Euforia berlebihan dan 'misteri' vaksin Sinovac
Kedatangan vaksin Sinovac disambut gegap gempita. Padahal, informasi efektivitas dan keamanan vaksin belum ada.
Ujian independensi BPOM
Pandu Riono menjelaskan, relawan yang ikut uji klinis tahap ketiga hingga suntik kedua di Unpad hanya 1.610 orang. Sebanyak 10 orang sisanya tidak ikut. Informasi itu ia dapatkan dari Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir. Karena itu, Pandu menduga, uji klinis fase ketiga itu mungkin hanya bisa mengukur imunogenisitas, menera kadar antibodi saja. Bukan soal efikasi.
Bukti efikasi, jelas Pandu, tak bisa hanya berdasarkan data kenaikan kadar antibodi sampai empat kali pada relawan yang menerima suntikan vaksin, seperti diklaim peneliti Unpad. "Vaksin harus terbukti dapat "melindungi", EFIKASI, bukan hanya ada kenaikan antibodi. Selain aman," cuit Pandu.
Bukti efikasi tak bisa hanya berdasarkan ada kenaikan kadar antibodi sampai 4 kali pd yg terima vaksin, seperti diklaim peneliti Unpad. Vaksin itu harus terbukti dapat "melindungi", EFIKASI, harus dihasilkan uji klinik fase 3, bukan hanya ada kenaikan antibodi saja. Selain aman. pic.twitter.com/JV0fliSKC7 — Juru Wabah (@drpriono1) December 7, 2020
Ujian berat bukan hanya ada di pundak tim peneliti di Unpad, tapi juga di BPOM. Bersama tim Majelis Ulama Indonesia (MUI), BPOM sudah berkunjung ke pabrik vaksin Sinovac dan Cansino di China, 14 Oktober lalu. Selain memastikan kualitas dan keamanan, tim datang untuk memastikan kehalalan vaksin. MUI, seperti dituturkan Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim, masih mengumpulkan informasi-informasi detail terhadap hasil audit vaksin.
"MUI melalui koordinasi dengan Bio Farma dan Sinovac masih menunggu beberapa informasi yang kami butuhkan untuk maju ke tahapan berikutnya, yaitu tahapan fatwa," jelas Lukman saat konferensi pers virtual di kanal YouTube Kominfo, Senin (7/12). Ia berharap dapat informasi tambahan sesegera mungkin agar proses penetapan kehalalan dapat dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI.
Selain informasi tambahan, MUI juga menunggu rekomendasi dari BPOM terkait izin penggunaan vaksin Sinovac. Ini juga menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan fatwa halal.
"MUI dengan senang hati akan terus mengawal sesuai kapasitas dan kompetensi yang dimiliki," jelas Lukman.
Bola sekarang ada di tangan BPOM. Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengobservasi jalannya uji klinis fase tiga vaksin Covid-19. Observasi untuk melihat aspek keamanan, khasiat dan efektivitas vaksin.
"Dari aspek mutu sudah memenuhi aspek cara produksi obat yang baik. Tak ada efek samping kritikal. Dari aspek keamanan sudah baik, sekarang aspek efektivitas dan khasiat yang kita tunggu,” ujar Penny yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Kabinet, Senin (7/12).
Pandu Riono menduga, EUA kemungkinan besar bakal dikeluarkan BPOM. Apalagi Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) sudah setuju. "Masak sih EUA tidak dikabulkan, walaupun data uji klinis ketiga belum ada. Apalagi (vaksin) diujicoba di Bandung," cuit Pandu.
Sebagian vaksin sinovac sudah tiba, tim @ulama MUI dan @BPOM_RI sudah berkunjung ke pabriknya. Masak sih EUA tidak dikabulkan, walaupun data uji klinis 3 belum ada. ITAGI sudah ok, apalagi di ujicoba di Bandung. Siap2 aja, presiden @jokowi pernah bilang siap jadi orang pertama. pic.twitter.com/Rv9Wl50Typ — Juru Wabah (@drpriono1) December 7, 2020
Di sinilah independensi BPOM dipertaruhkan. Sebagai otoritas yang memberikan lampu hijau atau merah atau obat, termasuk vaksin, BPOM mesti bebas dari intervensi pihak mana pun. Masalahnya, Kepala BPOM kini masuk menjadi bagian dari Komite Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). Lewat revisi Perpres 82/2020 tentang KPC dan PEN, Presiden Jokowi memasukkan Ketua BPOM sebagai Wakil Ketua I Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
"Mungkinkah keputusan @BPOM_RI bisa independen dan berpihak pada sains dan kepentingan (keselamatan) publik dalam perizinan vaksin (dan obat)? Kepala @BPOM_RI seharusnya tidak boleh jadi anggota Komite PC-PEN, di mana tekanan politik (ekonomi/bisnis) semakin dominan, bukan sains," cuit Pandu.
Mungkinkah Keputusan @BPOM_RI bisa independen dan berpihak pada sains dan kepentingan (keselamatan) publik dalam perijinan Vaksin (dan Obat)? Kepala @BPOM_RI seharusnya tidak boleh jadi anggota Komite PC-PEN, di mana tekanan politik (ekonomi/bisnis) semakin dominan, bukan sains. pic.twitter.com/lD1mNie287 — Juru Wabah (@drpriono1) December 7, 2020
Kepada media, Penny Lukito berjanji pihaknya mengikuti standar internasional berdasarkan referensi dari WHO dan merujuk Food and Drug Administration (FDA) atau regulator di negara lain yang bagus. Ia memastikan pemerintah hanya memberikan vaksin bermutu, berkhasiat, dan aman.
Untuk itu semua, kata dia, dibutuhkan waktu agar pemerintah mendapatkan data yang cukup. Baru kemudian BPOM baru akan mengeluarkan EUA. "Dan kami juga tentunya akan menganalisa dengan para expert (ahli) dan dokter-dokter ahlinya," tegas Penny.
Vaksin bukan senjata pamungkas
Euforia menyambut kedatangan vaksin, bagi Pandu, merupakan bagian dari narasi pemerintah terkait vaksin Covid-19 sebagai solusi mujarab mengatasi pandemi. Itu dilakukan karena gagal pada pencegahan pertama (primary prevention), yakni 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) dan 3T (tracing, testing, treatment). Padahal, vaksin Covid-19 adalah pencegahan kedua (secondary prevention).
Semestinya, kata dia, 3M dan 3T diperkuat terlebih dahulu sebelum diberikan vaksin. Sebab, vaksin tidak pernah menjadi senjata pamungkas. Vaksin Covid-19 hanya bisa membantu untuk mencegah penularan dan kematian. Jikalau pun vaksin Covid-19 berhasil, Indonesia tetap belum bisa 100% terbebas dari pandemi. “Enggak (bisa), masih butuh waktu, karena pencegahan primernya tidak dilakukan,” ucap dia.
Kritik serupa disampaikan Yohanes Cakrapradipta Wibowo, kandidat PhD Experimental Pharmacology di University of Heidelberg, Jerman. Menurut dia, tidak semua uji klinik tahap tiga mulus.
"Proses yang dilakukan saat ini adalah proses percepatan walau tidak mengabaikan setiap fase yang perlu dilakukan. Karena darurat, ada penyederhanaan proses dari yang seharusnya," tulis dia dalam petisi change.org.
Vaksin 'setengah jadi' berpotensi menimbulkan masalah baru jika timbul efek yang tidak diinginkan. Apalagi tenaga medis menjadi salah satu prioritas pemberian vaksin. Padahal, sektor kesehatan sudah terpukul hebat saat pandemi ini.
Yohanes meminta pemerintah tidak latah dan membuat masyarakat terjebak rasa aman palsu. Dia mengingatkan, salah satu elemen penting dalam pembuatan vaksin adalah seberapa aman dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Juga seberapa lama dampak imunitas vaksin bisa bertahan.
Apabila vaksin yang sudah siap itu daya lindungnya rendah, kata dia, akan membutuhkan lebih banyak dosis vaksin. Ini bakal membuat biaya membengkak. "Itu artinya para pengguna vaksin bisa terjebak dalam rasa aman palsu. Ini justru berbahaya karena berpotensi menyebarkan virus corona lebih luas."