sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Wawancara IAKMI: Urgensi kuncitara Jakarta di tengah pandemi Covid-19

Pemerintah pusat diharapkan memfasilitasi kebijakan tersebut

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Jumat, 27 Mar 2020 14:00 WIB
Wawancara IAKMI: Urgensi kuncitara Jakarta di tengah pandemi Covid-19

Tren penyebaran pandemi coronavirus anyar (Covid-19) di Indonesia melonjak tajam. Baru 26 hari sejak diumumkan, 2 Maret-26 Maret 2020, pukul 15.30 WIB, tercatat ada 893 kasus positif terkonfirmasi.

Semenjak Selasa (24/3) hingga Kamis (26/3),  peningkatannya 100 kasus lebih per hari. Tertinggi sebelumnya 82 kasus (Kamis, 19/3).

Wilayah terpapar pun menggurita. Sampai kemarin, sudah ditemukan di 27 dari 34 provinsi se-Tanah Air.

Karenanya, beberapa daerah "lancang". Keputusannya "memunggungi" pemerintah pusat. Ini seperti kebijakan karantina wilayah atau kuncitara (local lockdown) di Papua, Kota Tegal, dan Maluku.

Merujuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, keputusan tersebut―menutup akses keluar dan masuk orang pada suatu wilayah―menjadi kewenangan pusat. Tertuang dalam Pasal 14 ayat (1).

Sementara, DKI Jakarta selaku provinsi dengan kasus terbanyak, belum juga mengambil langkah serupa. Namun, kebijakan-kebijakannya kian ketat dalam membatasi mobilitas penduduk.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (PP IAKMI), Ede Surya Darmawan, mengungkapkan, pernah ada penerapan karantina wilayah di Ibu Kota. Dibahas dalam rapat pertama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jakarta.

Dirinya menambahkan, IAKMI selalu memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat tentang opsi-opsi yang harus dilakukan. Harapannya, menekan laju penyebaran virus SARS-CoV-2.

Sponsored

Saat diwawancarai Alinea.id melalui sambungan telepon di Jakarta, Kamis (26/3) malam, Ede menerangkan secara detail sedari awal kasus ini muncul di Indonesia dan langkah-langkah yang semestinya diambil. Berikut petikan lengkapnya:

Perlukah Jakarta melakukan karantina wilayah, mengingat kasusnya paling banyak di Indonesia?
Untuk kasus dulu, waktu diawal mula, ketika tanggal 2 (Maret), pertama diumumkan Presiden dulu, kasusnya (di) Depok, saat itu kami, Ikatan Kesehatan Masyarakat, itu meminta pemerintah, agar kontak kedua orang dari Depok itu di-tracing secepatnya.

Tapi, kita jujur sebagai bangsa, ya, ini kesalahan kita semua. Akhirnya, kita lambat, bahkan yang menarik kemarin, ketika menerima bantuan (alat pelindung diri/APD) yang didatangkan dari China itu, kan, ternyata buatan Bandung. Itu artinya, di bulan Januari kita ekspor, kemudian China juga ternyata kelebihan karena mereka kasusnya sudah melambat. (Lalu) dikirimlah ke sini. Akhirnya, kita (di awal) bukan fokus pada diri kita. Tapi, malah fokus ke luar.

Yang berikutnya, case Jakarta. Itu bisa jadi mungkin importir kasus (imported case). Itu bisa jadi kurang bagus. Kalau tracing-nya bagus, itu bisa ketemu. Nah, sehingga penularan lokal tidak terjadi.

Dalam konteks ini, kalau lihat perkembangannya, memang tidak ada di undang-undang. Itu belum ada peraturan pelaksanaan yang jelas, sejauh mana sebenarnya pemerintah bisa mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk melakukan karantina wilayah. Itu bahasa kita. Bahasa internasional itu lockdown. Tapi, spesifik area. Contohnya Wuhan (episentrum Covid-19). Itu menutup diri.

Hari ini (Kamis, 26/3), penambahan kasusnya kita tinggi. Kematiannya hari ini, di world meter (situs web worldometers.info, red), itu kita paling tinggi. Ada 20 yang meninggal per 24 jam dari kemarin sampai hari ini. Nah, setelah itu negara lain baru ada yang enam orang meninggal atau lima orang, dan negara lain ada yang satu orang saja. 

