sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dua lokasi ibu kota baru di bawah ancaman bencana ekologis

Pemerintah harus melakukan pengawasan ketat dalam mengelola tata ruang di ibu kota baru.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 27 Agst 2019 05:30 WIB
Dua lokasi ibu kota baru di bawah ancaman bencana ekologis

Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan lokasi ibu kota baru Republik Indonesia pada Senin (26/8) siang. Ibu kota baru pengganti Jakarta berada di dua kabupaten di Kalimantan Timur. 

“Berdasarkan riset tiga tahun, lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur,” kata Jokowi di Istana Negara.

Jokowi menyebut lima alasan dipilihnya lokasi ibu kota di kedua kabupaten tersebut. Pertama, kedua wilayah itu memiliki risiko bencana alam paling kecil. Potensi banjir, gempa bumi, tsunami, dan kebakaran hutan, relatif rendah terjadi di kedua kabupaten itu. 

Di samping itu, lokasi kedua kabupaten itu berada strategis di tengah-tengah wilayah geografis Indonesia. Jarak rata-rata Kalimantan Timur ke seluruh provinsi di Indonesia adalah 893 km.

Alasan ketiga, kedua kabupaten berada di dekat perkotaan yang sudah berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda. Keempat, dua kabupaten terpilih memiliki daya dukung infrastruktur yang sudah relatif lengkap.

Kelima, lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sudah dikuasai pemerintah seluas 180.000 hektare. Hal ini membuat pemerintah dapat lebih leluasa untuk membangun sejumlah infrastruktur yang diperlukan. 

Menurut Jokowi, pembangunan konstruksi pusat pemerintahan negara di kedua kabupaten dijadwalkan berlangsung mulai akhir 2020. Selanjutnya, pemindahan perangkat pemerintahan akan dilakukan secara bertahap pada 2024. 

Pembangunan diperkirakan menyedot biaya senilai Rp466 triliun. Pemerintah akan menggandeng pihak swasta untuk pembiayaannya. "Sekitar 19% akan berasal dari APBN," kata Jokowi. 

Sponsored

Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna mengapresiasi pemilihan lokasi ibu kota baru. Ia pun sepakat dengan alasan yang dikemukakan Jokowi. 

“Pertama, dengan luas wilayah hampir 180.000 hektare itu sudah lebih dari cukup. Kedua, kondisi tanah sudah aman, juga ada hutan-hutan lindung, sehingga bebas dari bencana alam dan masalah lingkungan lain,” kata Yayat saat dihubungi, Senin (26/8).

Namun Dosen Universitas Trisakti itu mengingatkan agar pemerintah melakukan pembagian fungsi pada kedua lokasi tersebut. Ada wilayah yang menjalankan fungsi utama dan fungsi penunjang daya dukung untuk menjalankan tugas pemerintahan.

“Antara Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara itu tinggal dihubungkan saja dengan jembatan agar bisa terhubung dengan sumber air dan infrastruktur yang terpadu. Lalu perlu dipilih mana pusat pemerintahan, dan mana kota pendukung pelaksana fungsi pemerintahan,” ujarnya.

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wahyu A. Perdana mengatakan, pemindahan lokasi ibu kota ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur harus memperhatikan analisis daya dukung lingkungan. Pembangunan infrastruktur ibu kota yang berpotensi menggerus kawasan hutan, dikhawatirkan akan memunculkan dampak negatif, terutama bencana ekologis.

“Kami mengkhawatirkan bencana ekologis malah pindah ke kedua kabupaten di Kaltim itu. Kalau pemindahan tak disertai analisa lingkungan yang tepat, akan muncul bencana ekologis,” ucapnya. Bencana ekologis yang dia maksud adalah yang disebabkan perilaku manusia, seperti polusi dan limbah.

“Di Jakarta saja sebanyak 7.500 ton sampah dihasilkan setiap hari,” ujar Wahyu.

Menurutnya, secara langsung maupun tidak, pengalihfungsian lahan akan berdampak pada perubahan iklim di wilayah Kalimantan Timur. Padahal selama ini, wilayah Kalimantan juga dibayangi kebakaran hutan. Perpindahan ibu kota juga dikhawatirkan membuat daya dukung alam di Kalimantan, yang selama ini digerogoti industri pertambangan dan bubur kertas, semakin kritis sehingga berdampak pada wilayah di sekitarnya.

