanya bisa mendeteksi sebagian saja. Kita tidak bisa melakukan prediksi dengan baik. Data prediksi itu harus memadai. Bila tidak begitu, prediksi bakal meleset," ucapnya.

Ia pun sepakat prediksi kian sulit karena kebijakan penanganan pandemi yang dikeluarkan pemerintah pusat cenderung plintat-plintut dan serba tanggung. Padahal, sudah ada lebih dari 400 ribu orang yang terjangkit Covid-19. 

"PSBB berjalan tanggung, 3M pun berjalan tanggung karena masih banyak yang melanggar dan aktivitas nonesensial masih terus berjalan. Terbaru, adanya libur panjang yang meningkatkan mobilitas orang," kata Windhu.

Lebih jauh, Windhu meminta pemerintah tak mengabaikan tracing dan pengetesan. Menurut dia, kenaikan jumlah kasus harian berbasis tracing dan pengetesan yang valid justru merupakan hal yang baik.

"Kalau memperoleh kasus yang banyak itu bukan aib. Justru semakin banyak orang yang bisa diselamatkan dari penularan supaya angka kematian juga tidak tinggi. Kasus boleh saja tinggi, tapi angka kematian jangan," ujar dia.

Pelaksanaan rapid test Covid-19 Dinas Kesehatan Jawa Tengah. /Foto Dokumentasi Dinkes Jateng

Pemerintah tak boleh kendor 

Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito membantah pemerintah sengaja menurunkan jumlah tes pada penghujung Oktober dan awal November. Menurut dia, jumlah tes turun lantaran tenaga pengetesan dan laboratorium turut libur. 

"Karena tenaganya juga libur dan memang SDM (sumber daya manusia)-nya terbatas. Jadi, testing-nya agak sedikit menurun. Soalnya kalau memang sengaja diturunkan, mestinya orang yang tidak terdeteksi banyak lari ke rumah sakit," ujar Wiku kepada Alinea.id, Kamis (5/11).

Diakui Wiku, jumlah tes harian yang digelar pemerintah belum sesuai dengan target WHO. Ia merinci sejumlah kendala teknis. Salah satunya ialah tak semua wilayah memiliki laboratorium untuk menggelar tes swab atau TCM. 

"Tesnya sudah 80% dari target WHO. Ini memang belum sempurna karena Indonesia bukan negara kecil seperti Singapura. Tapi, 80% itu sudah bagus. Apakah kita puas? Tentu enggak. Tapi, setiap daerah yang masih rendah terus kita tingkatkan," jelas dia. 

Selain tracing dan testing, Wiku mengatakan, perubahan perilaku juga penting dalam upaya penanganan Covid-19. Menurut dia, masih banyak warga--termasuk di antaranya orang-orang tanpa gejala (OTG)--yang "berkeliaran" tanpa mematuhi protokol kesehatan. 

"Contoh dari liburan kemarin ada lima ratus laporan per detik orang yang tidak patuh 3M. Pemerintahnya, dari sektor ke sektor lain, juga tidak keruan. Untuk memotong mata rantainya dengan 3M. Masyarakat itu kunci, kalau masyarakat tidak menjalankan 3M, maka kasusnya akan naik terus," tutur dia. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Soal prediksi-prediksi puncak pandemi yang rutin muncul, Wiku tak mau ambil pusing. Menurut dia, yang mestinya dipersoalkan dan dipermasalahkan ialah peningkatan ketaatan publik terhadap protokol kesehatan. 

"Jadi, bukan puncak yang sebagai ukuran virus mereda, tapi tingkat perubahan perilaku masyarakat. Kita harus melihat kapan puncak perubahan perilaku itu sampai 100% ditaati masyarakat. Jangan ditunggu sampai puncak bila ingin cepet terbebas dari pandemi. Akan tetapi, justru direm jangan sampai ke puncak dengan 3M," kata dia. 

Apa pun alasannya, menurut anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati, pemerintah tidak boleh mengurangi kapasitas testing dan tracing. Ia menegaskan pengendalian wabah hanya bisa dilakukan jika pemerintah punya data yang akurat. 

"Tidak ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Bahkan, pakar di dunia pun belum ada yang bisa memprediksi. Apalagi kalau kemudian lebih banyak fokus pada vaksin yang masih memerlukan waktu," ucap Kurniasih kepada Alinea.id

Anggota Komisi IX dari fraksi NasDem Hasnah Syam meminta publik tak terlena dengan angka-angka penurunan jumlah kasus harian yang sempat terjadi pada akhir Oktober lalu. Terlebih, penurunan jumlah kasus berbarengan dengan menurunnya jumlah tes. 

Lebih jauh, Hasnah juga meminta pemerintah tak kendor dalam menggelar tes dan membenahi contact tracing. "Kalau tracing bagus, saya yakin karantina kasus dapat dilakukan. Data kasus lebih tepat dan dengan data yang baik, modeling-nya dan prediksi bisa lebih mendekati real-nya," kata dia. 
 

Berita Lainnya
×
tekid