Jadi dalam kondisi seperti ini, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, misal, memiliki kemampuan untuk ke arah situ (karantina wilayah). Nah, upayanya (lockdown) sudah ada. Misal, pembatasan ibadah Jumat di masjid dan imbauan pembatasan lainnya.

Kalau wilayah ini (karantina wilayah secara terbatas), sah saja. Tapi, seperti kemarin, gubernur (Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, red) ditegur, di satu sisi. Diberikan penghargaan oleh Mendagri, di sisi lain. Kenapa? Saya tahu itu, karena rapat pertama Gugus Tugas DKI, itu saya hadir di situ. Mendampingi IAPMI DKI. Di situ disimpulkan, seharusnya DKI diperkenankan, bahkan pemerintah pusat bantu supaya karantina wilayah.

Kebijakan Pemprov Jakarta sudah perketat, tetapi sifatnya masih imbauan. Tanggapan Anda?
Jumat (20/7) lalu, juga saya lihat begitu. Makanya, saya setuju. Seharunya DKI sudah diperkenankan untuk melakukan karantina wilayah (lockdown). Sementara, (Kota) Tegal itu, kan, keluar (keputusan kuncitara). Malang lebih dulu. Tapi, kemudian dianulir oleh gubernur. Katanya hoaks.

Nah, apakah nanti Tegal akan dianulir oleh Gubernur (Jawa Tengah), Ganjar? Saya tidak tahu. Seharusnya, sudah seperti ini. Memang harus arahnya ke situ (lockdown). Tapi, kita belum dapat message yang clear. Bahasa lain dari tidak tegas. Sementara, kasus sekarang udah 800. Bisa jadi besok (Jumat, 27/3), 1.000 orang. 

Dengan tingkat kematian sekitar 8-9%, kan, sebenarnya saya enggak percaya dengan angka itu. Artinya, pembaginya masih sedikitan. Ini kenapa kita 8%? Karena, kan, bilangan pembaginya masih sedikit. Jadi 8%. Pembagi itu jumlah kasus yang ditemukan. Kalau jumlah kasusnya lebih banyak, yang meninggalnya segitu, ya, mungkin kita akan sama dengan international. (Angka fatalitas) sekitar 4%-an.

Jadi, di Indonesia banyak kasus yang belum ditemukan. Kenapa bisa seperti itu? Karena, kan, dari 100 orang laporan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), 84%-nya tanpa gejala. Sisanya gejala sedang dan berat. Dan OTG (orang tanpa gelaja), itu tidak masuk ke OD (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan). Tapi, OTG ini sebenarnya di dirinya ada virus dan potensi menularkan.

Karena itu, yang terbaik personal orangnya yang OTG itu jaga jarak. Kemudian, isolasi diri di rumah. Abis itu, enggak ke mana-mana. Berarti, wilayahnya, misal, local lockdown.

Namun, kewenangan karantina wilayah ada di pusat. Bagaimana?
Dalam konteks penyelamatan republik, ini Jakarta itu harus segera diselamatkan. Supaya kasus bisa ditangani. Kemudian, jangan ada kasus tambahan dengan orang diam di rumah, tidak ada kasus baru. Kalaupun misal ada gejala ringan, dia obati dulu. Jangan langsung ke rumah sakit.

Ini yang terjadi sekarang. Sudah ada rumah sakit, APD-nya belum sampai. Walaupun sudah ada (bantuan dari China datang ke Indonesia, beberapa hari lalu, red), kan, tidak akan secepat itu APD-nya (terdistribusi ke fasilitas kesehatan rujukan penanganan Covid-19).

Jadi, Indonesia harus segera di-lockdown?
Dalam bahasa kita, enggak dikenal lockdown. Tapi, karantina wilayah. Jadi, harus segera menegakkan. Kalau tidak, yang kita khawatir kalau ada orang tetap interaksi, situasinya beredar ke mana-mana. Ini yang harus segera ada ketegasan dari pemerintah pusat.

Kan, total 893 (kasus positif per 26 Maret, red), 78-nya meninggal. Lalu, DKI itu ada kasus 60%. Artinya, memang kasus itu menumpuk di sini. Saya harap, kasus yang importir munculnya sekarang.

Yang kita takutkan itu di internal Jakarta saling menularkan. Itu yang disebut local transmission. Jadi, orang lokal ke lokal. Kalau import transmission, misal, pergi ke Malaysia, tinggal di sana, baru balik ke Indonesia.

