sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gaduh ganja, dari DPR hingga Kementan

Polemik ganja, obat atau narkoba sudah lama terjadi.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Senin, 31 Agst 2020 14:40 WIB
Gaduh ganja, dari DPR hingga Kementan

Tanaman ganja kembali menjadi perbincangan publik, buntut dari keputusan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo yang menetapkan ganja sebagai tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian.

Tanaman dengan nama latin cannabis sativa itu masuk daftar tanaman obat komoditas binaan Kementan, melalui Keputusan Menteri Pertanian (Kementan) RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020, tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian, yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 3 Februari 2020.

Dalam lampiran Kepmen tersebut, ganja tercantum di nomor 12 di daftar tanaman obat, di bawah binaan Direktorat Jenderal Hortikultura. Kontroversi pun bergulir lantaran hingga kini, ganja masih termasuk dalam jenis narkotika golongan I menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Kementan pun seakan tidak mau kegaduhan semakin meruncing, dan menyatakan siap merevisi aturan penetapan ganja sebagai tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian.

“Kalau memang aturan ini menurut berbagai pihak bahwa ini lebih banyak tidak bermanfaatnya daripada manfaatnya, ya tentunya kita akan revisi Kepmentan ini,” ujar Dirjen Hortikultura Prihasto Setyanto melansir Antara, Sabtu 17 Agustus 2020.

Gaduh ganja di DPR

Kontroversi ganja terjadi di ruang publik bukan kali ini saja. Pada Januari lalu, Rafli yang juga anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS mengusulkan pemerintah melegalkan ganja sebagai komoditas ekspor, yang disampaikannya pada Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi VI bersama rapat perdagangan, Kamis (30/1).

Usulan Rafli tersebut langsung diklarifikasi rekan separtainya Mulyanto. Menurutnya, dasar pemikiran Rafli adalah untuk menyelamatkan generasi muda dari bahaya narkoba, dengan mengubah konsumsi ganja untuk kepentingan medis, sudah diolah menjadi obat semacam valium, rohypnol atau yang masuk obat daftar G.

Sponsored

Usulan politikus PKS tersebut menuai respons Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi yang menyatakan menolak. Pria sapaan Awiek ini memandang usulan ganja sebagai komoditas ekspor bertentangan dengan nilai-nilai agama (Islam), aspek hukum, fisik, psikologis, sosial, serta aspek keamanan dan ketertiban masyarakat.

Berdasarkan ajaran Islam, lanjutnya, jelas bahwa hal yang memabukkan diharamkan, termasuk di dalamnya ganja. Banyak dalil Islam yang memperkuat hal tersebut. Artinya, usulan ekspor ganja bertentangan dengan syariat.

Ganja di mata LBH Masyarakat

Gaduh soal ganja juga berpangkal dari sikap pemerintah yang menolak rekomendasi organisasi kesehatan dunia, WHO, ihwal penggunaan ganja untuk kesehatan beberapa bulan lalu. Koalisi Masyarakat Sipil, diwakili Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat yang mempertanyakan sikap pemerintah tersebut.

Pada Juni 2020 lalu, pemerintah, diwakili oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Kementerian Kesehatan mengadakan rapat untuk menyiapkan jawaban resmi untuk Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO. Pemerintah berkesimpulan bahwa sikap Indonesia berada pada posisi menolak penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan.

Menyikapi hal itu, LBH Masyarakat pada 7 Juli 2020, secara resmi telah mengajukan permohonan informasi publik yang ditujukan kepada BNN, Polri, dan Kemenkes.

LBH Masyarakat menilai bahwa klaim-klaim penelitian yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan tersebut tidak jelas dan cenderung mengada-ada. Dalam poin-poin hasil rapat tersebut antara lain dinyatakan bahwa:

a. Jenis ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan tanaman ganja yang tumbuh di Eropa atau Amerika. Kesimpulan itu didapat berdasarkan hasil penelitian bahwa ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18%) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif.

b. Ganja medis yang digunakan untuk pengobatan adalah ganja yang melalui proses rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah. Sedangkan ganja di Indonesia tidak melalui proses rekayasa genetik karena tumbuh dari alam dengan kandungan THC tinggi dan CBD rendah. Di samping itu sangat mudah tumbuh di hutan dan pegunungan. Sehingga ganja yang tumbuh di Indonesia bukanlah jenis ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan.

c. Di Indonesia penggunaan ganja lebih banyak dikonsumsi untuk bersenang-senang bukan untuk kepentingan medis. Sehingga apabila ganja dilegalkan akan lebih banyak dampak buruknya, seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya penggunaan ganja.

Untuk itu, agar klaim penelitian tersebut tidak memicu kesimpangsiuran dan membuktikan benar adanya bahwa sikap pemerintah memang diambil berbasiskan bukti, maka LBH Masyarakat meminta pemerintah segera merespons dan membuka hasil penelitian pemerintah ke publik.

Pecabutan Kepmentan disesalkan

Merspons kegaduhan di ruang publik tersebut, Kementerian Pertanian akhirnya mencabut sementara aturan dengan Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 itu, untuk dievaluasi.

Namun, keputusan Kementan itu disesalkan Lingkar Ganja Nusantara atau LGN. Pasalnya, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang telah lebih dahulu meneliti dan memanfaatkan ganja untuk tujuan pengobatan.

“Kami menyesalkan penarikan kembali keputusan tersebut. Dalam situasi seperti ini, kami sangat mengharapkan pihak-pihak yang terkait untuk dapat saling bahu-membahu dan melihat situasi ini sebagai sebuah terobosan yang baik untuk kemajuan kita sebagai sebuah bangsa,” ujar Dhira Narayana, Ketua LGN dalam rilisnya, Senin (31/8).

“Banyak sekali warga masyarakatnya yang dapat tertolong,” lanjutnya.

Pihaknya berharap Mentan Syahrul Yasin Limpo tidak mencabut Kepmen tersebut. “Sekali lagi, kami sangat berharap agar Bapak Syahrul Yasin Limpo untuk kembali menetapkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 104 Tahun 2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang memposisikan ganja sebagai komoditas tanaman obat,” pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid