sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Revisi KUHP: Hukuman pelaku kekerasan terhadap disabilitas akan diperberat

Pemerintah mengusulkan demikian karena kelompok disabilitas bersama perempuan dan anak-anak menjadi kelompok rentan.

 Ghina Mita Yuniarsih
Ghina Mita Yuniarsih Rabu, 07 Sep 2022 17:39 WIB
Revisi KUHP: Hukuman pelaku kekerasan terhadap disabilitas akan diperberat

Ketua Komnas Disabilitas, Dante Rigmalia, berharap, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak lagi mendiskriminasi kelompok disabilitas. 

"Sering kali penyandang disabilitas ini tidak dapat diposisikan sebagaimana mestinya, apakah sebagai pelaku atau sebagai korban ataupun sebagai saksi," katanya webinar, Rabu (7/9).

"Sehingga, kami sangat berharap, RUU KUHP ini dapat menegakkan penyandang disabilitas itu seperti apa sehingga kita bisa menempatkan penyandang disabilitas di dalam hadapan hukum sesuai dengan apa yang seharusnya," imbuh dia.

Dicontohkan Dante dengan Pasal 39 Bab II Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Isinya, "Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan eksaserbasi akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan."

"Di sini disebutkan, disabilitas intelektual sedang dan berat itu tidak dijatuhi hukuman. Namun, ini berarti pasal ini berbicara tentang disabilitas yang ringan," katanya.

Dante menerangkan, disabilitas intelektual ringan memiliki kemampuan kognisi penalaran seperti anak kelas 4 SD. Baginya, hal tersebut tidak setara dengan masyarakat yang memiliki penalarannya lebih baik.

"Kondisi disabilitas intelektual ringan dengan taraf kecerdasan secara psikologis, berdasarkan ukuran American Association on Mental Deficiency (AAMD), itu adalah kecerdasannya 70-75 dengan dibandingkan dengan kemampuan untuk kognisi bernalar, itu bisa dirata-ratakan kognisi penalarannya sama seperti kelas anak kelas 4 SD," tuturnya.

Komnas Disabilitas pun meminta Pasal 39 tersebut direvisi. "Karena sangat krusial, sangat banyak, dan disabilitas itu kebanyakan lanskapnya ringan," kata Dante.

Sponsored

Dia menambahkan, banyak orang tidak menyadari penyandang disablitas sebagai disabilitas. Akibatnya, penyandang disabilitas intelektual kerap menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Komnas Perempuan mencatat, penyandang disabilitas intelektual menjadi kelompok paling banyak terlibat kekerasan dengan 22 kasus pada 2021. Sebanyak 13 kasus di antaranya melibatkan perempuan. 

Pada kesempan sama, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, berjanji, bakal mengakomodasi aspirasi para penyandang disabilitas di dalam revisi KUHP. Dicontohkannya dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

"Detik-detik terakhir menjelang kita mengetok palu [RUU TPKS] itu ada beberapa pasal yang kemudian diprotes oleh teman-teman disabilitas. ... berdasarkan musyawarah mufakat dengan teman-teman dari DPR, saya mengajukan usulan, sudah, kita terima saja karena yang tahu persis keadaan mengenai disabilitas itu hanya teman-teman disabilitas saja. Jadi, kami waktu itu menerima tanpa mengurangi satu apa pun dari yang diusulkan," paparnya.

Lebih jauh, Eddy, sapaannya, menilai, ada 3 poin terkait revisi KUHP berkaitan dengan penyandang disabilitas. Pertama, disabilitas sebagai pelaku dan proses hukumnya di luar KUHP. "Ini kita masuk pada hukum acara, itu akan diatur detail di KUHAP."

Kedua, hukuman pelaku bakal diperberat apabila disabilitas menjadi korban. Alasannya, penyandang disabilitas bersama perempuan dan anak-anak merupakan kelompok rentan.

Ketiga, perlu keterlibatan ahli dalam penanganan suatu perkara yang melibatkan penyandang disabilitas ringan, sebagaimana isi Pasal 38 dan Pasal 39. "Keterangan ahli sangat penting untuk menentukan karena ini semua, Bapak/Ibu, berkaitan dengan kemapuan bertanggung jawab."

Eddy melanjutkan, terdapat 3 hal yang melekat dalam kemampuan bertanggung jawab, yakni pelaku bisa membedakan antara baik dan buruk, mempunyai kehendak bebas, dan mampu menginsafi perbuatannya. Hal inilah yang kemudian menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang bisa dipertanggungjawabkan secara pidana atau tidak.

Berita Lainnya
×
tekid