Yang lebih ribet lagi, itu penularan terjadi secara lokal tapi antarzona. Misal, orang dari pagi sehat, datang ke Jakarta kena, tular. Abis itu, balik ke Bogor. Jadilah di sana juga kena. Makanya, cepat (ambil keputusan) kalau pengin melakukan karantina wilayah. 

Kalau masih dibolehin ke sana ke mari, itu akan terus-terusan (virus menyebar). Akhirnya, nanti malah ke semua wilayah. Jadi, memang harus ada kesadaran masyarakat untuk melakukan isolasi mandiri. Diam di rumah itu yang terbaik. Dan berikutnya, dari wilayah itu saling pengertian.

Memang ada tantangan. Misal, kalau kita merujuk ke Undang-Undang Wabah (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, red), baca hak dan kewajiban (di) Pasal 8 ayat (1). "Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda karena wabah, dapat diberikan ganti rugi." Itu barangkali persoalan (enggak lockdown). Jadi, ada kekhawatiran.

Padahal, kalau dalam komentarnya Faisal Basri (ekonom senior INDEF), bahwa dua minggu negara lockdown itu jauh lebih murah, dibandingkan biaya kesehatan yang mesti dibayar saat ini. Tapi, memang berat. Ini persoalan logistik.

IAKMI mendorong pemerintah melakukan karantina wilayah, termasuk Jakarta? 
Kita sudah menyuarakan sejak awal. Intinya, kita ingin mengingatkan, kalau enggak baik penanganannya, orang yang TBC datang ke RS ditambah virus Covid-19, itu pasti makin berat.

Saya setiap ada masukan apa pun, pasti saya kirim ke BNPB untuk kemudian minta dipertimbangkan. Misalnya, tentang teknis kejadian di lapangan. Kami pernah kirim juga surat ke presiden untuk berikan keseriusan terhadap penanganan ini.

Permintaan secara khusus untuk karantina wilayah?
Belum. Di awal, kami hanya mengatakan, harus pembatasan gerak. Sebenarnya enggak sekuat itu, karena case-nya, kan, masih social distancing waktu itu.

Kalau memang besok (Jumat, 27/3) lagi, misal, kasusnya melewati angka 1.000, kan, ranking kita langsung naik di world meter. Sekarang itu kita naik terus di world meter.

Kalau besok naik lagi, kita bisa mengalahkan Saudi Arabia, Rumania, bahkan menyusul Thailand. Jadi, buat Jakarta itu ideal untuk segera melakukan karantina wilayah. Kalau enggak mau karantina, ya, pembatasan wilayah. Itu yang ada di undang-undang.

Langkah pemerintah sekarang melakukan tes cepat (rapid test). Efektifkah?
Dalam testing rapid test, itu ada ada persoalan. Pertama, yang dites itu, kan, antigen. Artinya antigen itu ketika benda asing masuk, dia bawa antigen. Kemudian tubuh merespons dengan antibody. Nah, itu ketemunya waktunya cukup lama. Enggak bisa langsung muncul. 

Makanya, ada yang mengatakan, ada beberapa negara tidak melakukan rapid test. Kenapa? Karena enggak cepat mendeteksi ada tidaknya virus itu.

Berarti enggak efektif?
Ya, sebenarnya kalau yang lebih bagus lagi, kan, golden standarnya. Itu, kan, dengan VCR (visual conversion reaction). Dengan tes yang sebenarnya. Kan, kalau kita lakukan tes, tesnya itu gunakan antibody dan antibody itu baru akan muncul setelah hari ke-12, 

Jadi, pada mereka yang tanpa gejala (OTG) itu, enggak akan muncul hasilnya. Artinya, kalau OTG, kan, memang enggak apa-apa. Enggak perlu dirawat. Tapi, kan, risikonya potensi menularkan, karena ditubuh OTG itu ada virus.

Covid-19 itu disebut, self limiting deases atau penyakit yang sembuh sendiri. Makanya, ada yang 84% tanpa gejala. Nah, rapid test ini dilakukannya untuk mengecek antibody. Nah, antibody munculnya pada hari ke-12 dan 14. Artinya, enggak ketemu.

Kalau dia baru seminggu dites VCR, karena yang dites itu virusnya ada tidak. Virus itu di badannya. Itu memang lebih mahal dan waktunya lebih lama. Tapi, itu yang benar.

