sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Epidemiolog soal terapi plasma konvalesen Kemenkes: Belum ada penelitiannya

Berdasarkan berbagai studi ilmiah di luar negeri, plasma konvalesen tak terbukti efektif.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 12 Feb 2021 10:03 WIB
Epidemiolog soal terapi plasma konvalesen Kemenkes: Belum ada penelitiannya

Setelah diberikan terapi plasma konvalesen, virus corona justru bermutasi dalam tubuh seorang pasien Covid-19 pengidap kanker di Inggris. Bahkan, terdapat dua varian virus dalam tubuh pasien tersebut sebelum meninggal dunia. Studi kasus terhadap pasien ini diterbitkan dalam sebuah jurnal ilmiah, Nature pada Jumat (5/2).

Menanggapi hal itu, ahli epidemiologi dan biostatistik Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono menyebut, jika terapi plasma konvalesen tidak dapat memberikan antibodi yang optimal, maka virus corona akan bertahan dalam tubuh pasien. Bahkan, bisa bereplikasi (kemampuan virus memperbanyak diri) untuk bertahan hidup.

“Itu juga sama dengan bakteri yang resisten. Kalau orang mengobatinya harusnya tuntas sampai pasien tersebut meninggal dunia. Tetapi, karena orangnya tidak minum obat sampai tuntas. Seharusnya 5 hari, jadi hanya 3 hari, bakterinya (virus) enggak akan mati semua,” ucapnya saat dihubungi Alinea, Jumat (12/2).

“Yang masih hidup itu kemudian tetap tumbuh dan bereplikasi, dia tetap bertahan hidup. Dia harus melakukan perubahan,” imbuh Pandu.

Jadi, lanjut Pandu, mutasi virus corona dapat terjadi secara alamiah dan dipercepat oleh tekanan dari luar (plasma konvalesen). Dalam kasus pasien Covid-19 di Inggris tadi, obat antikanker dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga pengobatan melalui terapi plasma konvaselen tidak dapat dengan tuntas ‘membunuh’ virusnya. Jadi, virus yang tersisa tetap bertahan hidup dengan bereplikasi.

“Plasma kovalesen dicurigai salah satu obat terapi yang berusaha membunuh virus secara langsung. Kalau antibodi-nya yang didonorkan tidak cukup memadai, virus tidak mati. Dia akan berubah (bermutasi/bereplikasi),” ucapnya.

Prosedur plasma konvalesen rumit, karena perlu memperhatikan golongan darah, antibodinya, hingga segi keamanan.

“Jadi, sekarang kan digerakkan donor konvalesen. Jadi, seakan-akan tiap orang bisa jadi donor. Karena potensi virus lain masuk selain Covid-19 dari pendonor juga ada. Maka, harus dites, apakah ada hepatitis, atau HIV?. Ya, harus diyakinkan dulu. Tidak terkontaminasi. Orangnya sehat. Antibodinya cukup,” tutur Pandu.

Sponsored

Berdasarkan berbagai studi ilmiah di luar negeri, plasma konvalesen tidak terbukti efektif. “Tetapi di sini masih belum jelas. Belum ada laporannya dan penelitiannya. Yang menjadi masalah itu kan pada Balitbangkes (Kemenkes) tiba-tiba diizinkan untuk menyediakan layanan itu,” ujar Pandu.

Sebelumnya, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman tengah mengembangkan metode mengukur kadar antibodi plasma konvalesen dengan mengevaluasi reagen-reagen yang beredar di pasaran. Harapannya, plasma dari penyintas lebih cepat diputuskan dapat diberikan kepada pasien Covid-19 terkait atau tidak.

Eijkman sudah mengukur antibodi plasma menggunakan plaque reduction neutralization test (PRNT) yang menjadi standar emas (gold standard). Namun, pemakaiannya secara kontinu akan menelan biaya mahal dengan prosedur rumit karena membutuhkan laboratorium biosafety level (BSL) 3. Terapi plasma konvalesen sedang melakukan uji klinis tahap II dan II.

Kesimpulan sementara menunjukkan, donor plasma konvalesen terbaik berasal dari penyintas kategori sedang hingga berat. Namun, hanya diperuntukkan kepada pasien kategori ringan menuju sedang. Di sisi lain, ketersediaannya tidak sebanyak kebutuhannya dan tergantung golongan darah.

"Sehingga sering terjadi kondisi pasien yang sebenarnya masih bisa sembuh dengan mendapatkan terapi ini, tetapi karena tidak mendapatkan, akhirnya harus meninggal dunia," ujar  Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro dalam telekonferensi, Kamis (11/2).

Terapi plasma konvalesen diklaim pula dapat mengurangi angka kematian. Karenanya, Bambang akan mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui pengobatan tersebut diakui sebagai terapi yang menjanjikan untuk penanganan Covid-19 dan direkomendasikan kepada dokter di seluruh dunia.

Berita Lainnya
×
tekid