FSGI: Pemerintah tak punya konsep perlindungan guru
UU Ketenagakerjaan tidak cukup kuat melindungi guru, karena pemberi kerjanya berbeda dengan pengusaha.
Pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat dinilai tidak memiliki konsep yang jelas dalam penyelesaian masalah guru honorer. Sejatinya, bukan hanya sekadar mengangkat sebagai pegawai, tetapi juga terkait memperjelas penyalurannya ke sekolah-sekolah yang membutuhkan.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengungkapkan, semestinya penempatan guru harus terencana dan solutif. Sebab, peran strategis guru honorer di Indonesia terkendala anggaran untuk menggaji, apalagi mengangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ironisnya, memperkerjakan para guru honorer terperangkap sistem kontrak berjangka. Maka, saat terjadi sengketa antara guru dan pemberi kerja, penyelesaian menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, alih-alih UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
"Solusi daruratnya adalah dengan mempekerjakan guru-guru itu dengan sistem kontrak berjangka dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Sistem itu sebenarnya ditentang oleh para buruh dalam dunia industri," ujar Retno dalam keterangan tertulis, Senin (12/7).
UU Ketenagakerjaan tidak cukup kuat melindungi guru, karena pemberi kerjanya berbeda dengan pengusaha. Jadi, kontrak setiap tahun dari perekrut harus diperbaiki agar guru terlindungi.
Di sisi lain, FSGI meminta penundaan pembukaan sekolah tatap muka pada Januari 2021 menjadi pertimbangan pemerintah. Khususnya, di wilayah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020.
"Suara guru honor setiap pilkada diperebutkan, namun perlindungan dan kesejahteraannya diabaikan," tandas Retno.