Rapid test itu, kan, kayak test pact. Itu berbahaya, Pertama, karena itu antibody. (Virus) itu belum muncul (di antibody saat pertama kali terinfeksi). Sehingga, kesannya orang saat (hasil tes cepat) negatif, akhirnya dia senang. Padahal, belum muncul. Makanya, kalau rapid test, ya, 10 hari kemudian harus dites ulang. Itu yang benar. Jadi, enggak cukup sekali.

Yang kedua, tenaga medis yang melakukan pengecekan itu harus lengkap APD-nya, karena potensi menularkannya tinggi. Ini bukan seperti penyakit lain. Jadi, khasnya virus Covid-19 ini tingkat infeksinya yang sangat tinggi.

Bagaimana dengan rasio tenaga medis yang ada di Jakarta?
Selama ini, ketika kasus itu masuk ke rumah sakit, terus terjadi penumpukan, dan orang berpenyakit lain juga ngantre, apa yang kita hadapi? Selama ini, (saat) belum ada corona saja, pasien rumah sakit sudah ngantre.

Dan yang ditunjuk (bertugas menangani pasien Covid-19), itu rata-rata rumah sakit pemerintah. Misal, Rumah Sakit Koja, Tarakan, Pasar Minggu, Pasar Rebo, Persahabatan, Sulianti Saroso, Mintoharjo. Semuanya rumah sakit pemerintah. Artinya, ya, orang numpuk. Karena di situ sudah ditumpuki pasien BPJS ditambah pasien Covid-19. Itu persoalannya.

Kemarin saja (sebelum ada kasus corona), para dokter itu sudah full kerjanya. Ditambah Covid-19, pasti ekstra full beban kerjanya.

Tenaga medis di DKI sudah ada 50 orang terpapar, dua meninggal. Kalau semuanya yang meninggal, ada 6-8 (dokter). Itu se-Indonesia. Belum yang kena, yang masih jadi pasien dalam pengawasan. Itu artinya, bisa jadi overload beban. Sehingga, menjadi lalai. Kan bisa jadi karena kecapekan, sehingga ada bersentuhan dan sebagainya. Jadi, tenaga medis dan kesehatan kita itu kewalahan atau overwhelming

Pemerintah sudah antisipasi. Misal, jadikan rumah sakit darurat di Wisma Atlet. Kemudian, DKI itu ada tiga hotel yang jadi tempat istirahat tenaga medis, karena ada risiko (menularkan orang lain), kalau dia pulang ke rumah. 

Memang butuh kecepatan dan ketegasan pemerintah pusat. Hari ini, saya baru baca edaran dari kepala BNPB kepada seluruh daerah untuk bentuk satgas (satuan tugas) daerah, walaupun Jakarta sudah lebih duluan. Jakarta itu seharusnya, idealnya, itu gubernur dengan Kemendagri dan pemerintah pusat dirundingkan bersama cari solusi untuk Jakarta, supaya tidak jadi episentrum atau episentral.

Saya sampai sekarang belum menyebut Jakarta itu episentrum. Tapi, ini kasus yang muncul-muncul saja. Kalau jadi episentrum, kan, dari Jakarta mulanya terus menyebar ke mana-mana. Jadi, jangan salah bahasakan, karena episentrum itu pusat penyebaran penyakit. Jadi, enggak cocok. Bahasanya yang tepat, adalah kasus paling banyak muncul di Jakarta. 

Yang enggak boleh itu jadi episentrum, jadi pusat penyebaran, akibat orang Jakarta keluar-orang luar masuk ke Jakarta. Itu justifikasi sebetulnya karantina wilayah. 

Idealnya setiap dokter tangani berapa pasien?
Sulit karena selama ini dokter dianggap sebagai dokter penanggung jawab pasien. Nah, selama ini satu dokter itu mengawasi enggak banyak. Kan, dia hanya datang dan dibolehkan di tiga rumah sakit kerjanya. Masih (berlaku) sampai sekarang.

Idealnya kalau dokter itu fokus saja di satu rumah sakit, supaya enggak kelelahan. Misal, dokter mengawasi 10 pasien saja. Kalau sekarang, 10 pasien di tiga tempat, kan, berat. Apalagi, kalau di tiga tempat masing-masing 10 pasien. Makin enggak terkendali.

Aturan bakunya?
Belum ada. Yang ada, itu dokter boleh gunakan surat izin praktiknya di tiga tempat. 

