sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gembar-gembor "gotong royong": Cara negara tutupi kegagalan tangani pandemi

"Pemerintah memanipulasi makna gotong royong, memanfaatkan istilah gotong royong ini untuk mengeruk dana dari masyarakat."

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 08 Jul 2021 10:40 WIB
Gembar-gembor

Lebih dari 16 bulan pandemi Covid-19 mengguncang Indonesia. Trennya pun kembali melonjak dalam beberapa pekan terakhir seiring merebaknya varian anyar SARS-CoV-2, terutama delta (B.1617.2) yang lebih menular dan membahayakan.

Berbagai kebijakan pun ditelurkan pemerintah dalam mengatasi pandemi, yang berdampak serius terhadap perekonomian. Tak sekadar itu, para pejabat pun berbondong-bondong menyerukan gotong royong kepada masyarakat dalam penanganan pagebluk, sesuatu yang sudah dijalani manusia purba tanpa mengenal doktrin nasionalisme, Pancasila, atau bhinneka tunggal ika.

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyampaikan ucapan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2021, salah satunya. Melalui akun Twitter @jokowi, dia mencuitkan, "Lebih setahun dunia dicengkeram pandemi global Covid-19, lebih setahun pula Indonesia berjuang membendung segala dampaknya. Hari ini, dengan semangat Budi Utomo, kita bergotong royong untuk bangkit dan menang melawan pandemi dan bersama-sama melangkah menuju Indonesia maju."

Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet), pun latah. Seruan bergotong royong disampaikannya dalam momentum Hari Lahir Pancasila, yang dirayakan saban 1 Juni.

"Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno, pada 76 tahun lalu, telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara gotong royong. Sikap gotong royong yang merupakan pengejawantahan dari sila Pancasila harus terus ditumbuhkan kembangkan seluruh elemen bangsa agar Indonesia mampu segera terbebas dari pandemi Covid-19,” tuturnya.

Ajakan serupa disampaikan Ketua DPR, Puan Maharani, dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Keduanya mendorong semua komponen bangsa bergotong royong dalam merespons kenaikan kasus Covid-19 pasca-Idulfitri 1442 H. 

Pakar semiotika Institut Teknologi Bandung (ITB), Yasraf Amir Piliang, menilai, gembar-gembor gotong royong tersebut yang diserukan untuk menutupi kegagalan negara dalam penanganan pandemi Covid-19. “Sehingga dicarilah sasaran untuk mencari 'kambing hitam' untuk berlindung di balik itu. Ya, masyarakat, kan?" ucapnya saat dihubungi alinea.id, Rabu (7/7).

"Saya rasa, tanpa diperintahkan gotong royong, orang sudah dari dulu gotong royong dalam menangani Covid-19," sambungnya.

Sponsored

Dirinya juga mengkritik Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, yang sempat terang-terangan meminta semua dukuh (kepala RT/RW) membentuk Satgas Penanganan Covid-19. Namun, operasionalnya dibebankan dari dana swadaya masyarakat dengan semangat gotong royong.

"Ini artinya, kan, pemerintah memanipulasi makna gotong royong, memanfaatkan istilah gotong royong ini untuk mengeruk dana dari masyarakat. Itu bukanlah kebijakan yang tepat, ya, karena gotong royong, kan, bukan begitu. Gotong royong, kan, inisiatif dari bawah (masyarakat)," tuturnya.

Menurut Yasraf, rakyat sudah "kenyang" menerima janji manis menjelang pemilihan umum (pemilu). Namun, pemerintah selalu mengabaikan kebutuhan rakyat, termasuk ketika pandemi Covid-19, bahkan sekarang mengambil dalih gotong royong untuk meminta rakyat iuran. "Ini, kan, suatu hal yang tidak adil."

Merujuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, semestinya pemerintah pusat ataupun daerah bertanggung jawab penuh dalam penanganan pandemi Covid-19. Dari mulai pengadaan vaksin, tes usap (swab test), hingga memberikan makanan kepada rakyat.

"Pemerintah, kan, mengelak dari itu (UU Kekarantinaan Kesehatan). Yang seperti kemarin kita katakan, membuat suatu model baru (PSBB transisi hingga PPKM darurat) dari UU (Kekarantinaan Kesehatan) yang intinya mengelak dari kewajiban pemerintah karena memang ada kecurigaan pemerintah tidak punya dana. Utang sudah untuk itu,” urainya.

Yasraf berpendapat, berlarut-larutnya pandemi Covid-19 di Tanah Air tidak terlepas dari rekam jejak kebijakan pemerintah dalam mengananinya. Negara dianggapnya inkompetensi dan tidak profesional bahkan mismanajemen hingga konflik kepentingan sudah terjadi sejak awal wabah di Indonesia. "Dari awal, kan, pemerintah sedang galau, sedang kacau. Amatiran penanganannya," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid