sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Firli: Penyelidikan kasus korupsi kepala daerah tetap jalan meski pilkada

Hukum dan politik dua rel yang berbeda. Politik pilkada sedang berlangsung, bukan berarti proses penegakan hukum tak berjalan. 

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 10 Nov 2020 18:23 WIB
Firli: Penyelidikan kasus korupsi kepala daerah tetap jalan meski pilkada

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, menyebut, pengusutan laporan dugaan rasuah kepala daerah tetap berlangsung, meski melaksanakan proses pilkada. Afirmasi ini disampaikan dalam Pembekalan Calon Kepala Daerah Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, dan Kalimantan Timur.

Lalu, Nusa Tenggara Timur yang bertempat di Ruang Rapat Hotel Radisson Golf and Convention Center Kota Batam, Selasa (10/11). Peserta di Lampung, Kaltim, dan NTT, mengikuti pembekalan secara daring.

"Hukum dan politik adalah dua rel yang berbeda. Politik pilkada sedang berlangsung, tapi bukan berarti proses penegakan hukum tak berjalan. Jangan anggap hukum berhenti di saat pilkada. Penegakan hukum tidak akan terganggu oleh pelaksanaan pilkada," ujarnya secara tertulis, Selasa (10/11).

Data KPK per Oktober 2020, tidak kurang dari 143 kepala daerah, terdiri atas 21 gubernur serta 122 bupati dan wali kota yang telah didakwa oleh KPK. Firli memastikan, penyelidikan dugaan korupsi kepala daerah juga tidak akan mandek, meski sedang pilkada.

Pelaksanaan pilkada, lanjut Firli, dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana rasuah oleh kepala daerah. Karenanya, sejak awal paslon harus mengetahui bagaimana menghindari potensi munculnya benturan kepentingan. Salah satunya dalam pendanaan.

"Survei KPK di tahun 2018 memperlihatkan adanya 82,3 persen dari calon kepala daerah yang diwawancarai mengakui adanya donatur dalam pendanaan pilkada," ucapnya.

Hadirnya donatur, sambung Firli, disebabkan kebutuhan biaya pilkada lebih besar ketimbang kemampuan harta cakada. Kondisi itu, memiliki konsekuensi para sponsor meminta kemudahan perizinan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnisnya.

"Hasil telaah KPK di 2018 itu juga menemukan bahwa sebagian besar cakada, atau 83,80% dari 198 responden, mengutarakan mereka akan memenuhi ambisi para donatur tersebut ketika dia menjabat," ujarnya.

Sponsored

Pada kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengimbau, jangan sampai pilkada menjadi pesta transaksional untuk kemenangan paslon tertentu. Selain itu, imbuhnya, jangan ada kampanye hitam yang menyebarkan hoaks. Bila terjadi, Tito mengaku akan melaporkan ke polisi sebagai pidana kebohongan publik.

"Saya memohon kita jaga supaya pilkada ini berkualitas dan dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Tidak ada rapat umum. Bila ada, saya akan minta Polri untuk dipidanakan. Tapi, saya sangat mengapresiasi pasangan-pasangan calon yang menggunakan cara-cara kampanye yang cerdas," katanya.

Sementara Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari, mendorong seluruh paslon dan pemilih untuk mewujudkan pilkada berintegritas. KPU, sambungnya, kerap menyampaikan kepada konstituen dalam setiap program pendidikan pemilih untuk menolak politik uang.

"Kami menegaskan tolak politik uang dalam setiap sesi pendidikan pemilih oleh KPU. Kami juga mendorong peserta pilkada menandatangani Pakta Integritas. Di samping itu, KPU juga telah mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), yang bertujuan mendorong keterbukaan peserta pilkada atas aliran dana kampanyenya," ucapnya.

Sedangkan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan, meyakini kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi. Penyelenggaraan pilkada berintegritas, imbuhnya, merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas. 

Menurut Abhan, politik uang merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih, yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.

"Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi dimana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid