sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

DPR didesak buang pasal bermasalah di RKUHP

Substansi RKUHP masih marak pasal multitafsir yang potensial memperburuk sistem peradilan di Indonesia. 

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Minggu, 01 Sep 2019 21:13 WIB
DPR didesak buang pasal bermasalah di RKUHP

Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mendesak agar DPR mengkaji kembali pasal-pasal bermasalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurut Erwin, substansi RKUHP marak pasal multitafsir yang potensial memperburuk sistem peradilan di Indonesia. 

Salah satunya ialah pasal 281 yang mengatur penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court (CoC). Erwin mengatakan, pasal 281 merupakan pasal karet yang mengancam kebebasan berpendapat. 

"Tidak hanya advokat, melainkan juga jurnalis dalam melakukan pemberitaan," kata Erwin dalam konferensi pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta, Ahad (1/9). 

Ada tiga butir dalam Pasal 281 yang dipersoalkan. Di butir (a) pasal tersebut, disebutkan CoC bisa diberlakukan bagi mereka yang 'tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.'

Pada butir (b), CoC diberlakukan untuk yang 'bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan'.

Adapun pada butir (c), CoC diberlakukan kepada mereka yang 'secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.'

"Nah masalahnya tidak ada ukuran dimensi peradilan terganggu, apa ukurannya?" kata Erwin. 

Apabila merujuk pada kondisi aktual peradilan Indonesia, Erwin, mengatakan, peradilan Indonesia tidak banyak mengalami perubahan dalam 20 tahun terakhir.

Sponsored

"Hasil rule of law index dari WJP (The World Justice Project) 2019, peradilan kita (Indonesia) pada peringkat 12 dari 15 negara sekawasan (ASEAN) atau peringkat 86 dari 126 negara di dunia. (Dengan) nilainya di antara 0,35 sampai 0,38 dalam lima tahun terakhir (2014-2019)," ucapnya.

Apabila merujuk pada data Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), dia mengatakan, sejak lembaga anti rasuah itu terbentuk sejak 2003 sampai 2019, tercatat ada 55 aparat penegak hukum yang terjerat kasus korupsi.

"Dari 55 orang, 30 orang yang ditangkap KPK dan dinyatakan bersalah. Artinya 54 persen dari aktor dan korupsi adalah lembaga peradilan sendiri. Tentu ini menjadi mengkhawatirkan jika lihat kondisi aktual dengan delik yang diatur RKUHP (terkait CoC) ini," ujar dia. 
 

Berita Lainnya
×
tekid