sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Formappi: Pemahaman DPR terhadap omnibus law masih lemah

Prolegnas yang disusun DPR tidak terlalu menyambung dengan program legislasi pemerintah yang mengusung penyederhanaan legislasi.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 19 Des 2019 16:55 WIB
Formappi: Pemahaman DPR terhadap omnibus law masih lemah

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai pemahaman DPR terhadap penyederhanaan legislasi dengan metode omnibus law, masih lemah.

Indikasinya terlihat dari 248 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam Prolegnas 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2020 tidak menunjukkan semangat omnibus law, yaitu menyederhanakan perundang-undangan dengan menggabungkan atau menghapus peraturan perundang-undangan menjadi satu undang-undang.

"Tampaknya pemahaman DPR terhadap omnibus law masih lemah. Artinya pemerintah lebih maju dengan omnibus law, mereka tahu mana yang menjadi prioritas," kata Lucius di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta, Kamis (19/12).

Prolegnas yang disusun DPR tidak terlalu menyambung dengan program legislasi pemerintah yang mengusung penyederhanaan legislasi atau omnibus law. Seharusnya melalui omnibus law, jumlah RUU yang sedikit bisa mencakup banyak persoalan. 

"Katakanlah semua komisi melakukan kajian atau pemetaan legislasi yang terkait dengan bidang kerja komisinya. Itu dilakukan bersama dengan mitra kerja dari pemerintah. Lalu dari situ dicari peluang untuk menyederhanakan terhadap banyak UU agar tercapai yang diinginkan pemerintah melalui program omnibus law tersebut," jelas dia.

Baleg DPR telah menyetujui 248 RUU dalam daftar Prolegnas 2020-2024 dan 50 RUU Prolegnas Prioritas 2020. Dalam daftar RUU Prioritas 2020 juga menyertakan 4 RUU Omnibus Law, yakni RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Ibu Kota Negara.

RUU Kefarmasian diusulkan DPR dan tiga UU Omnibus Law lainnya diusulkan pemerintah.

"Jadi, tiga dari keempat RUU Omnibus Law ini merupakan usulan pemerintah. Tentu saja pemerintah memang yang paling siap dengan pembahasan RUU Omnibus Law ini, karena konsep pertama terkait omnibus law memang muncul dari pemerintah," kata Lucius.

Sponsored

Penyakit lama belum sembuh

Lebih lanjut Lucius mengatakan DPR masih mengutamakan kuantitas atau jumlah daripada kualitas legislasi dalam penyusunan Prolegnas 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2020.

Padahal baleg telah merekomendasikan agar jumlah undang-undang yang dibahas tidak terlalu banyak, tetapi kualitasnya mendalam.

"Jumlah ini tidak konsisten dengan rekomendasi Baleg DPR, yaitu fokus kualitas dengan menyedehakan legislasi. Prolegnas jadi keranjang sampah, hanya tumpukan usulan yang dipajang. Syukur-syukur kalau dibahas," katanya.

Menurut Lucius, DPR terlihat tidak fokus dan terarah dalam menyusun prolegnas. Bahkan tidak bisa menjelaskan benang merah antara satu RUU dengan RUU yang lain di bawah tema besar yang menjadi arah dan tujuan program pembangunan pemerintah pada periode 2020-2024. 

"Dengan gambaran seperti itu, sulit membangun optimisme untuk kinerja legislasi DPR periode ini. Semuanya masih tampak mempertahankan reputasi buruk yang diperlihatkan selama periode 2014-2019," kata dia.

Pekerjaan pengelompokan UU memang mengandalkan kajian mendalam. Namun DPR bisa meminta bantuan ahli atau memaksimalkan kerja staf ahli yang jumlahnya cukup banyak di DPR untuk melakukan pengelompokan UU.

Lucius juga menekankan pada empat RUU carry over dalam Prolegnas Prioritas 2020 yang sudah dibahas pada periode sebelumnya, namun belum disahkan. DPR dan pemerintah, harus memberikan perhatian khusus terhadap empat RUU carry over ini.

Keempat RUU carry over tersebut adalah RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, RUU tentang KUHP, dan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan RUU Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (usul DPR). 

"Proses pembahasan RUU carry over ini mungkin tak harus secara lengkap mulai dari tahap yang paling awal, tetapi langsung mulai dengan pembahasan pasal-pasal bermasalah. Pembahasan harus dilakukan terbuka karena disitulah publik menguji komitmen DPR untuk melahirkan UU berkualitas," pungkas Lucius.

Berita Lainnya
×
tekid