Wahyu mencontohkan kasus tumpahnya minyak di Teluk Balikpapan awal Agustus lalu, yang berdampak hingga ke bagian tengah Kalimantan, juga ke kawasan pesisir.

“Bencana ekologis tumpahnya minyak saja berdampak juga ke Penajam Paser Utara. Pengurangan kawasan hutan pun akan berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan,” ujarnya.

Persoalan kependudukan

Keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota juga didasari distribusi penduduk dari Jawa yang sudah sangat padat, khususnya Jakarta. Menilik data sensus penduduk nasional terakhir yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010, penduduk Indonesia pada 2010 berjumlah 237.641.326 jiwa, dengan 49,79% atau 118.320.256 jiwa bertempat tinggal di daerah perkotaan. Badan Pusat Statistik pun mencatat, terdapat perbandingan yang jauh antara daya tampung penduduk di Jawa dan Kalimantan.

Dengan luas wilayah 6,8% dari seluruh wilayah Indonesia, Jawa dihuni oleh 57,5% penduduk. Sementara itu, Kalimantan yang luasnya 28,5% hanya dihuni oleh 5,8% penduduk.

Angka mencengangkan juga tampak jika membandingkan statistik penduduk Jakarta dan Kalimantan Timur. Masih berdasarkan data BPS, Jakarta dihuni 3,96% penduduk Indonesia dengan kepadatan 15.624 orang per kilometer persegi pada 2017. Adapun populasi penduduk di Kalimantan Timur hanya 1,37% dari total penduduk Indonesia, dengan tingkat kepadatan 28 orang per kilometer persegi.

Maka, pertimbangan pemerintah untuk mencegah pertambahan beban Jawa dan Jakarta karena kepadatan jumlah penduduk, melalui pemindahan ibu kota, cukup beralasan. Kepadatan itu secara khusus menimbulkan ketimpangan antara Pulau Jawa dan daerah lain di Indonesia, yang salah satunya terlihat dari angka 58% produk domestik bruto (PDB) ekonomi Indonesia berasal dari Pulau Jawa.

“Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan beban Jakarta dan beban Pulau Jawa yang semakin berat itu,” kata Jokowi dalam unggahannya Instagram, Senin (26/8).

Perpindahan penduduk dalam pemindahan ibu kota memang tak dapat dielakkan. Namun dalam konsep Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ibu kota baru dirancang untuk menerima hanya 1,5 juta penduduk baru. 

Yayat pun mengingatkan pentingnya pengendalian penduduk di lokasi ibu kota baru, demi mencegah persoalan di kemudian hari. Ledakan jumlah penduduk, di antaranya dapat memunculkan masalah permukiman kumuh dan pencemaran lingkungan. Karena itu, pengawasan tata ruang juga harus diperketat demi mencegah praktik jual-beli lahan oleh masyarakat sekitar untuk kebutuhan yang tidak tepat.

“Ini kesempatan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Harus betul-betul diawasi perpindahannya,” ucapnya.

Wahyu juga menyoroti pentingnya pengelolaan dampak pemindahan penduduk ke lokasi ibu kota baru. Sayangnya, kata dia, hasil dari analisa lingkungan yang dilakukan pemerintah tak dapat diakses secara terbuka oleh publik.

“Seberapa jauh dampak pemindahan ibukota itu pada lingkungan di lokasi baru harus dicermati, juga dalam konteks sosialnya, termasuk aspek pemindahan penduduk,” tutur Wahyu.

Keberadaan Jakarta yang sudah sedemikian padat oleh penduduk dan beragam persoalan, menegaskan relevansi pemindahan lokasi ibu kota ke tempat yang lebih kondusif bagi pelaksanaan administrasi pemerintahan. Namun, potensi bencana ekologis yang terjadi di Jakarta selama ini, semestinya dapat dicegah agar tak terulang di ibu kota baru. 

Berita Lainnya
×
tekid