Berapa jumlah yang dilayani?
Kalau di tiga tempat (dalam) sehari dia kerja serius, delapan jam tanpa dikurangi tranportasi, itu, kan ada sekitar 2,5 jam dia di rumah sakit. Kalau satu pasien itu punya waktu 10 menit untuk konsultasi, berarti (dalam) satu jam hanya boleh lima pasien, dong? Kan, ada waktu pergantian pasien.

Perlukah Pemprov Jakarta memberlakukan karantina wilayah, seperti daerah lain?
Kita kembali. Pertama, kesehatan itu urusan konkuren atau urusan bersama pusat dan daerah. Kalau pemda punya pikiran, misal, daerahnya sudah membahayakan, seharusnya pemerintah pusat memberikan fasilitas, supaya daerah itu mampu menangani. Jakarta, kan, kasusnya juga sudah banyak dan kalau gubernur bilang mau lakukan karantina wilayah, ya, pemerintah harus bantu. Itu idealnya.

Makanya, Tegal bilang lockdown. Kita akan lihat, apakah pemerintah pusat akan langsung berhubungan atau rapat, terus langsung dikawal? Idealnya dikawal sama pemerintah pusat, bukan kemudian malah melarang. 

Karantina wilayah akan efektif tekan penyebaran virus? 
Kalau diterapkan dengan benar, ya, otomatis. Secara saintifik, pengangan wabah itu ketika terjadi kasus, lakukan penyelidikan epidemiologis. Itu termasuk kontak.

Untuk yang sakit, ya, periksa, berobat, dan rawat, dan isolasi. Termasuk tindakan karantina. Sehingga, tidak menularkan yang lain. Kalau dia sembuh, ya, sembuh sendiri hingga selesai. Kalau takdirnya harus wafat, ya, dia wafat tidak menularkan.

Kedua, kita lakukan pencegahan dan pengebalan. Salah satunya, jangan ketemu orang. Pengebalan, ya, lewat imunisasi. Yang bisa dilakukan proteksinya, ya, dengan APD.

Ketiga, pemusnahan wabah penyakit dan ini virus enggak bisa musnah, selama virus masih ada di orang. Jadi, virus itu di alam terbuka 2-8 jam mati. Kalau di orang, ya, mereka (virus) akan memperbanyak diri. Yang saya bacakan itu, adalah Undang-Undang Wabah.

Virus akan hilang saat karantina wilayah diterapkan?
Ya, akan hilang. Kan, masa inkubasi itu, teori pertama, 2-14 hari. Makanya, kemarin, isunya diam di rumah 14 hari. Kalau dia sembuh dan enggak ada penyakit apa-apa, ya, dia sembuh dan virus mati sendiri.

Teori kedua, sampai 28 hari. Jadi digenapkan satu bulan. Makanya, kalau ada yang demam, batuk, bersin, ya, sudah...tinggal diam di rumah saja. kalau malah berinteraksi dengan yang lain, ya, virus itu akan pindah dan menyebar. Sebarannya bisa satu ke-2, atau dua ke-4, dan empat orang ke-16, langsung ke-256. Padahal, hanya berasal dari satu orang. Itu dalam waktu empat hari.

Berikutnya, pemusnahan penyebab penyakit. Kita enggak mampu, kecuali dengan diam di rumah alias physical distancing atau social distancing. Jadi, nanti virus itu akan menghilang sendiri. Bersamaan dengan kotoran yang dibuang orang itu.

Karantina wilayah diberlakukan, kurangi beban tenaga medis dan dokter bertugas? 
Iya. Jadi, sekarang yang kita khawatirkan kasus itu naik terus ke puncak, ke atas. Nantinya yang sakit bareng-bareng banyak. Ya, artinya semua antre ke rumah sakit, kan? Dokter, kan, kerjanya terbatas. Yang rumah sakit atlet saja, itu perawat (dari) tentara. Sampai kapan mereka bertahan? Kan, pasti ada batasnya.

Tugas berikutnya, mencerdaskan masyarakat supaya paham dan mau bertindak aman, yaitu diam di rumah supaya kalau di tubuhnya ada (virus) tidak menularkan dan dia tidak tertular. Kalau kasusnya sudah mulai turun, ya, beban tenaga medis akan berkurang dan penyakit akan mulai hilang.

 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid